Tuesday, 26 June 2007

Jalan Bebas Yang Berliku!

Slamat siang Mama! Apa kabar? Wah…lama tidak ketemu Mama. Beberapa hari terakhir saya harus berjibaku dengan urusan-urusan lain yang juga penting untuk kita. Saya punya cerita menarik hari ini, kita sharing ya? Tapi nanti ya, biar itu jadi penutup diskusi kita siang ini Mama. Saya mau kasih kesempatan untuk mama, biar Mama juga bisa kasih tahu saya keadaan sesungguhnya di kampung. Apa yang sesungguhnya terjadi disekeliling Mama hari ini?

Banyak kabar tak sedap saya dapat. Saya mendengar raja-raja kecil hasil didikan neo-kolonial dan induk imperialis sedang menggerayangi bumi kita? Saya dengar kalau Mama sedang dijarah, dirampok, diperdaya oleh anak-anak durhaka yang Mama lahirkan, tapi tidak apa-apa, biar mereka menghianati Mama, biar mereka berbuat sesuka hati mereka hari ini, tapi tidak untuk hari esok! Anak-anak Mama yang lain masih tetap setia, masih mencintai Mama, mereka akan melakukan sesuatu yang berarti bagi Mama, mereka akan menghukum semua anak-anak yang mendurhakai Mama, itu pasti.

Mama tau tentang John Gluba Gebze kan? Itu salah satu anak yang Mama lahirkan, tetapi dia sudah tidak lagi berjalan sesuai dengan apa yang Mama harapkan. Saya dengar pada awal tahun 2007 lalu, dia membuat paket pembangunan ekonomi dan politik yang dia sebut Agro Bisnis, Agro Industri dan Agro Wisata. Dia sudah diperbudak modal asing, dia sudah diperbudak kaki tangan neo-kolonial yang sedang berkuasa hari ini, untuk memuluskan kehadiran dan cengkeraman imperialisme global diatas Tanah kita Mama. Mengerikan, ini sungguh kabar yang mengerikan bagi saya. Saya mau bergerak! Tapi Mama ingatkan?

Saya sudah bilang kemarin kalau “kemerdekaan” saya sebagai manusia sedang dirampas oleh mereka-mereka yang tidak menginginkan perubahan diatas Tanah kita Mama. Tapi saya janji, pasti saya akan ada disamping Mama ketika waktunya sudah tepat untuk mendorong sebuah proses perubahan yang radikal. Itu janji saya!

Saya merindukan kita pergi mancing bersama di Sungai Bian. Saya tahu, saat itu kalau kita dapat cukup banyak ikan, Mama pasti akan siapkan makanan yang nikmat, ada sagu bakar, ada ikan kuah kuning…wah lezat dan bergizi, saya tahu pasti, setiap masakan Mama memberi saya kekuatan baru untuk bertumbuh menjadi seorang manusia, manusia sejati, Anim Ha, itu bahasa kita Ibu, sekali lagi, Anim Ha!

Wah, itu sudah lama sekali waktu saya masih SD, sekitar tahun 1980-an. Mama sudah cerita pada saat itu terjadi pengungsian yang paling besar dalam sejarah bangsa kita Mama katakan pada saya saat itu banyak saudara kita menyeberang ke PNG karena peristiwa pembunuhan yang dilakukan Kopassandha atau Kopasus terhadap salah satu budayawan kita yang paling kita hormati: Alm. Arnold Ap.

Mama menangis waktu menceritakan pengalaman itu kepada saya, ya, saya pahami luka bathin yang mama derita, begitu juga saya, tapi saya tidak boleh terbawa emosi, saya harus kuat untuk tetap melanjutkan perjuangan sama seperti yang dilakuakan Alm. Arnold Ap.

Sampai saat ini, saya mencatat, kurang lebih 30.000 jiwa rakyat kita ada disepanjang perbatasan Papua dan PNG, dari Kiungga di selatan Papua, hingga Vanimo di utara. Kenapa mereka mengungsi? Banyak orang lain di Indonesia juga di Papua, terutama anak-anak muda yang lahir setelah peristiwa itu, tidak mengetahui secara pasti, tugas saya dan Mama adalah menjelaskan kepada mereka, apa yang terjadi, supaya generasi muda Papua yang lahir pada decade 1980-an bisa tahu banyak mengenai sejarah kita, juga buat rakyat Indonesia lainnya, supaya mereka juga pahami apa yang sesungguhnya terjadi di Papua.

Mama, saya mau kenalkan salah satu peneliti yang bekerja di LIPI [Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia], dia adalah DR. Ikrar Nusa Bakti, dia pernah meneliti mengenai pengungsi Papua di PNG pada tahun 1987, dan hasil penelitian itu dia buat disertasi mengenai ini dan akhirnya dia sekarang menjadi Doktor oleh karena peristiwa yang Mama ceritakan buat saya itu.

Saya kurang tahu mengapa disertasi itu tidak diterbitkan menjadi buku? Bukankah itu akan membantu memberikan pencerahan kepada rakyat Indonesia tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Papua.

Sudahlah, Mama, kita sudahi saja membahas masalah ini, orang-orang pintar di Indonesia adalah orang-orang pintar yang menjadi kaki tangan penguasa neo-kolonial dan agen imperialisme global, mereka tidak bisa berpikir bebas dan merdeka, kalau ini sudah menyangkut masalah kita Mama. Mereka alergi, mereka takut, mereka mencari aman, supaya tetap bisa hidup normal sebagai manusia, tapi manusia yang tak memiliki nurani.

Rupanya jalan bebas yang hendak kita lalui masih dihalang begitu banyak masalah, ada penghianat diantara kita Mama. Sebagian besar anak-anak yang Mama lahirkan diatas Bumi Papua telah menghianati Mama, coba Mama tengok si John Gluba Gebze di Maroke, dia sudah jadi hamba paling setia terhadap modal asing, coba Mama lihat Klemens Tinal di Timika yang jadi kaki-tangan Freeport, coba Mama lihat Kaka Bas di Port Numbay, apakah dia tetap setia pada Mama? Itulah mereka Mama, itulah anak-anak yang Mama lahirkan, tetapi juga yang membuat susah hidup Mama.

Oh, iya, Mama jangan lupa ya? Besok tanggal 1 Juli kita akan merayakan HUT OPM. Saya harus buat tulisan untuk momentum penting ini.

Sampai ketemu lagi Mama!

Read More...

Mungkinkah Krisis Ekonomi Kembali Melanda Indonesia?

Ditulis oleh: Hans Gebze*

Prediksi krisis ekonomi yang kini telah menjadi head-line diberbagai media massa Indonesia akhir pekan ini telah menjadi sesuatu yang sangat relevan untuk dibahas. Paling tidak sebagai suatu diskursus yang pantas kita bicarakan.

Seperti yang diungkapkan ekonom muda UGM, Dr. Sri Adiningsih -- dalam wawancara dengan KBR 68 H Jakarta, 14/05/2007 --, kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia dan terjadinya capital in-flow (investasi modal) besar-besaran beberapa waktu terakhir, bukan tidak mungkin akan memunculkan kembali krisis ekonomi yang akhirnya akan menyebabkan capital out-flow (penarikan kembali modal) oleh pemilik modal asing. Mengapa? Kekhawatiran itu wajar-wajar saja sebab kini, dalam beberapa pekan terakhir, nilai tukar euro sedang menguat terhadap nilai tukar dollar, barangkali saja krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1995 sebagai akibat menguatnya nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS kembali terulang.

Indonesia, ibarat kapal kecil yang sedang berlayar ditengah samudera, jika tidak berhati-hati, bisa saja kapal kecil ini mengalami karam atau collapse karena tidak dikendalikan oleh nahkodanya secara bijak. Kemungkinan munculnya krisis ekonomi akan kembali melanda Asia dan Indonesia serta Filipina menjadi negara yang sangat rapuh untuk diterjang badai krisis ini yang pada gilirannya akan memberikan efek domino bagi negara-negara lain di wilayah Asia.

Pernyataan Menteri Keuangan, Dr. Sri Mulyani, bahwa dikhawatirkan akan muncul kembali krisis ekonomi jilid kedua di Indonesia, sesaat setelah mengikuti pertemuan menteri keuangan se-Asia yang digelar di Kyoto, Jepang, kini menuai beragam tanggapan, baik dari rekan sekerjanya dalam tim ekonomi kabinet Indonesia bersatu, maupun praktisi dan pengamat ekonomi.

Dr. Budiono, Menteri Koordinator Ekonomi, rekan sekerja Mulyani, menampik secara tegas pernyataan menteri keuangan itu dengan mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih stabil, sektor real ekonomi tetap bergairah, defisit anggaran yang minim dan adanya surplus dalam cadangan devisa sehingga rakyat tidak perlu khawatir akan munculnya kembali krisis ekonomi jilid kedua. Factor positif fundamental ekonomi yang ditampilkan Budiono untuk menyanggah pernyataan Menteri Keuangan itu patut dipertanyakan.

Fuad Bawasir, mantan menteri keuangan pada jaman orde baru, mengatakan sinyalemen krisis ekonomi kedua, jika benar-benar terjadi akan berimbas lebih parah. Pada masa-masa terakhir orde baru, situasi ekonomi rakyat saat itu boleh dibilang baik dan stabil, rakyat masih bisa makan sehari tiga kali, pengangguran ada tapi jumlahnya kecil dan fundamental ekonomi Indonesia saat itu sangat stabil. Sehingga pada saat terjadi krisis ekonomi, memang terjadi anarki tetapi tidak terlalu parah.

Kondisi sebaliknya bisa saja terjadi jika krisis ekonomi jilid kedua benar-benar terjadi. Dapat dibayangkan, rakyat miskin yang digusur tiap hari dari gubuk-gubuk mereka, pedagang kecil yang diamputasi prospek usahanya oleh operasi pasar, pengangguran yang membludak, kemiskinan yang akut di Indonesia saat ini akan menyebabkan anarki yang lebih parah dari krismon 1997. Untuk menghindari kemungkinan krisis ekonomi ini, Fuad Bawasir mengatakan pemerintah SBY-Kalla harus melakukan reformasi APBN. Hal ini diungkapkan Fuad Bawasir pada saat diwawancarai RRI Pro 3 FM (14/05/2007).

Sinyalemen krisis ekonomi jilid kedua yang mulai ramai dibicarakan itu, bukan tidak mungkin menjadi suatu kenyataan. Barangkali juga harus diingat, Indonesia pernah memasuki krisis ekonomi mini ketika menguatnya nilai tukar dollar terhadap rupiah yang menembus angka 12 ribu pada bulan desember 2006 lalu. Suatu pesan akan kemungkinan muncul krisis ekonomi sudah jelas terbaca.

Pertarungan Hegemoni Internal Imperialis

Krisis ekonomi jilid pertama pada tahun 1995, ketika menguatnya nilai tukar yen Jepang atas nilai tukar dollar AS, berimbas secara langsung atas kondisi ekonomi Indonesia. Melemahnya nilai tukar rupiah menghantam sektor real ekonomi Indonesia. Seperti diketahui, Jepang adalah salah satu negara kapitalis yang menyumbang sebagian besar hutang luar negeri Indonesia disamping itu booming produk Jepang di Indonesia pada masa orde baru menyebabkan menguatnya nilai tukar yen atas dollar berimbas secara langsung terhadap melemahnya nilai tukar rupiah dan fundamental ekonomi Indonesia.

Pertarungan hegemoni internal dua induk kapitalis tadi (AS-Jepang) melalui nilai tukar mata uang mereka menyebabkan melemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi menghantam sektor real ekonomi menyebabkan terjadinya capital out-flow (penarikan atau pelarian modal keluar) besar-besaran dari para pemilik modal asing dan secara telak menghajar sistem moneter Indonesia dan menghadirkan badai krismon.

Menguatnya nilai tukar euro terhadap dollar beberapa pekan terakhir mengindikasikan pertarungan internal imperialisme (AS-Uni Eropa) yang pasti akan berimbas dan menghadirkan krisis ekonomi global seperti yang terjadi pada saat menguatnya nilai tukar yen terhadap dollar pada tahun 1995.

Apresiasi negatif terhadap nilai tukar rupee (India) dan bath (Thailand) yang mulai melemah terhadap euro dan dollar beberapa pekan terakhir bukan tidak mungkin akan berimbas pada terpuruknya nilai tukar rupiah yang pasti akan terjun bebas lagi seperti krisis moneter tahun 1997.

Intervensi Asing Terhadap RUU Penanaman Modal

Peran badan-badan multilateral seperti International Monetary Fund, World Bank dan Asian Development Bank, juga oligarki finansial kapitalis seperti Japan Bank for International Cooperation dalam mengintervensi pembuatan aturan baru penanaman modal di Indonesia menunjukkan betapa gencarnya asing mempengaruhi pemerintahan SBY-Kalla beberapa saat terakhir.

Kedatangan mantan PM Inggris Tonny Blair pada bulan maret 2006 -- beberapa saat setelah kedatangan Condoleeza Rice, Menlu AS -- pada saat menguatnya perlawanan rakyat terhadap keberadaan Freeport di Papua, Exxon-Mobil di Cepu dan Newmont, jelas bukan tanpa kepentingan. Kehadiran dua tokoh imperialis itu jelas sekali untuk mengigatkan pemerintahan SBY-Kalla akan komitmen mereka untuk menjaga kepentingan modal asing tetap beroperasi dengan aman. Perlawanan rakyat terhadap multi nationals corperation (MNC) dan trans national corporation (TNC) milik imperialis itu jelas mengganggu capital in-flow dalam bentuk export capital yang hendak dilakukan negara-negara kapitalis induk seperti AS, Inggris, Jepang dan juga Uni Eropa (UE) yang merupakan blok dagang negara-negara kapitalis Eropa.

Juga patut dicatat, pertemuan yang terjadi antara Jusuf Kalla dengan Lord Powell, utusan khusus PM Inggris, pada tanggal 13 Maret 2007 lalu di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Lord Powell mendesak pemerintah Indonesia segera menyelesaikan RUU Penanaman Modal. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut, diharapkan menjadi jalan keluar dari segala ganjalan investasi modal asing di tingkat pusat dan maupun daerah.

Alih-alih mensejahterakan rakyat, lewat kebijakan ekonomi yang demikian, pemerintahan SBY-Kalla justru membuat blunder dengan memudahkan semakin gencarnya investasi modal asing yang masuk tanpa bisa dikontrol dan pada akhirnya akan mengakibatkan capital out-flow jika benar-benar terjadi krisis ekonomi yang pasti akan semakin membuat susah kehidupan rakyat.

Prakondisi Krisis

Penerapan paket-paket politik neoliberal (neoliberal policy) sebagai akibat perjanjian-perjanjian bilateral maupun multilateral yang dilakukan pemerintahan SBY-Kalla dengan negara-negara kapitalis induk, disatu sisi memantapkan posisi negara-negara kapitalis induk melakukan ekspor modal mereka dalam bentuk investasi besar-besaran di Indonesia dan di sisi lain melemahkan fondasi ekonomi Indonesia.

Mengapa? Restrukturisasi ekonomi yang dianjurkan IMF selama ini hanya menyentuh reformasi ekonomi dibidang perbankan saja yang merupakan sektor tidak real dalam ekonomi. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah memulihkan serta menstabilkan sektor ekonomi real dan memasifkan proses industrialisasi yang secara pasti akan membuka peluang kerja bagi pengangguran terbuka yang masih banyak saat ini akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia 10 tahun lalu. Akibatnya Indonesia sulit menyembuhkan luka krisis ekonomi telah diderita dan semakin memperbanyak pengangguran terbuka yang pada akhirnya semakin banyaknya jumlah rakyat miskin.

Kepentingan IMF merestrukturisasi kebijakan moneter Indonesia adalah untuk memudahkan monopoli oligarki capital finance dalam menginvestasikan modal-modal pasif yang mereka miliki untuk diaktifkan dalam sistem perbankan Indonesia. Dengan begitu akan mengurangi factor over produksi modal negara-negara kapitalis induk dalam rangka meminimalisasi krisis internal didalam negara mereka sendiri sambil menarik keuntungan berlipat akibat aktivasi modal mereka melalui sistem perbankan Indonesia tadi. Metode yang sama juga dipakai oleh negara-negara kapitalis induk dalam kebijakan ekonomi mereka terhadap dunia ketiga.

Mengapa selama 10 tahun terakhir lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank atau juga oligarki capital finance seperti Japan Bank for International Cooperation hanya memperhatikan dan memberikan support bagi pemulihan ekonomi dibidang moneter saja? Jawabannya sederhana. Modal yang diinvestasikan oleh negara-negara kapitalis induk melalui sistem perbankan Indonesia, suatu saat jika terjadi krisis ekonomi akan mudah ditarik kembali dalam bentuk capital out-flow.

Capital out-flow sangat mudah dilakukan, karena tidak ada modal yang digerakkan dalam sektor ekonomi real dan juga tidak ada modal real dalam bentuk mesin-mesin industri yang diinvestasikan selama terjadinya booming investasi modal asing beberapa waktu terakhir di Indonesia. Selain mudah, export capital yang dilakukan melalui investasi modal dibidang perbankan itu mendatangkan untung yang tidak sedikit bagi pundi-pundi ologarki capital finance negara-negara kapitalis induk.

Inilah suatu prakondisi krisis ekonomi yang memang sudah diatur secara optimal oleh negara-negara kapitalis induk untuk diterapkan pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Prakondisi ini juga diciptakan untuk meminimalisir kemungkinan krisis yang akan timbul didalam negara-negara kapitalis induk sendiri akibat over produksi modal kapitalis.

Dengan demikian, berbagai krisis ekonomi yang terjadi dunia akhir-akhir ini adalah merupakan krisis ekonomi yang di eksport oleh negara-negara kapitalis induk.

*Penulis adalah: Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat [Front PEPERA PB], Anggota Dewan Penasehat Aliansi Mahasiswa Papua [AMP], penulis lepas dan columnist pada beberapa media.

Sumber: http://www.parasindonesia.com/read.php?gid=558

Read More...

Tuesday, 19 June 2007

Mereka Menyebut Saya Dingo?

Selamat pagi Ibu, saya sudah menulis kemarin, tidak banyak, hanya beberapa hal saja yang saya tulis. Saya baru saja menulis tentang Mohammad Atthar atau orang biasa menyebutnya Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Ibu tahu tentang dia kan? Ya, dia itu negarawan yang bijak, dia itu pendiri Republik Indonesia, ingat Bu, bukan NKRI ya, hanya RI. Hatta itu orangnya luwes, sederhana, tekun, displin, demokratis dan tentu saja orang yang bertakwa didalam agamanya. Saya menulis tentang pandangannya mengenai masa depan Papua yang bertolak belakang dengan Bung Karno. Saya harap Ibu bisa juga membacanya.

Wah...banyak yang menyerang tulisan saya dengan tindakan-tindakan yang tidak normal, irasional, dan bahkan sampai harus menyertakan propaganda salah satu partai dari negara boneka Neo-Kolonial hasil kunjungan partai mereka menghadap tuan besarnya, Uncle Sam! Mereka bilang saya harus minum susu lagi, biar tambah pintar. Mereka juga menyebut saya Dingo. Ibu tau Dingo tidak? Dingo itu sejenis anjing liar. Nasionalis Indonesia memanggil Australia dengan julukan itu. Whatever lah, kita tidak boleh terjebak dengan argumentasi dangkal mereka. Ibu tau kan? Saya ini Diary Papua, saya anak Papua asli, saya bukan Dingo seperti yang mereka katakan dan saya bukan budak Dingo atau budak Republik Baru Bisa Mimpi alias Republik BBM dan juga bukan Budak Uncle Sam yang mereka sembah-sembah itu.

Saya tidak tahu kenapa mereka menyerang saya dengan argumentasi dangkal semacam itu? Tapi biasalah, ini tindakan kelompok reaksioner, kawan-kawan saya digerakkan prodemokrasi Indonesia menyebut mereka “kelompok reaksioner kanan!” Ada juga yang menyebut mereka ini “reformis gadungan,” ya mereka itu Ibu, mereka itu yang menyerang saya dan menyebut saya Dingo.

Hehehehe…..Forgot than, let we talking about our future Mom, this is better than making a debate with crazy people like them! They are nothing! They are empty people! Mereka manusia robot yang tak mampu berpikir rasional.

Ibu ingat tahun 1996? Waktu itu anak-anak muda idealis yang menginginkan perubahan di Republik BBM, mendorong sebuah radikalisasi massa. Waktu itu Jendral Soeharto, pemimpin Fasis Militeristik Republik BBM merepresi salah satu partai yang disebut PDI, Harto takut jika Megawati menjadi pimpinan partai ini. Ibu tau kan? Megawati itu anak Soekarno pendiri NKRI, banyak rakyat kecil tidak sadar politik, mereka mudah diperdayai oleh simbol-simbol, dan Megawati, dalam konteks ini, dapat dianggap sebagai Ratu Adil yang nanti akan membebaskan rakyat dari segala malapetaka yang diciptakan oleh Regime Fasis-Militeristik Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Besar Soeharto, ini budaya Jawa, rakyat di Jawa memaknai pesan melalui simbol-simbol yang demikian, beda dengan kita Ibu, kita masih agak rasional.

Soeharto mengerti benar falsafah Jawa yang demikian, karena dia orang Jawa. Ibu, ingat ya, kita tidak sedang mendiskusikan prasangka ras disini, kita hanya sedang mendiskusikan falsafah dibalik budaya yang menjadi iman para pemimpin Republik BBM.

Kita kembali ke masalah semula. PDI bikin kongres di Medan [Sumut] sekitar tahun 1994 [?], maaf Ibu, saya agak lupa. Pada saat itu Mega diangkat menjadi pemimpin partai ini. Soeharto paham, kalau ini dibiarkan maka pamornya sebagai raja lalim penguasa tunggal Republik BBM pasti akan pudar, jalan satu-satunya adalah membuat kacau PDI. Caranya? Dia tidak merestui kongres partai tersebut dan bahkan menunjuk orang lain untuk menjadi pimpinan partai ini. Akibatnya? Rakyat yang sudah terlanjur berharap banyak pada Megawati sebagai titisan Ratu Adil memberontak dimana-mana.

Ibu tau tidak tentang Budiman Sujatmiko? Dia itu mantan pimpinan Persatuan Rakyat Demokratik [PRD], kemudian hari berganti nama menjadi Partai Rakyat Demokratik. Dia dan kawan-kawan lain masuk dalam situasi politik yang demikian dengan maksud meradikalisasi massa, mereka menyebutnya insurrection? Ya, barangkali begitu. Tujuannya jelas untuk membentuk kesadaran massa kearah yang lebih politis. Maklumlah di Republik BBM rakyat sudah tidak peduli lagi dengan politik, mereka apatis, mereka takut karena direpresi oleh penguasa Fasis. Mirip-mirip dengan kita di Papua sini Ibu, sama, cuming [meminjam istilah Bung Togog] masalah kita waktu itu terlewatkan dari pantauan rakyat lain di Republik BBM, karena kita jauh, kita ini ada di ujung Bumi, maka masalah kita waktu itu tidak terlihat dengan jelas oleh mereka yang lain.

Nah, pada waktu itu Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari, Andi Arief, Nezar Patria, Agus Jabo [sekarang Ketua Papernas], Wiji Thukul, Yoko [dulu kuliah di UII Jogja], Prabowo [bukan mantunya Harto loh, ini Bowo yang dulu kuliah di UGM ituloh Bu], Pius Lustrilanang dan banyak pemuda-mahasiswa lain yang bergerak secara clandestein maju ke depan public dan melakukan agitasi massa dengan tujuan supaya terbangun kesadaran untuk menghajar penguasa tunggal orde baru. Gerakan itu tidak berhasil penuh.

Kawan-kawan saya itu dihajar oleh orde baru dengan antek setianya, ABRI [TNI/Polri]. Banyak diantara mereka yang diculik, dibunuh dan hilang sampai hari ini, jasadnya tidak ditemukan, salah satu diantaranya adalah Wiji Thukul. Ibu belum mengenal tokoh kita ini kan? Saya akan menulis mengenai dia lain waktu.

Pada masa-masa itu, boleh dibilang, mereka yang sekarang saya sebut reaksioner kanan dan reformis gadungan ini, masih bergandeng tangan dengan pemuda-mahasiswa diatas dengan tujuan taktis menghajar orde baru. Tetapi, ketika kawan-kawan tadi dihajar oleh orde baru. Diculik, disiksa, dibunuh dan dihilangkan secara paksa oleh TNI/Polri, partai ini dan Megawati tidak berbuat banyak, bahkan menyaksikan kekejaman politik itu berlangsung didepan mata mereka.

Kini banyak pemuda-mahasiswa itu berpindah pilihan politik, masih ada yang tetap bertahan diarena perjuangan, sebut misalnya Dita Indah Sari, Agus Jabo, Yoko, Prabowo dan beberapa lain, sementara yang lain memilih berdamai dengan musuh, satu diantaranya Pius Lustrilanang, lainnya Budiman Sujatmiko, atau hanya ini merupakan taktik untuk tetap bertahan dipanggung politik? Saya kurang tau. Ibu Tau kan mengenai Budiman Sujatmiko? Dia kini memimpin sebuah institusi bikinan PDI-Perjuangan, yaitu Res Publica, itulah dia Ibu-ku. Bagaimana dengan Dita Sari? Dia masih tetap Ibu, masih dijalan yang dia pilih. Agus Jabo malah makin heboh sekarang, dia itu pemimpin Partai Persatuan Perjuangan Pembebasan Nasional [Papernas], keren kan Bu? Namanya keren, sama, tapi tidak sama persis seperti nama Front kita, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat [Front PEPERA PB]. Lalu bagaimana dengan yang lain? Mereka juga sedang bergerak, ya, bergerak menggapai matahari yang belum terjamah!

Hmmm….sudah terlalu panjang hari ini kita berdiskusi Ibu, biarkan saya kembali menulis artikel lain, biar saya menghajar batok kepala kelompok reaksioner kanan yang kini menjadi kaki tangan imperialis global itu! Biar rongsok batok kepala mereka dengan tajam kata-kata saya!

Ibu masih mau dengar soal Megawati? Nanti ya, besok akan saya buatkan tulisan khusus mengenai dia. Tentang semua hal. Terutama masa kepemimpinannya di PDI-P, dan bagaimana perannya dalam politik praksis di Papua setelah dia menjadi presiden Republik BBM.

Cukup dulu Ibu, sampai ketemu besok!

Read More...

Ibu, Saya Musti Menulis Sekarang!

Aku Menulis….Aku Penulis terus menulis….Sekalipun Teror Mengepung!
[Wiji Thukul, Puisi Di Kamar]


Penggalan puisi karya Wiji Thukul diatas menggambarkan gundah jiwa saya, ya, disini, saya hanya bisa menulis, kebebasan saya dipasung oleh sebuah sistim yang tiran. Saya tidak lagi bisa melakukan aktivitas saya sebagaimana biasanya. Kemerdekaan saya dibatasi! Ya, saya tidak hidup sebagai manusia merdeka, saya tidak dapat berdiskusi seperti biasa dengan kawan-kawan yang saya rindukan, bahkan untuk sekedar menyebut nama, saya harus menggunakan nama ini: Diary Papua!

Lalu apakah saya harus tenggelam dalam hempasan sejarah yang terus menggelora? Tentu tidak, saya musti menulis, ya, saya musti menulis, sebab dengan menulis, pesan saya tersampaikan kepada kawan dimedan juang, sebab dengan menulis, saya berharap bia memberikan pencerahan dibalik kemunafikan tiranik dan tamak yang sedang menghinggapi jiwa-jiwa haus kekuasaan dan sistem yang sedang menghisap Tanah Papua.

Siapa yang hendak membuat saya patuh? Tidak, jangan harapkan kepatuhan saya, saya tidak diijinkan untuk mematuhi orang-orang dan juga sistem yang menindas, nurani saya memberontak dan mengatakan “Kau tidak boleh surut dalam langkahmu, ikuti matahari, teruslah ikuti mataharimu, songsong pagi di Timur, kau akan melihat Cahaya Bintang Fajar [Kejora/Sampari] memberikan sinar harapan bagi kebebasan rakyatmu!”

Barangkali kalian sadar, bahwa dengan memasung kebebasan saya sebagai manusia, maka sampai disitu keberanian saya untuk tetap berjuang hilang lenyap? Tidak, anda salah, saya tidak terbiasa patuh kepada mereka yang menindas, kecuali pada rakyat dan kepada Ibu yang melahirkan saya!

Setelah belasan tahun tidak bertemu, suara yang merdu, berwibawa dan menyejukkan itu, akhirnya kembali menggelitik gendang telinga saya. Ibu, terima kasih, kau telah memberikan harapan lebih besar bagi saya untuk tetap melanjutkan cita-cita yang belum tercapai, saya tetap disini, saya masih tetap anakmu, seperti yang kau besarkan dengan penuh kasih sayang, hanya karena system yang rusak seperti inilah, saya harus berpisah dengan Ibu, tidak lama, sebentar lagi pasti kita bertemu, ketika waktu kemengan sudah kita capai. Banyak kawan, banyak orang lain seperti Ibu berharap pada saya, dan saya akan menepati janji yang sudah terikhtiar direlung jiwa saya untuk tetap mematuhi panggilan nurani saya dan bertahan hidup serta berjuang walaupun ditengah badai sekalipun!

Saya sedang giat menulis hari ini Ibu, biar saya kabarkan pesan ini untukmu. Saya hanya bisa menulis untuk masa-masa ini, suatu waktu saya akan bergerak seperti biasa lagi, pada waktu itu, Ibu akan tahu, anak masih tetap dijalan yang Ibu harapkan. Ya, begitulah. Saya masih menyimpan gumpalan tanah yang Ibu berikan waktu saya akan berangkat ke luar dari Tanah dimana kita hidup bersama Ibu. Saya masih menyimpannya. Tanah itu memberikan harapan lain bagi saya untuk punya alaan tetap hidup. Ya, sebab disitu Ibu sudah berikan pesan yang jelas.

“Nak, kau boleh saja menimbah ilmu setinggi langit, bahkan sampai harus menyeberang pulau dan benua, tetapi kau harus ingat, dari material ini kau ada, dari Tanah kau dibentuk menjadi manusia, kembalilah suatu masa untuk membangun Tanah ini, kembalilah suatu saat untuk bersama-sama Ibu dan rakyat bebaskan Tanah ini dari tirani, dari mereka yang merampas Tanah ini dari, kembalilah suatu waktu untuk bersama Ibu menghancurkan system yang menindas dan menghisap ini!”

Mungkin itu maksud Ibu memberikan segumpal Tanah yang kau bungkus rapi dengan kresek kecil disamping rumah paman 12 tahun lalu? Itu makna yang saya dapat Ibu dan saya hanya berharap akan bertemu Ibu lagi, disamping tumah itu, biar Ibu bisa membuka kembali kresek itu dan letakkan kembali Tanah yang kau bungkus rapi di kresek itu, untuk dikembalikan ke tempatnya semula.

Wah…Ibu, cukup dulu ya, saya sudah banyak curhat hari ini dengan Ibu, tetapi saya akan lanjutkan lagi. Saya musti bilang ke mereka bahwa saya tidak takut, saya menolak patuh, saya menolak disebut pengecut dan saya juga menolak dikatakan menghianati kawan dan Tanah yang Ibu berikan. Tidak, saya masih tetap setia dengan Tanah itu dan juga tetap setia kepada kawan-kawan yang telah mengajarkan banyak hal lain kepada saya untuk tetap punya alasan hidup dan berjuang.

Napoleon Bonaparte, pemimpin besar Prancis abad 18 mengatakan “Mata pena jauh lebih tajam dari ujung bayonet sekalipun!” Setajam apa? Setajam tulisan yang dibuat. Saya membuat tulisan untuk alasan itu. Saya harus menusuk musuh-musuh saya dengan setiap tulisan yang saya buat. Saya harus menghabisi setiap musuh kita dengan tulisan-tulisan yang tajam. Hanya dengan pena dan tulisan yang dibuat, saya yakin dapat mematahkan batok kepala paling keras sekalipun di dunia ini. Hanya dengan pena dan tulisan yang dibuat, saya yakin dapat meruntuhkan system yang menindas. Itu keyakinan saya.

Kini saya musti menulis, terima kasih Ibu!

Read More...

Monday, 18 June 2007

Malpraktek Manajemen Pemerintahan Atas Papua

Ditulis Oleh: Diary Papua*

PAPUA dapat dilambangkan sebagai bara yang sedang membara dalam sekam, ia menyimpan begitu banyak masalah yang harus diurai satu per satu dengan bijaksana. Benang kusut masalah Papua yang demikian sukar telah menyebabkan banyak tafsir berbeda yang dimunculkan dalam rangka mengurai kembali kekusutan permasalahan Papua yang pelik itu. Sebab jika tidak, kekusutan masalah itu justru menjadi bumerang bagi para pihak yang terkait dengan masalah Papua.

TELAH lama muncul dua ekstrim yang berbeda dalam memandang masalah Papua dari sudut pandang masing-masing. Satu ekstrim menghendaki adanya perbaikan manajemen negara yang selama 44 tahun ‘integrasi’ Papua kedalam NKRI, dijalankan dengan kombinasi politik yang eksploitatif, represif, korup, anti-HAM dan setengah hati oleh berbagai regime yang pernah memimpin Indonesia. Sementara ekstrim lainnya menghendaki permasalahan Papua diselesaikan berdasarkan fakta-fakta sejarah manipulatif yang melatarbelakangi integrasi Papua kedalam NKRI.

Sejak munculnya gerakan reformasi di Indonesia, pertarungan dua ekstrim ini semakin jelas dan meruncing. Sampai kapan pertarungan ini akan berakhir?

Sikap Jakarta Yang Egois dan Otsus Yang Bermasalah

Sebenarnya untuk meredam aspirasi gerakan kemerdekaan Papua yang meluas pasca reformasi 1998 telah dicapai beberapa keputusan politik untuk mencari jalan tengah penyelesaian politik Papua. Salah satu jalan tengah itu adalah pemberian Otonomi Khusus bagi Papua yang ditetapkan pada tanggal 21 November 2001 oleh Megawati Soekarno Putri, namun tidak dijalankan dengan konsukuen bahkan keputusan politik Jakarta itu dibiarkan mengambang

Pemerintahan Mega yang ultra-nasionalis tidak menghendaki adanya kompromi dengan memberikan kebijakan politik yang menguntungkan Papua dan bahkan dalam beberapa hal mendekati ideal ‘merdeka’ penuh karena ada beberapa pasal dalam UU Otsus yang mengatur dan mengakomodir simbol-imbol perjuangan Papua merdeka. Karena hal itu maka UU Otsus yang telah ditetapkan tidak dijalankan dengan baik. Padahal banyak kalangan yang lebih moderat, baik di Jakarta maupun Papua, menghendaki Otsus dijalankan sebagai alasan untuk meredam aspirasi merdeka rakyat Papua dan juga mengobati luka politik yang telah lama dibuat Jakarta terhadap Papua.

Tidak sampai disitu, kelompok ultra-nasionalis di Jakarta mempraktekkan pula politik devide it empera bagi rakyat Papua dengan mendorong pembentukan povinsi Irian Jaya Barat (sekarang disebut Papua Barat) dengan dipaksakannya pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999 Mengenai Pembentukan Povinsi Irjabar, Irjateng, Kota Sorong, Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Mimika. Produk politik itu dikeluarkan pada jaman pemerintahan sebelumnya tetapi tidak dijalankan oleh karena bertentangan dengan semangat rekonsiliasi yang hendak diambil sebagai jalan tengah penyelesaian sengketa politik Jakarta – Papua yang memanas pada saat itu.

Komitmen Jakarta terhadap Papua sedikit berubah ketika SBY menjadi presiden RI. Pada tanggal 24 Desember 2004, bertempat di Jayapura, presiden SBY mengumumkan PP No.54 Tentang MRP. Seperti diketahui, MRP adalah salah satu perangkat penting yang harus dibuat sebagai prasyarat dijalankannya Otsus Papua.

Banyak kalangan menilai langkah politik SBY tersebut dapat meredam aspirasi rakyat Papua dan meredam gejolak politik yang terus menggeliat di Papua. Ternyata tidak sama sekali. Sikap dua muka yang masih dijalankan SBY dan kabinet Indonesia bersatu dalam penyelesaian masalah Papua berbuntut konflik yang tidak mampu diredam. Harapan banyak kalangan agar pemerintahan SBY mampu mencari jalan baru penyelesaian masalah Papua masih jauh dari harapan dan boleh dikatakan stagnan.

Pembiaran terhadap pembentukan Povinsi Irian Jaya Barat yang bertabrakan dengan semangat rekonsiliasi yang hendak dibangun Jakarta terhadap Papua melalui pemberlakuan Otsus sekali lagi diciderai dengan kelahiran povinsi IJB yang prematur. Anak haram bernama IJB itu kini telah mendapat pengakuan legal dari Jakarta walaupun kelegalan hukum itu terkesan dipaksakan dan jauh dari semangat UU Otsus Papua.

Barangkali banyak kalangan di Jakarta beranggapan, pemberian Otsus sudah merupakan solusi final penyelesaian masalah Papua dalam bingkai NKRI. Tetapi barangkali mereka lupa, proses historis dan proses politik Papua yang sudah bermasalah sejak ‘integrasi 63’ hingga pelaksanaan ‘pepera 69’. Faktor ‘integrasi 63’ dan ‘pepera 69’ adalah dua faktor penting yang musti diuraikan permasalahannya dengan jelas sehingga benar-benar dicapai sebuah jalan baru yang paling efektif dalam penyelesaian masalah politik Papua.


Sikap Jakarta yang egois dalam menyelesaikan masalah Papua berdasarkan cara-cara Jakarta, tidak banyak menghasilkan sebuah produk politik yang positif bagi Papua. Egoisme itu terlihat jelas ketika rakyat Papua menolak pembentukan povinsi IJB dan menuntut supaya anak haram itu tidak disahkan keberadaannnya di Papua.

Walaupun kehadiran IJB bertolak belakang dengan Otsus Papua, tetapi Jakarta yang sudah terlanjur menjalankan politik dua muka, tetap memaksakan agenda politiknya. Semula benturan politik akibat kebijakan politik Jakarta banyak ditentang oleh grass-root, tetapi ketika IJB terbentuk, konflik itu menjadi arena konflik antar elit Papua versus IJB maupun Papua versus Jakarta.

Secara hukum, keputusan MK, di satu pihak menyatakan UU 45/1999 batal demi hukum sejak diundangkan UU 21/2001 (21/11/ 2001) tentang Otsus Papua, tapi di lain pihak MK tetap mengakui keberadaan Irian Jaya Barat.

Keputusan MK yang banci itu sungguh mengherankan bahkan diskursus tentang hal ini terasa tidak memperoleh sorotan publik. Publik Indonesia seakan-akan tidak melihat persoalan Papua sebagai masalah penting. Padahal kompleksitas masalah Papua selama 44 tahun lebih integrasi, tidak pernah mau diselesaikan secara baik dan benar oleh Jakarta.

Kini IJB telah menjadi status quo. Gerilya politik masih saja dilakukan oleh pihak yang berkepentingan agar Otsus dijalankan dengan pihak yang mempertahankan status quo Irian Jaya Barat. Pada saat ini episode baru memasuki konflik Papua. Semula Papua vs Jakarta, kini Papua vs Papua.

Suatu tanda keberhasilan intiligen memainkan perannya dalam politik Papua? Jawabnya pasti ya, karena pengkondisian konflik yang telah mengarah menjadi Papua vs Papua adalah bukti dari keberhasilan itu. Walau konflik itu terjadi ditingkat elit yang memiliki kepentingan langsung terhadap Otsus dan pemekaran, tetapi interest itu sejak awal sudah masuk kedalam wilayah kesadaran politik rakyat, dan barangkali saja kemungkinan terbuka konflik horizontal antara rakyat bakal terjadi.

Kita berharap, kesadaran semu elit politik Papua itu tidak menghegemoni kesadaran sejati rakyat yang benar-benar menginginkan perubahan situasi politik Papua kearah yang lebih baik dan adil. Rakyat tetap harus kritis dan harus menjaga diri agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan antara elit birokrasi Papua maupun Irian Jaya Barat yang hidup bergelimang duit Otsus diatas penderitaan rakyat itu.

Konflik Otsus versus pemekaran Irian Jaya Barat juga menjadi tanda yang nyata bahwa sikap politik Jakarta memang tidak jelas sama sekali dalam menyelesaikan masalah Papua. Jakarta membuat aturan, Jakarta pula yang melanggarnya. Jakarta pula yang telah menciptakan konflik tak berkesudahan. Inilah suatu model egoisme politik Jakarta yang, dalam masa tertentu, akan menjadi bumerang bagi dirinya jika tidak cepat-cepat keluar dari ambiguitas politik tersebut.

Demoralisasi dan Ketamakan Elit Papua
Banyak kalangan elit Papua yang melihat pertarungan politik Jakarta - Papua sebagai lahan yang subur bagi bargaining politik yang menguntungkan. Dengan menggunakan simbol-simbol dan sentimen merdeka yang disuarakan rakyat, mereka mampu memberikan tekanan kepada elit Jakarta untuk mengikuti kemauan mereka.

Oportunisme elit Papua yang demikian tidak bertepuk sebelah tangan sebab kelompok ultra-nasionalis di Jakarta juga melihat isyu pemekaran sebagai suatu media untuk mempersempit ruang konflik politik di Papua. Jika konflik yang selama ini terjadi adalah antara Papua versus Jakarta maka dalam taktik ini, konflik hendak diubah menjadi konflik antara Papua versus Papua, yang dalam beberapa hal telah berhasil dilakukan.

Sikap-sikap oprtunisme politik yang ditunjukkan oleh elit-elit Papua sangat bertentangan dengan kemauan rakyatnya. Mereka bahkan bersukacita ditengah kemiskinan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Golongan ini bahkan tidak mampu mengilhami suatu perspektif baru penyelesaian Papua yang lebih komprehensif, bermartabat dan adil berdasarkan apa yang dikehendaki rakyat.

Oportunisme politik yang melanda jiwa-jiwa haus kekuasaan yang bergentayangan diseluruh Papua itu, disatu sisi mampu mereduksi makna dari tuntutan rakyat yang sebenarnya untuk menyelesaikan masalah Papua dan disisi yang lain memberikan sebuah keuntungan ekonomis yang tidak sedikit. Mereka hidup mewah diantara kemiskinan yang dialami mayoritas rakyat.

Munculnya Irian Jaya Barat dan beberapa kabupaten yang baru dimekarkan merupakan contoh yang dapat dilihat mengenai mentalitas oportunis dan korup dari para elit Papua yang bermental budak ini. Sebuah gambaran jelas tentang mentalitas budak ini dapat dilihat dari apa yang mereka lakukan selama ini. Tidak dapat disangkal, mentalitas budak elit Papua itu berujung pada korupsi besar-besaran yang melanda berbagai jenjang birokrasi diseluruh Tanah Papua. Mentalitas yang demikian berakhir dengan penghambaan membabibuta terhadap elit pusat di Jakarta dan modal asing.

Mungkin dapat dikatakan, kampiun sejati dari korupsi saat ini adalah elit birokrat dan anggota legislatif di Papua. Birokrat dan anggota legislatif saat ini adalah birokrat dan anggota legislatif yang dihasilkan dimana bangunan konstitusional RI sedang dilawan oleh rakyat Papua. Kita semua tahu, perlawanan rakyat itu telah menghasilkan sebuah paket politik Otsus Papua. Otsus menjadi sumber uang yang tidak kecil bagi elit birokrat dan legislatif ini. Dengan dalih mengerjakan tugas-tugas rutin pemerintahan, mereka berhasil mengkorupsi milyaran rupiah uang rakyat.

Sebagai contoh. Hasil temuan BPK dalam laporannya mengenai penggunaan APBD oleh beberapa kabupaten baru hasil pemekaran menunjukan penggunaan dana-dana APBD yang tidak jelas. Temuan BPK dalam pemeriksaan APBD tahun anggaran 2004-2005 itu melaporkan, pengeluaran diluar penghasilan bupati dan jajarannya serta pimpinan dan anggota DPRD –misalnya untuk dana operasional, kelancaran tugas dan uang sidang– nyata sekali merugikan dan tidak menyentuh kepentingan rakyat.

Dana-dana rakyat yang dikorupsi itu terjadi meluas diseluruh Papua. Sebut misalnya Kab. Tolikara dengan jumlah dana yang diselewengkan berjumlah Rp. 2,56 miliar, Kab. Mappi Rp. 1,51 miliar, Kab. Boven Digul Rp. 1,50 miliar dan Kab. Keerom Rp. 1,86 miliar. Itu baru permulaan, belum lagi kolaborasi raja-raja lokal ini dengan pemilik modal yang langsung akan berurusan dengan mereka dimasa-masa akan datang jika hendak melakukan investasi ekonomi. Tentu korupsi mereka akan semakin menggila.

Dapat dibayangkan, ditengah jerit rakyat, mereka berpesta pora. Otsus dengan dana yang 6 trilyun rupiah itu semakin menjadikan mereka lupa daratan. Rakyat lapar, korupsi jalan terus, mungkin realitas ini tepat untuk digambarkan.

Jadilah rakyat kini tidak saja harus bersikap tegas terhadap Jakarta yang egois, tapi juga harus bersikap keras terhadap anak-anak adat-nya yang sekarang telah menjadi guru besar koruptor. Benar juga pepatah katakan ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari.’ Pepatah ini tepat untuk melukiskan betapa buruknya mental birokrat Papua yang korup dan bermental budak itu.

Dulu Soeharto dan kroni-kroni mengajarkan mereka korupsi, kini mereka bahkan mengalahkan Soeharto dan kroni-kroninya dalam hal korupsi, inilah paradoks lain yang sedang menggeliat di Papua. Sebuah paradoks keserakahan elit birokrat Papua ditengah kemiskinan dan penindasan yang terjadi pada rakyat Papua.

Provokasi Modal Asing dan Kepentingan Eksploitasi Mereka
Kehadiran raksasa tambang seperti Freeport dan British Petroleum di Papua juga memberikan ruang bagi pengkondisian konflik politik Papua. Seperti diketahui, Freeport adalah salah satu pemodal asing yang membuka jalannya politik liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tumbangnya kekuasaan orde lama Soekarno yang anti Barat.

Freeport McMoran Gold & Copper, yang kontrak karyanya diteken pada tanggal 7 April 1967, adalah merupakan sebuah perusahaan tambang yang berhasil masuk ke Papua disaat masalah Papua masih belum selesai status politiknya. Pada saat itu rakyat Papua belum menyatakan sikap apakah bergabung dengan NKRI atau tidak. Bolehlah dikatakan kehadiran Freeport merupakan bukti langsung intervensi modal asing –imperialisme– dalam konflik politik di Papua.

Sampai saat ini Freeport masih dipersoalkan keberadaannya oleh rakyat Papua karena beberapa aspek. Pertama, Freeport adalah raksasa tambang yang menandatangani kontrak karya dengan pemerintah Indonesia disaat status politik Papua belum final, dalam arti apakah Papua sudah berada dalam NKRI atau belum?

Dapat dibayangkan betapa kalkulasi politik Papua dipertaruhkan dan dihitung oleh karena kepentingan modal asing ini. Kedua, dalam menjalankan eksplorasi dan eksploitasi tambangnya, berbagai praktek pelanggaran HAM dengan sistematis dilakukan terhadap penduduk asli Papua yang mendiami areal konsesi tambang Freeport. Ketiga, kerusakan lingkugan yang demikian parah telah terjadi diwilayah tambang Freeport, suatu reklame buruk dengan jelas telah disampaikan Freeport.

Keempat, kontrak karya generasi kedua baru saja dikukuhkan Freeport pada tahun 1997 dimana masa kontrak tambang tersebut akan berlangsung untuk jangka waktu empat puluh tahun dan baru berakhir pada tahun 2027.

Sebagai suatu multi nationals dengan sumber dana yang melimpah, Freeport berkolaborasi dengan birokrat dan militer Indonesia. Bagi birokrat sipil dengan mentalitas korup, Freeport menjadi ladang uang yang tiada habisnya dan oleh karenanya dengan berbagai cara harus dijaga keberadaan dan proses eksploitasinya. Bagi militer, Freeport menyediakan segalanya bagi operasional mereka. Tidak sedikit elit Papua yang larut dalam iming-iming kekayaan Freeport dan mereka telah menjadi budak paling setia yang selalu meluluskan keinginan raksasa tambang itu tanpa peduli nasib rakyat.

Munculnya provokasi pembentukan povinsi Irian Jaya Barat disebabkan oleh kehadiran raksasa tambang gas alam cair (LNG) British Petroleum di Bintuni. Kehadiran BP di Tanah Papua adalah merupakan sebuah proyek bagi-bagi keuntungan antara pihak imperialis. AS telah memiliki Freeport yang menambang selama hampir 40 tahun di Papua, dan untuk menjaga pengaruh dan kepentingan eksploitasinya, AS memberi peluang bagi Inggris, sebagai sekutu terdekatnya, untuk juga mengambil untung dibalik konflik politik Tanah Papua yang belum tuntas.

Selain memang untuk melakukan sharing ekspolitasi tetapi juga politik imperialisme AS yang demikian adalah untuk membendung pengaruh kekuatan ekonomi dunia baru seperti China dan Jepang, dan juga negara industri baru seperti Korea Selatan yang juga berminat dalam penambangan gas alam cair (LNG) di Papua. BP memang belum beroperasi tetapi keuntungannya yang milyaran dollar sudah dapat dihitung jika mereka mulai melakukan eksploitasi yang nanti akan eksis pada tahun 2008 - 2009 nanti.

Kunjungan PM Inggris, Tonny Blair, ke Indonesia pada akhir Maret 2006 –tidak lama setelah kedatangan Menlu Amerika Serikat Condoleeza Rice– yang kebetulan bersamaan dengan menguatnya perlawanan rakyat Papua atas keberadaan Freeport pada awal tahun 2006, jelas bukan tanpa alasan dan kepentingan. Bukan pula melulu suatu kebetulan kalau Papua belum dieksplorasi secara menyeluruh. Potensi kekayaan Papua yang melimpah dibidang tambang menguatkan dugaan keberadaan uranium. Sebagai bahan baku pembuatan nuklir, uranium nampaknya juga dimiliki Papua.

Beberapa teori geologi pecahan lempeng mengatakan benua Australia, Pulau Papua (Papua Nugini dan Papua), dan Timor Leste adalah satu daratan. Bukan mustahil Papua adalah sumber potensial uranium bagi Amerika Serikat dimasa depan. Uranium terbentuk dalam supernova, jauh sebelum zaman Pangaea. Berlanjut dengan terpisahnya lempeng Australia yang sekarang dikenal sebagai benua Australia dan Pulau Papua, endapan mineral yang terkandung dalam lempeng tersebut kemungkinan besar sama.

Australia dikenal sebagai salah satu produsen Uranium. Data terakhir tahun 2004 menyebutkan negara produsen uranium terbesar tercatat Kanada (11.597 metrik ton (t) = 1000 kg) dan Australia (8.982t). Disusul Kazakhstan (3.719t), Nigeria (3.282t), Namibia (3.038t), Rusia (3.200t), Uzbekistan (2.016t), Amerika Serikat (878t), Ukraina (800t), Afrika Selatan (755t), Cina (750t), dan Cekoslovakia (412t) (lihat: http://www.wise-uranium.org/umaps.html).

Bukan tidak mungkin, Papua yang memiliki formasi geologis yang sama dengan Australia itu memiliki cadangan deposit uranium sehingga perlu sejak awal dipagari AS untuk memperkuat pengaruhnya diwilayah ini. Pertarungan negara-negara nuklir ditingkat global menunjukan sebuah babak baru peta politik global yang harus dicermati secara sadar. Negosiasi AS dan UE yang berlarut-larut dengan Iran dan Korea Utara dalam hal pengayaan nuklir kedua negara, nampaknya tidak akan berhasil.

Hal tersebut menyebabkan AS kebakaran jenggot. Sebagai negara konsumen uranium terbesar didunia, AS sudah harus melirik daerah potensial lain yang konfliknya bisa diminimalisir dan bahkan diredam serta mudah untuk dikuasai dan Papua menjadi menjadi lahan yang ideal dalam hal ini.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik politik yang terjadi di Papua, tidak terjadi secara terpisah, konflik itu muncul disertai kuatnya pengaruh modal asing atau imperialisme global didalamnya. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri ditengah masa imperialisme global yang tengah menggurita dengan paket ekonomi politik neo-liberalnya dewasa ini.

Seperti Freeport, kehadiran BP yang menjanjikan fulus menggiurkan telah membuat ngiler elit Papua yang tamak dan koruptor-koruptor di Jakarta yang haus kekayaan. Tindakan logis, menurut pandangan mereka, untuk mempermudah pengerukan fulus dari BP adalah dengan jalan membagi dua Papua. Maka terbitlah UU No. 45 Tahun 1999 yang mengatur pemekaran povinsi Irjabar, Irjateng, Kota Sorong, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai dan Kabupaten Puncak Jaya. Untuk mempercepat rekayasa pemekaran diterbitkanlah Inpres Nomor 1 Tahun 2003 Tentang percepatan pembentukan povinsi Irian Jaya Barat.

Bukan suatu kebetulan jika Irian Jaya Barat akhirnya harus dibuat menjadi status quo oleh Jakarta, karena Irian Jaya Barat, dalam pandangan elit Jakarta, akan menjadi pion yang dimainkan dalam dinamika percaturan politik Papua yang semakin meruncing. Dilain pihak, Irian Jaya Barat juga menjadi ladang baru sumber ekonomi dengan kehadiran British Petroleum.

Rupanya ekonomi menjadi determinan pokok yang menyebabkan konflik politik yang berlarut-larut di Papua dan jelas sekali modal asing memiliki investasi politik kotor dalam penciptaan situasi konflik itu.

Mengapa Rakyat Lakukan Perlawanan?
Sudah biasa dalam sejarah, jika rakyat ditindas dan hidup dalam kemiskinan, pastilah akan lahir perlawanan dari rakyat itu sendiri, bahkan perlawanan itu bisa melahirkan suatu revolusi sosial dan politik. Hukum sejarah ini tidak dapat dibantah. Secara politik, perlawanan yang terjadi di Papua dilatarbelakangi oleh cita-cita perjuangan kemerdekaan yang sudah dimulai sejak awal 1960-an pada saat terjadinya konflik kepentingan antara Indonesia dan Belanda dalam hal Papua.

Selain itu, perlawanan rakyat di Papua, juga didasari oleh fakta-fakta sejarah yang melatarbelakangi bergabungnya Papua kedalam NKRI. Ketika United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan Papua ke dalam kendali administrasi Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 banyak pihak di Jakarta beranggapan bahwa Papua telah menjadi bagian integral NKRI.

Tetapi sesungguhnya proses tersebut hanyalah untuk menjalankan aturan-aturan dalam New York Agreement dimana diatur penyerahan Papua kedalam tangan PBB oleh Belanda dan selanjutnya kedalam administrasi pemerintahan Indonesia, tetapi masih dalam pengawasan PBB, sampai dilaksanakannya suatu plebisit atau jajak pendapat untuk menanyakan pendapat rakyat Papua apakah ingin bergabung dengan NKRI atau memilih merdeka.

Pelaksanaan Act of Free Choice sebagaimana diatur pasal XVIII New York Agreement dengan metoda demokrasi yang berlaku secara universal, seperti diketahui, ternyata dijalankan dengan metoda-metoda demokrasi feudal Indonesia, yang berhasil dilakukan dengan kombinasi operasi militer dan intiligen. Proses ‘penentuan pendapat rakyat’ (PEPERA) yang manipulatif dan curang itu juga menjadi suatu dasar mengapa rakyat Papua bangkit dan melawan berbagai pihak yang telah menggadaikan hak-hak politik rakyat berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional yang telah mereka buat sendiri. Dalam hal ini bukan saja Indonesia tetapi Belanda, USA dan PBB juga turut andil.

Masuknya imperium modal asing di Papua setelah kontrak karya generasi pertama yang dilakukan Indonesia dan Freeport McMoran Copper & Gold Inc, salah satu multi nationals yang dimiliki AS, pada awal April 1967 juga bermasalah karena dilakukan dua tahun sebelum dilangsungkannya Act of Free Choice pada tahun 1969.

Pelaksanaan administrasi pemerintahan yang sentralistik, militeristik dan korup sepanjang 30 tahun kekuasaan orde baru, meninggalkan jejak kekejaman negara atas wilayah Papua. Operasi militer selama 20 tahun –terhitung sejak 1978 hingga 5 Oktober 1998– yang diberlakukan pasca gejolak berdarah pada tahun 1977 didaerah pegunungan tengah Papua, terutama di Wamena, juga menjadi andil dalam perlawanan rakyat Papua saat ini.

Dua dekade operasi militer menghasilkan reklame buruk pelanggaran HAM Indonesia di Papua. Terjadinya eksodus ke wilayah negara tetangga (Papua Nieuw Guinea) oleh kurang lebih 30.000 jiwa penduduk asli Papua yang terjadi pada tahun 1984 diseluruh wilayah Papua dengan jelas dapat digambarkan sebagai satu bentuk nyata betapa kejamnya tindakkan represi pemerintah Indonesia atas Papua.

Dibidang ekonomi, Papua dapat dikatakan sebagai lumbung uang yang tiada habisnya. Selama tiga decade ini, Papua menyumbang tidak kurang dari 24 trilyun rupiah setiap tahunnya kedalam pundi-pundi kekayaan NKRI, sumbangan devisa itu terus meningkat dan kini mencapai nilai 30 trilyun rupiah setelah masuknya raksasa tambang gas alam cair British Petroleum dengan proyek Tangguh-nya di Teluk Berau, Bintuni, Tanah Papua. Sumber devisa itu berasal dari bidang pertambang 56,10 persen, sektor pertanian 16,09 persen dan sektor lainnya dibawah 10 persen.

Sumbangan devisa yang demikian besar dalam APBN Indonesia tidak seimbang dengan pembangunan dan kesejahteraan yang didapatkan rakyat Papua selama ini. Sebagai contoh, pada tahun 1996-1997, pendapatan asli daerah yang masuk ke kas APBD Papua hanya sebesar Rp. 21 miliar. Bahkan ditengah perlakuan Otsus saat ini, Papua semula hanya kebagian 1,3 trilyun rupiah –sekarang bertambah menjadi 6 trilyun rupiah, suatu ketamakan nampaknya masih diperlihatkan Jakarta. Sampai saat ini 40 persen penduduk asli Papua hidup dalam kemiskinan struktural. Sebuah paradoks yang menyakitkan hati ditengah bergelimangnya kekayaan alam Tanah Papua yang begitu melimpah.

Kombinasi antara represi negara, kemiskinan structural rakyat, ketidakadilan dan sikap acuh tak acuh Jakarta yang masih ada sampai saat ini dengan pelaksanaan Otsus yang jalan ditempat semakin menyadarkan rakyat untuk melakukan perlawanan atas berbagai bentuk kemunafikan politik dan ketidakadilan yang terjadi selama ini dalam kehidupan rakyat Papua.

Nampaknya pertarungan dua ekstrim yang selama ini terjadi di Papua tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Sikap politik Jakarta yang ambigu dan malpraktek pemerintahan yang semakin parah di tengah pertarungan Pemerintahan Otsus Papua Vs Provinsi IJB dan konsistensi perlawanan rakyat yang semakin meruncing akan berakhir dimana? Tentu sejarah akan menjawabnya. Jika pendulum politik yang berpendar secara tidak terkontrol di Tanah Papua itu dibiarkan saja oleh Jakarta, bukan tidak mungkin revolusi sosial akan muncul di Papua untuk mengakhiri penindasan yang tak kunjung berakhir. ***

Read More...

Saturday, 16 June 2007

Kumpulan Puisi Diary Papua

Kumpulan puisi ini saya ambil dari sejumlah puisi yang pernah saya buat, sebenarnya untuk dokumentasi pribadi, tetapi dorongan beberapa kawan membuat saya berani menampilkan puisi-puisi ini disini, semoga saja bisa menggambarkan keluh kesah pikiran dan jiwa saya melihat berbagai ketidakadilan yang terjadi di Tanah Papua. Juga puisi seorang kawan dekat yang dia sumbangkan khusus buat saya, patut saya catat dan publikasi melalui blog ini, terima kasih buatmu kawan, kau menjadi inspirator dalam meyakini suatu pilihan hidup, dan saya sudah berada dalam pilihan itu. Selamat membaca!

DOA IBU
[Krassnaya Kejora]

Anakku...
Anakku Kau kah itu....
Apakah perjuanganmu melelahkan?
Mari..IBU peluk...
Mari..IBU peluk...

Tapi..
Kapan Kau bebaskan IBU dari tirani anak-anak tiri ini...
IBU lelah...
IBU ketih...
Dipermainkan..diperolok..diperbudak..diperdaya.... .

Tidak..Jangan Kau teteskan Air matamu
Perjuangan mu adalah Alasan IBU untuk hidup
Perjuangan mu adalah alasan IBU untuk tetap memanggil TUHAN dalam Doa
Tunjukkan pada anak-anak tiri itu....
Bahwa mereka harus menghargai IBU dan Kamu
Tidak ada seorang pun dapat merendahkan Kita

Apakah perjuangan mu melelahkan?
Mari...IBU peluk...
Mari...IBU peluk...

Dalam pelukanku IBU senandungkan doa dan harapan...
TUHAN menyertai perjuangan mu...
Ayo Bangkit Nak...
Ayo Bangkit Nak...
Ikuti matahari....ikuti Matahari...
IBU menunggumu kembali anak ku

Salam IBU .......

Port Numbay,
8 Juni 2007 [03:54 PM]
----------------------

PESAN
[Diary Papua]

Disini kutulis maksudku
Disini kukatakan pada kawan
Bersiaplah

Tuan boneka mulai menuai nestapa
Krisis ekonomi mulai berpendar
Barangkali aku salah
Tapi mereka katakan benar

Barangkali tuan besar imperialis bosan?
Sampaikan maksudku pada rakyat
Jangan terlena buaian imperialisme

Siap sedia
Bangun dirimu
Jadikan Papua kuat
Sekuat batu karang
Runtuhkan semua musuh rakyat
Dan Kita pasti menang!

Jalan Bebas,
Mon, 14 May 2007 20:59:07
-------------------------

REVOLUSI PAPUA
[Diary Papua]

Aku bergerak pagi ini
Kudapati kabar
Yahukimo lapar
55 telah kau ambil dariku

Aku bergerak pagi ini
Kudapati berita
Puncak Jaya masih berduka
97 dimakamkan tanpa nisan

Aku bergerak pagi ini
Kudengar cerita kawan
Digul memanggil Libo Oka

Lelah aku dengar Jeritan itu
Lelah kubaca kabar itu
Terpekik tapi tertahan
REVOLUSI!

Aku Bangkit Setiap 100 Tahun
Ketika Rakyat Bergerak!
Aku bangkit bersama Rakyat
Ketika Rakyat Bersatu
Senandungkan Nyanyian Jiwa
"Hai, Tanah-ku Papua!"

Port Numbay,
Fri, 9 Dec 2005 18:04:55
----------------------------------

TRIBUTE UNTUK THEYS
[Diary Papua]

Engkau mulai dilupakan
Engkau yang menoreh begitu dalam sayatan sejarah
Engkau hari ini dipisahkan dari jalinan sejarah yang kau jalin

Jalinan yang telah menebar kabar revolusi dimedan kita
Sejarah t'lah memberimu tempat yang layak bapa
Jika memang engkau dilupakan anak bangsa

Aku tangisi kepergianmu hari ini
Bukan sedih
Bukan pula amarah dendam
Kepergianmu lahirkan anak jaman baru bapa

Bunda t'lah relakan darah juang kami
Bunda t'lah restui anak-anaknya
Teruskan cita-cita yang kau torehkan

Dengan syair kukenang engkau
Biji telah kau tebar
Buah akan dihasilkan
Ketika kemenangan itu dating

Port Numbay,
Fri, 11 Nov 2005 06:36:42
-------------------------

Read More...

Sunday, 10 June 2007

Membedah Politik Teritorial TNI Di Tanah Papua

Oleh: Diary Papua

Dalam sejarah TNI, Komando Teritorial (selanjutnya disingkat Koter) adalah merupakan suatu taktik yang dipraktekkan penerapannya dalam perang gerilya melawan Belanda. Keberadaan TNI yang masih bayi dan tidak memiliki peralatan tempur yang lengkap dalam menghadapi tentara Belanda yang modern dan memiliki alat tempur modern, meyulitkan TNI berhadapan secara langsung dalam perang terbuka.


Taktik untuk menghadapi perang terbuka adalah perang gerilya dan pembentukkan sistem komando teritorial sampai pada tingkat desa merupakan pilihan tepat saat itu untuk berperang melawan Belanda.

Dalam prakteknya, Koter warisan perang gerilya yang sudah usang itu, masih dipertahankan oleh TNI ketika negara ini sudah merdeka. Penggunaan sistem koter menghasilkan sejumlah masalah. Mobilisasi Dwikora untuk mengganyang Malaysia dan mobilisasi Trikora dalam rangka pendudukkan Tanah Papua adalah merupakan dua diantara sejumlah masalah fundamen lainnya dimana peran Koter TNI dalam mengupayakan suatu taktik perang aneksasi dan pendudukan wilayah berhasil dikombinasikan dengan agresifitas politik pemimpin Indonesia.

Koter menjadi semakin stabil penerapannya dibawah kendali pemerintahan fasis militeristik orde baru pimpinan jendral Soeharto. Pada masa ini Koter dijadikan alat represi yang efektif oleh Soeharto untuk menghabisi semua lawan-lawan politiknya termasuk mengupayakan operasi militer yang sistematis diwilayah-wilayah konflik seperti Tanah Papua dan Acheh.

Seperti diketahui, operasi militer di Tanah Papua dimulai secara de facto pada waktu bermulanya pendudukan Indonesia atas Tanah Papua pada tahun 1963 dan berlaku makin represif ketika secara de jure operasi militer dijalankan pada tahun 1978 hingga tanggal 5 Oktober 1998 (20 tahun) ketika dicabut akibat desakan reformasi yang kuat, sementara di Acheh operasi militer dilakukan sejak tahun 1989 hingga 1998. Dalam praktek operasi militer di dua wilayahj konflik ini, TNI mampu merepresi rakyat secara sistematis dan menghasilkan praktek pelanggaran HAM yang luar biasa kejam dan brutal.

Kini Koter diperkuat kembali oleh TNI dengan alasan untuk meredam potensi terorisme di Indonesia. Alasan kedua yang tidak tersirat dari kebijakan TNI mempertahankan koter adalah untuk merepresi kekuatan kritis rakyat diwilayah konflik seperti Tanah Papua. Dalam jawaban tertulisnya kepada Komisi I, saat digelar rapat dengar pendapat dengan pihak DPR-RI (27/2/2007), KSAD Jendral Djoko Santoso menekankan upaya mengoptimalkan keberadaan bintara pembina desa (Babinsa) sebagai "mata dan telinga" dalam mengumpulkan keterangan, khususnya dalam penanganan ancaman terorisme (Kompas, 28/2/2007).

Di tingkat nasional ada Markas Besar TNI. Pada tingkat propinsi dikenal Komando Daerah Militer (Kodam). Di bawah Kodam ada Komando Resort Militer (Korem) yang membawahi beberapa Komando Distrik Militer (Kodim) pada tingkat kabupaten.

Selanjutnya Kodim membawahi Komando Rayon Militer (Koramil) di tingkat distrik dan pada tingkat desa dikenal Bintara Pembina Desa (Babinsa). Dipertahankannya struktur teritorial, penambahan Kodam dan masuknya tugas pembinaan teritorial dalam RUU TNI menunjukkan bahwa strategi perang gerilya berbasiskan komando teritorial masih menjadi pilihan pimpinan TNI untuk dijalankan. Letnan Jenderal Agus Widjojo pernah melontarkan gagasan likuidasi struktur teritorial dalam waktu 10 - 12 tahun ketika dia menjabat sebagai Asisten Teritorial. Alih-alih gagasannya terlaksana, Agus Widjojo justru dicopot dari jabatannya.

Kini keberadaan Koter dipermasalahkan oleh sejumlah pihak di Indonesia terutama sekali dari kalangan prodemokrasi (LSM dan gerakan mahasiswa) yang mengkhawatirkan keberadaan Koter akan dimanfaatkan untuk kembali merepresi rakyat dan diselewengkan menjadi alat mobilisasi politik bagi kekuatan politik tertentu seperti pada masa orde baru bahkan Koter juga dicurigai akan "memata-matai" rakyat seperti yang dikuatirkan oleh sebagian anggota Komisi I DPR (Kompas, 28/2/2007).

Dalam konteks Papua, keberadaan Koter akan semakin memperburuk situasi politik di Tanah Papua, bahkan akan semakin memperkuat posisi TNI untuk melakukan kekejaman politik mereka diwilayah ini.

Pemekaran Wilayah Dan Keberadaan Komando Teritorial di Tanah Papua

Dalam Rencana Strategi (Renstra) TNI untuk jangka waktu 25 tahun, politik pemekaran wilayah menjadi isu strategis untuk dijalankan di Tanah Papua dengan tujuan melikuidasi dan membendung laju gerakan pembebasan nasional (kemerdekaan ) Papua yang semakin kuat dan meluas. Renstra mengisyaratkan pendekatan politik pemekaran wilayah Tanah Papua akan menjadi efek domino politik yang menguntungkan TNI dalam menjalankan pembesaran struktur komando teritorial TNI diwilayah ini.

Jauh sebelum politik pemekaran menjadi isu strategis di Tanah Papua, TNI dengan struktur teritorial yang boleh dikatakan belum maksimal, mampu mengembangkan suatu praktek operasi militer yang, bisa dibilang, manjur dalam hal merepresi rakyat sipil dan kekuatan politik Papua yang sedang melakukan perlawanan.

Pada jaman orde baru, TNI hanya memiliki satu komando daerah militer (kodam), dua komando resort militer (korem), sembilan komando distrik militer (kodim), dan sejumlah komando rayon militer (koramil) yang tersebar diberbagai distrik diseluruh wilayah Papua. Sekedar catatan, hanya dengan kekuatan teritorial yang demikian, TNI mampu melakukan kombinasi operasi intiligen dan operasi militer yang sangat mengerikan di Tanah Papua selama 32 tahun kekuasaan regime fasis-militeristik orde baru.

Barangkali tidak banyak pihak di Tanah Papua, terutama elit birokrasi dan legislatif, yang menyadari bahwa isu pemekaran yang sedang menjadi mode dalam kancah politik local Papua dewasa ini adalah merupakan suatu produk intiligen untuk memuluskan rencana pembesaran komando teritorial TNI diwilayah ini. Keserakahan yang telah membakar ego politisi local Papua yang haus kekuasaan, berhasil dimanfaatkan secara kualitatif oleh TNI melalui operasi intiligennya untuk mensukseskan rencana pemekaran wilayah Papua yang secara otomatis melegalkan pembentukan dan perluasan komando teritorial TNI pada masa-masa yang akan datang.

Saat ini di Tanah Papua sudah bermunculan banyak sekali kabupaten baru hasil pemekaran. Sebut misalnya di Maroke kini telah bertambah tiga kabupaten baru (Asmat, Boven Digul dan Mappi), di Jayawilaya kini bertambah tiga kabupaten baru (Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, dan sedang diupayakan pembentukan kabupaten Mamberamo Tengah, Lani Jaya dan Mapnduma), di Jayapura kini bertambah dua kabupaten baru (Keerom dan Sarmi dan sedang dalam upaya pembentukan kabupaten Mamberamo Raya), di Yapen Waropen telah muncul kabupaten Waropen, di Paniai sedang digalang pembentukan kabupaten Dogiai, di Puncak Jaya sedang digalang pembentukan kabupaten Ilaga, di Manokwari kini bertambah dua kabupaten baru (Teluk Wondama dan Teluk Bintuni[?]), di Sorong kini bertambah dua kabupaten baru (Raja Ampat dan Sorong Selatan), dan di Biak-Numfor kini bertambah dua kabupaten baru (Numfor dan Biak Utara).

Paling tidak di Tanah Papua kini berjumlah dua puluh satu kabupaten -- jumlah ini belum ditambah rencana pembentukan beberapa kabupaten baru yang sedang digarap -- dan ditambah puluhan distrik sebagai efek domino langsung dari pembentukan kabupaten baru serta ditambah lagi satu propinsi baru.

Secara kuantitatif dapat dihitung berapa jumlah komando distrik militer (kodim) yang akan terbentuk ditingkat kabupaten? Hitung pula berapa jumlah komando rayon militer (koramil) yang akan terberntuk ditingkat distrik dan hitung pula berapa ribu bintara pembina desa (babinsa) yang pasti akan ditempatkan ditingkat desa? Serta sudah pasti satu komando daerah militer (kodam) baru akan dibentuk di propinsi Irian Jaya Barat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik pemekaran wilayah yang selama ini gencar diusung oleh berbagai kalangan elit politik local Papua akan menjadi bumerang bagi prospek demokrasi dan masa depan HAM di Papua yang akan semakin buram. Tidak ada pendapat obyektif yang dapat dibenarkan dalam pendekatan politik pemekaran Papua saat ini. Alasan untuk memajukan kesejahteraan rakyat, memperluas efektivitas kerja birokrasi, dan mendorong proses pembangunan diwilayah-wilayah yang masih belum maju secara ekonomi adalah merupakan alasan-alasan klise yang hendak dibenarkan dihadapan publik oleh pihak-pihak yang haus jabatan dan yang ingin memperluas struktur komado territorial ini di Tanah Papua.

Pendulum politik pemekaran kini telah bergerak semakin dekat dengan tujuan dengan scenario TNI dalam rencana strategi (renstra) mereka mengenai masa depan politik Tanah Papua. Opini publik yang terus dimanipulasi dan digiring secara sistematis kearah pendukungan politik pemekaran wilayah mengisyaratkan pembenaran analisis ini. Pertanyaan sekarang, bagaimana rakyat Papua menyikapi penyesatan opini publik dan mobilisasi massa dalam mensukseskan agenda politik pemekaran yang diboncengi rencana pembesaran struktur komando teritorial TNI di Tanah Papua ini? Bagaimana pula masa depan demokrasi dan HAM jika politik pemekaran sukses dan agenda perluasan struktur Koter TNI berhasil dijalankan di Tanah Papua?

Read More...

Thursday, 7 June 2007

MENGENAL PAPUA DARI DEKAT [2]

MASALAH SOSIAL-POLITIK

Pada tulisan lain dalam diarypapua.blogspot.com ini, akan saya jelaskan secara sederhana, masalah-masalah pokok yang mendasari konflik Papua yang masih terus terjadi sampai saat ini. Banyak hal perlu dilihat dan diurai kembali, paling tidak, untuk memahami secara utuh konflik sosial dan politik yang menjadi latar sejarah perlawanan rakyat diwilayah ini. Barangkali tidak banyak pihak memahami masalah Papua secara utuh, Papua hanya dilihat dari sisi yang parsial tergantung cara si pengamat melihat dan memahami masalah Papua.

Misalnya saja, jika si Udin yang berprofesi seorang tukang becak, melihat masalah Papua, tentu berbeda dengan cara pandang si Ahmad atau Si Togar yang akademisi, barangkali si Udin akan mengatakan "Papua itu kan bagian dari NKRI, itu yang saya tau, lain tidak." Si Udin hanya mampu memahami masalah Papua dari perspektifnya sebagai rakyat kecil, yang masih memikirkan dirinya sendiri dari situasi kemiskinan yang menghinggapi hidupnya, selain memang faktor informasi yang minim.

Berbeda dengan Togar dan Ahmad yang pasti akan memberikan sejumlah catatan kaki kalau mereka bicara soal Papua, maklum saja mereka akademisi, tetapi tentu catatan kakinya adalah catatan kaki yang ada dikepustakaan "resmi" Indonesia, tentu historiographi Indonesia yang akan dipakai dalam analisis mereka, ini juga menjadi masalah, karena banyak kepustakaan sejarah Indonesia, yang boleh saya katakan, tidak utuh, terpotong-potong dan sepenuhnya ditafsirkan dari sudut pandang penguasa.

Logika yang berbeda terjadi pada si Slamet yang bekerja sebagai TNI atau Polisi dan si Faizal yang aktif sebagai aktivis LSM.

Sebagai prajurit bawahan, Slamet akan melakukan apa saja yang diperintahkan komandannya untuk dilakukan di Papua, tidak peduli apakah akan terjadi pelanggaran hak atas kemanusiaan atau tidak. Slamet akan memahami Papua sejauh posisi dia sebagai seorang petugas bawahan dengan harapan dapat gaji untuk biaya hidup keluarga, bisa sekolahkan anak, dan keperluan lainnya (hal ini berbeda dengan para jendralnya yang enak-enakan tinggal dikota dan menjalankan perintah seenak perutnya). Dalam banyak hal, Slamet-Slamet seperti ini yang biasanya juga dijadikan tumbal oleh para jendralnya apabila terjadi pelanggaran HAM dan masalah-masalah lain misalnya saja soal bisnis militer.

Berbeda dengan si Faizal yang tentu akan memahami masalah Papua dari sudut pandang dia sebagai seorang aktivis. Barangkali dia akan melakukan kritik dan protes-protes sosial terhadap berbagai kebijakan penguasa yang melanggar hak-hak dasar (economy, social, culture) dan juga hak-hak politik (demokrasi dan HAM) serta hak-hak lingkungan yang inheren dalam kehidupan rakyat Papua.

Lalu bagaimana dengan pandangan saya sebagai orang Papua? Ini pertanyaan mendasar dan saya akan memberikan jawabannya secara pasti, obyektif, dan terukur, sejauh kemampuan saya memahami masalah Papua sebagai anak Papua dan harap dimaklumi apabila ada pandangan-pandangan saya dalam diarypapua.blogspot.com terkesan subyektif atau keluar dari konteks. Harap maklum karena manusia memang narsis cenderung subyektif dalam pandangan-pandangannya.

Informasi Lain Mengenai Papua
Anda dapat menelusuri dunia maya untuk menjelajahi Papua, berbagai situs berita mengenai Papua dalam beberapa waktu terakhir ini sudah banyak dihadirkan oleh orang-orang Papua sendiri.

Untuk masalah-masalah politik, anda dapat mengunjungi portal-portal berikut: infopapua.org, kabarpapua.com, papuapost.com, melanesianews.org, dan banyak lainnya yang akan anda temui.

Untuk masalah-masalah HAM, barangkali anda bisa berkunjung ke situs hampapua.org atau portal.snup.in

Untuk harian lokal Papua, anda dapat berkujung ke situs-situs berikut: cenderawasihpos.com dan papuapos.com

Demikian catatan saya kali ini, salam hangat!

Read More...

Lingkungan: Penguasa Versus Pengusaha

Oleh : Paul E. Wally*

WALHI, organisasi lingkungan terkemuka di Indonesia, berhasil menang di pengadilan melawan pertambangan tembaga dan emas PT Freeport, operator pertambangan raksasa Grasberg di Papua Barat. Sementara itu, militerisasi ditingkatkan di daerah pertambangan setelah adanya keputusan pihak keamanan untuk memberikan perlindungan terhadap segala ancaman dari para 'kelompok separatis' yang diduga akan terjadi!

Pada tanggal 28 Agustus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa Freeport bersalah telah melanggar Undang-undang Lingkungan Hidup (No.23 Tahun 1997).

Perusahaan raksasa ini diperintahkan untuk memperbaiki pengaturan sistem pembuangan limbahnya. Putusan pengadilan, bahwa Freeport telah dengan sengaja menyembunyikan informasi dan memberikan penjelasan palsu dan tidak akurat, sehingga menyesatkan masyarakat.

Kasus WALHI diluncurkan tahun lalu setelah terjadinya batu longsor pada tanggal 4 Mei di waduk Wanagon. Freeport membuang sampah batu yang berlebihan dari daerah pertambangan ke danau buatan ini. Longsoran tersebut menyebabkan gelombang air, endapan lumpur dan batu yang berlebihan melimpah ke lembah Wanagon dan menyebabkan banjir di kampung Waa dan Banti, beberapa kilometer dari waduk. Empat buruh bangunan terbawa arus, diperkirakan mati.

Dalam siaran pers Freeport menjelaskan seolah-olah insiden ini disebabkan oleh tingginya curah hujan Manajemen perusahaan mengklaim, kecelakaan tersebut tidak membahayakan kesehatan maupun berdampak lingkungan. Namun Badan Pengawas Dampak Lingkungan (Bapedal), melaporkan bahwa perusahaan menggunakan danau untuk pembuangan ampas asam, dan ketika insiden terjadi, endapan di dalam danau mengandung bahan yang beracun dan berbahaya.

Kasus serupa juga terjadi sebelumnya. Tahun 1999 terjadi tranah longsor. Tapi Freeport tetap menganggap itu dikarenakan tingginya curah hujan. Padahal, menurut penyelidikan Bapedal, salah satu penyebabnya adalah pembuangan limbah secara berlebihan yang dilakukan perusahaan sehari sebelum terjadinya insiden. Perusahaan melakukan pembuangan dua kali lipat jumlah yang diijinkan.

Pengadilan memerintahkan Freeport untuk meminimalisasi resiko batu longsor berikutnya di Wanagon. Perusahaan juga harus mengurangi produksi limbah beracunnya agar kualitas air dapat memenuhi standar.

Walhi menuntut agar perusahaan diberi hukuman harus mengeluarkan permohonan maaf kepada masyarakat melalui media nasional dan internasional, tapi ditolak pihak pengadilan.

Freeport, menolak keputusan pengadilan dan akan naik banding. WALHI juga akan naik banding melawan pengadilan yang menolak tuntutannya terhadap Freeport untuk menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat.

Direktur Advokasi Walhi, Longgena Ginting menggambarkan keputusan pengadilan tersebut sebagai 'kemenangan kecil', namun mengakui dampak positifnya terhadap pegiat lingkungan yang berkampanye melawan pengrusakan lingkungan oleh perusahaan pertambangan. Bagi Direktur Walhi, Emmy Hafid, kemenangan di pengadilan itu hanyalah sebuah langkah pertama karena masih banyak perusahaan lain yang memperdayakan masyarakat.

Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim pada waktu itu menyambut baik keputusan pengadilan. ‘‘Ini adalah untuk pertama kalinya pengadilan menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat…,’ ujarnya kala itu.

Diantara para pejabat Jakarta, Menteri sebelum Nabiel, Sonny Keraf adalah kritikus yang paling gencar mengkritik Freeport.

Menanggapi tudingan Walhi, pengamat maupun masyarakat, James Moffet, Direktur Utama perusahaan induk, Freeport McMoran, mengatakan, bahwa 'Freeport Indonesia' memberikan dan akan selalu memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam segala aspek yang menyangkut operasi PT FI.

Bukan rahasia lagi, Freeport tidak pernah mau mengakui bahwa ekses dari usaha mereka telah mengakibatkan terpolusinya sungai. Ironisnya, Freeport tetap menolak anggapan bahwa buangan batu atau limbah yang dibuang ke aliran sungai setempat itu beracun.

Setelah bencana Wanagon, perusahaan tersebut diperintahkan untuk mengurangi pembuangan tambangnya dari 230.000 ton per hari menjadi 200.000 ton. Pada bulan Januari perusahaan diijinkan untuk memulai operasi dengan tingkat produksi yang lebih tinggi.

Limbah yang diangkut oleh aliran air ke 'daerah pembuangan' seluas 130 km2 terletak di dataran tepi laut sebelah selatan pertambangan, diduga telah mengakibatkan Laut Arafura terpolusi dan mengakibatkan banjir perkebunan sagu dan hutan yang merupakan sumber kehidupan rakyat setempat.

Pada awal tahun ini, Walhi memberikan estimasi polusi berdasarkan data satelit bahwa daerah daratan seluas 35,820 hektar dan 84,158 hektar lepas pantai telah terkena dampaknya, terutama di muara sungai Mawati dan Kamoro. Walhi kemudian menghimbau perusahaan untuk menghentikan pembuangan limbah di sungai-sungai.

Dampak Sosial dan keamanan
Dampak sosial pertambangan terhadap masyarakat adat setempat, Amungme dan Kamoro, memang sangat terasa –termasuk usaha terlambat pihak perusahaan untuk mengatasi kritik dengan menawarkan uang untuk 'pengembangan masyarakat' serta lapangan kerja di pertambangan.

Permasalahan sosial termasuk kurang memadainya sarana perumahan dan permasalahan kesehatan sehubungan dengan in-migrasi dan alkohol serta penyalahgunaan obat bius –dan baru-baru saja – infeksi HIV.

Pada tahun 1996 Freeport mengambil keputusan untuk masyarakat setempat, yakni kucuran dana 1 persen. Itu pun setelah masyarakat melakukan protes terhadap Freeport. Gelombang aksi protes waktu itu memang tergolong pertama kali karena belum terjadi sebelumnya dari masyarakat setempat, nasional dan internasional terhadap penyalahgunaan hak-asasi manusia dan pengrusakan lingkungan.

Namun dana hibah itu pun akhirnya menuai kritikan, bahkan membawa korban di pihak masyarakat. Kritikan datang dari Komisi Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tokoh masyarakat adat serta para pemimpin agama. Bahwa, dana tersebut tidak didistribusikan secara adil, disalahgunakan dan menyebabkan terjadinya konflik diantara masyarakat adat setempat.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh sebuah LSM yang berkantor pusat di Amerika, tahun lalu, menyebutkan adanya tindakan-tindakan korupsi, kurangnya pertanggungjawaban serta adanya saling iri diantara penerima dana. Para pemimpin masyarakat suku Kamoro –satu dari enam suku yang mendiami areal konsesi PT Freeport— memprotes tentang biasnya manajemen pendanaan itu.

Persetujuan lebih lanjut telah ditandatangani antara perusahaan dan para pemimpin Amungme dan Kamoro, pada bulan September tahun ini. Mereka diterbangkan ke kantor pusat perusahaan di New Orleans. Dalam persetujuan, Freeport akan membayar 500.000 dollar Amerika per tahun ke dana yayasan dengan suntikan awal sejumlah 2,5 juta dollar Amerika. Persetujuan awalnya dibuat tahun 1996 dan didisain untuk menepati janji Freeport untuk mengakui kepemilikan tanah adat atas daerah pertambangan. Menurut laporan The Jakarta Post, koran berbahasa Inggris, para pemimpin Amungme dan Kamoro ingin menggunakan sebagian dari uang itu untuk membeli saham perusahaan.

Pada April 2002, salah seorang kritikus yang paling blak-blakan dan sekaligus korban penyalahgunaan hak asasi manusia, Mama Yosepha Alomang, mendapat penghargaan Goldman Environmental Prize sehubungan dengan kerjanya di bidang lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Pada 1999, Mama Yosepha mendirikan sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia, Yahamak, di Timika.

Baru-baru Mama Yosepha menolak sumbangan sebesar 248.000 dollar Amerika dari Freeport. Sudah beberapa kali Mama Yosepha menuntut Freeport untuk menghentikan operasinya.

Sejarah panjang dari penyalahgunaan hak asasi manusia di Timika sangat erat hubungannya dengan peran pihak kemananan Indonesia dalam melindungi pertambangan, yang dikategorikan oleh pemerintah Indonesia sebagai 'proyek nasional yang vital.'

Pada tahun 1997, sebagai kelanjutan dari meningginya konflik dan tekanan, 6000 tentara menurut laporan ditempatkan di daerah dekat pertambangan. Penjaga keamanan Freeport terlibat dalam beberapa kasus kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan dan orang-orang hilang. Di daerah terdekat lainnya, pihak keamanan terlibat dalam operasi pemusnahan gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka), yang melibatkan pembakaran kampung-kampung dan pembunuhan masyarakat sipil.

Timika dan Ilaga daerah terdekat di Puncak Jaya pada bulan Oktober dianggap sebagai daerah 'pusat kekerasan' yang timbul sebagai akibat dari meningkatnya tingkat kegiatan militer di seluruh Papua.

Tahun ini terdapat indikasi yang kuat bahwa pihak keamanan ingin melanjutkan kebijaksanaan militerisasi. Pada bulan Mei, Komandan Daerah Militer Sorong, Kol M R Saragih mengatakan, komando militer Indonesia setempat telah siap untuk mengamankan Freeport dari segala ancaman keamanan terutama dari OPM. Pada bulan Juli, harian Suara Karya melaporkan, keamanan sedang ditingkatkan di daerah pertambangan. Kepala Polisi Timika Sumarjiyo menyatakan bahwa polisi bekerja sama dengan militer untuk mengantisipasi serangan yang diperkirakan akan dilakukan oleh OPM. Pangdam dan Kapolda juga menyatakan bahwa kelompok 'separatis' berencana untuk melakukan serangan.

Freeport Menemukan Lebih Banyak Emas
Pada bulan Mei Freeport melaporkan penemuan sebuah 'sumber' dengan nama Ertsberg East Surface yang kandungannya mencapai 1,1 milyar pon tembaga dan 2,5 juta ons emas. Katanya Freeport sedang mempelajari kemungkinan untuk membuat lubang terbuka skala besar dan komplek pertambangan bawah tanah yang mengandung 500 juta ton biji besi. Itu berarti pengembangan Ertsberg East Surface sehubungan dengan kandungan lainnya yang dikenal sebagai IOZ, DOZ, Dom, dan ESZ.


Otonomi Khusus
Sejumlah tokoh elite Papua yakin bahwa pengaturan pembagian pendapatan menurut Undang-undang Otonomi Khusus akan memecahkan banyak masalah sosial yang disebabkan oleh pertambangan. Berdasarkan UU Otsus, Papua akan menerima 70% pendapatan dari proyek minyak dan gas -sepuluh persen lebih rendah daripada yang diperkirakan banyak orang- dan 80% dari proyek pertambangan.

Setelah persitiwa 11 September dan sesudahnya, gelombang sentimen Amerika di Indonesia yang dipimpin oleh unjuk rasa Islam fundamentalis memperluas kabar burung bahwa semua investasi Amerika di Indonesia akan ditarik. Hal ini memancing reaksi keras dari anggota DPRD Jayapura, Sam Resoeboen, yang memperingatkan politisi Jakarta untuk tidak membuat pernyataan yang mengganggu operasi perusahaan itu. Karena, kata dia, ''keberadaannya membantu kemakmuran rakyat Papua."

Namun bagi pembela hak asasi manusia, berapa banyakpun uang yang mengalir ke Papua sebagai hasil dari Otonomi Khusus, dampak negatif akan terus berlanjut selama kehadiran militer masih dipertahankan. Dan militer mempunyai reputasi sebagai pemancing kerusuhan untuk mensahkan kehadiran mereka.

Sehubungan dengan itu, sentimen anti Amerika baru-baru ini digunakan oleh pasukan keamanan untuk memberikan pembenaran lebih lanjut dalam peran perlindungan mereka. Sebuah pernyataan Freepot baru-baru ini mengungkapkan keyakinannya bahwa operasi mereka tidak akan terpengaruh oleh unjuk rasa karena ‘aparat keamanan Indonesia’ yang digambarkan sebagai "amat professional dan berdedikasi dalam melindungi aset dan sarana perusahaan serta semua penduduk di kawasan tersebut."

Ini sebenarnya amat berlawanan dengan tuntutan rakyat Papua yang menyerukan demiliterisasi di Timika dan di tempat-tempat lainnya; untuk mengakhiri impunitas dan agar orang-orang yang bertanggung-jawab dalam kekejaman di masa lalu bisa dibawa ke pengadilan. (Pernyataan seperti dikutip Petromindo, 17 Oktober 2001)

85,9 Freeport Indonesia dimiliki Freeeport McMoRan Copper and Gold Inc.
Raksasa pertambangan Inggris Rio Tinto menguasai 14,6 % saham di perusahaan ini dan 40% saham di perluasan Grasberg serta produksi pertambangan berikutnya dalam kontrak kerja kedua Freeport. Keuntungan yang diraih Freeport pada tahun sebesar 136 juga dollar Amerika dan itu merupakan pembayar pajak terbesar di Indonesia. Freeport adalah produsen tembaga dengan biaya termurah di dunia.


Kita diperhadapkan pada kenyataan bahwa lingkungan hidup merupakan warisan yang kita lestarikan dan sudah tentu patut diwariskan pula bagi anak cucu kita. Bila lingkungan tempat anak-anak negeri yang mewarisi bumi Papua tidak dapat mewariskan lagi lingkungan yang nyaman bagi generasi yang kemudian, maka barang tentu akan timbul pertanyaan bagi anak cucu kita nantinya. Seperti sepatah kata yang pernah dilontarkan oleh penduduk pribumi Indian setelah negerinya di ekspansi: ”Jika pohon terakhir dicabut, sungai terakhir telah tercemar, ikan terakhir telah ditangkap, maka kita akan sadar bahwa manusia tidak dapat memakan uang.”

*Kontributor Artikel ini adalah Mahasiswa Pasca Sarjana pada Program Studi Ilmu Lingkungan di Universitas Udayana Denpasar, Bali, dan kini sudah bekerja di Papua.
*Artikel ini di edit kembali oleh: Diary Papua

Read More...

Sunday, 3 June 2007

Kepentingan Modal Asing Dalam Masalah Papua

Ditulis Oleh: Diary Papua*
More blogs about imperialisme.


Papua masih merupakan wilayah rawan konflik yang belum dapat didamaikan atau paling tidak belum ditemukan jalan terbaik penyelesaian masalahnya. Masalah Papua bukan sekedar masalah politik melulu tetapi sudah merupakan konflik multi dimensional yang merasuk segala aspek kehidupan social rakyat. Sebuah konflik multi dimensional yang harus diurai dan dicari jalan penyelesaiannya dengan adil.

Jika mulai bicara soal Papua pastilah terpampang disana masalah pelanggaran HAM yang kronis, kemiskinan structural yang melilit kehidupan hampir 40 persen penduduk (peringkat pertama di Indonesia), pengembangan sumber daya manusia yang stagnan, operasi dan represi militer yang tiada henti, praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang korup disertai malpraktek manajemen negara atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan bagi Papua -- episode pertarungan Ostsus Papua versus Propinsi IJB dapat menjadi contoh dalam hal ini --, pembalakkan liar, perusakan lingkungan yang parah hingga pencurian sumber-sumber daya ekonomi rakyat yang tiada henti adalah merupakan beberapa aspek konflik multi dimensional Papua yang dapat dilihat jika hendak mencermati masalah Papua secara tuntas.

Konflik Papua juga bukan melulu konflik politik domestik Indonesia. Tanah Papua, dengan sumber daya alam yang melimpah, sudah mengundang begitu banyak pihak yang memiliki kepentingan eksploitasi ekonomi sejak awal permasalahan politik Papua muncul dalam forum-forum internasional ketika menguatnya perebutan hegemoni atas Tanah Papua oleh Indonesia dan Belanda pada tahun 1960-an. Bolehlah dikatakan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan Australia adalah pihak-pihak luar yang dalam lima decade terakhir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung atas berbagai soal yang muncul di Papua karena kepentingan eksplotasi sumber-sumber ekonomi mereka di Tanah Papua. Karena sumber daya alam yang melimpah itu maka dapatlah dikatakan Papua sejak awal telah menjadi masalah dalam peta politik global yang harus diamati secara lugas jika hendak melakukan sebuah perubahan yang kualitatif dan berarti dalam permasalahan Papua.

Konkalikong imperialis global dengan pemerintah Indonesia pada saat negosiasi-negosiasi politik internasional soal Tanah Papua dibicarakan tampak dengan jelas. Sandiwara politik mengenai Papua yang disutradarai agen-agen imperialis seperti AS jelas menjadi sebuah kebijakan politik resmi kekuatan imperialis (konspirasi modal asing) dalam mengintervensi masalah politik Papua yang menghendaki Papua masuk kedalam NKRI dengan syarat-syarat eksploitasi ekonomi yang akan menjadi hak ekslusive bagi imperialis dalam mengeruk sumber daya alam Papua. Latar belakang deal-politik mengenai status politik Papua yang demikian, jelas sekali menjadi latar sejarah yang dominan dalam masalah Papua.

Untuk mengelabui masyarakat global, berbagai kebijakan diplomatic internasional ditetapkan untuk dijalankan dalam penyelesaian masalah Papua. Sebagai contoh, tarik ulur antara Indonesia dan Belanda soal Papua, berdasarkan intervensi AS, berhasil diminimalisir menjadi bentrok terbuka dengan dipaksakannya pelaksanaan proposal Bunker -- proposal ini dirancang oleh Elsworth Bunker, seorang diplomat senior AS di PBB -- yang mengatur mengenai aksi politik penyelesaian masalah Tanah Papua.

Berdasarkan tekanan yang kuat dari AS, Belanda dan Indonesia akhirnya menyepakati usulan Bunker dan ditandatangani pada tanggal 31 Juli 1962. Proposal Bunker inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya resolusi PBB Nomor 1752 dalam Sidang Umum PBB mengenai Perjanjian New York yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1962. Bagian terpenting dari New York Agreement adalah ketetapan mengenai aksi bebas memilih (Act of Free Choice) bagi rakyat Papua yang dalam beberapa hal dilakukan secara manipulatif saat itu di Papua.

Perjanjian New York itu tidak dipraktekkan secara benar di Papua oleh karena kepentingan ekonomi politik yang lebih dominan dari imperialis global dalam penyelesaian masalah Papua. Untuk tetap menjaga kepentingan eksploitasi ekonominya, atas inisiatif AS, dilakukan sebuah pertemuan rahasia di Roma yang dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat Perjanjian Rahasia Roma (the Secret Rome Agreement) pada tanggal 30 September 1962, tepat seminggu setelah ditetapkannya Perjanjian New York.

Isi perjanjian rahasia roma adalah; Pertama, pelaksanaan penentuan nasib sendiri agar ditunda atau dibatalkan; Kedua, Indonesia memerintah Papua selama 25 Tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 1963; Ketiga, metode Act of Free Choice digunakan dengan metode Indonesia, yakni musyawarah; Keempat, AS berkewajiban melakukan penanaman modal melalui badan usaha di Indonesia bagi eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya; Kelima, AS menjamin Bank Pembangunan Asia sebagai dana pembangunan PBB di Papua sebesar 30 Juta dollar AS untuk jangka waktu 25 tahun; Keenam, AS menjamin Indonesia melalui Bank Dunia dengan sejumlah dana bagi pelaksanaan Transmigrasi dalam rangka penempatan orang-orang Indonesia di Papua, terhitung sejak tahun 1977.

Pasal empat perjanjian rahasia Roma, seperti tertulis diatas, menjadi giroh atau inti dari semua soal yang melatar belakangi kepentingan ekonomi politik AS mengenai Papua. Semangat ekspansionis modal imperialis yang demikian kuat menjadi dasar sengketa politik Papua yang kemudian menjadi semakin stabil dibawah pemerintahan orde baru Soeharto yang pro AS. Sebuah cerita panjang mengenai pencurian sumber daya alam Papua yang tanpa henti itu, rupa-rupanya berawal dari dan bermula dari sini.

Papua Sebagai Jaminan Liberalisasi Ekonomi Imperialis Di Indonesia

Bulan Nopember 1965, sebulan setelah kudeta berdarah terhadap Soekarno yang anti Barat, Freeport McMoran Gold & Copper mulai melakukan penjajakan investasi ekonomi dengan regime baru yang pro AS. Penjajakan investasi itu dilakukan Freeport untuk menambang singkapan deposit tambang tembaga terbesar didunia yang terdapat di Ertsberg, didaerah pegunungan tengah Papua. Kepastian mengenai adanya deposit tambang tembaga terbesar itu dibuktikan oleh Forbes Wilson, seorang geolog AS, melalui sampel geologis dari singkapan Ertsberg yang ditelitinya pada tahun 1960.

Soeharto, presiden RI kedua, berpaling pada ekonom-ekonom Indonesia yang dididik AS. Mafia Berkeley, demikian sebutan kelompok ekonom ini, pada masa orde baru akan menjadi kelompok sentral yang mengarahkan kemana arah kebijakan ekonomi Indonesia dijalankan, mereka menjadi kaki tangan IMF dan Bank Dunia dan berdasarkan nasihat-nasihat ekonomi yang mereka berikan kepada pemerintahan orde baru dimulailah sebuah fase liberalisasi ekonomi yang memudahkan investasi modal asing masuk ke Indonesia dan Papua -- sebagai daerah yang masih bermasalah pada awal pemerintahan orde baru -- menjadi pertaruhan ekonomi dan harga yang harus dibayar bagi imperialis oleh Indoneia sebagai bargaining position untuk tetap memiliki Tanah Papua.

Barangkali banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa pintu gerbang investasi modal Asing di Indonesia terbuka lebar oleh karena kehadiran Freeport McMoran Gold & Copper yang sejak awal 1960-an sudah berminat dan bernafsu untuk melakukan penambangan tembaga dan emas di Papua. Barangkali juga banyak yang hendak melupakan kenyataan bahwa Papua, yang sampai sekarang masih bermasalah itu, adalah harga yang harus dibayar oleh Indonesia untuk memperoleh dukungan AS dan imperialis global dan memantapkan pijakkan kekuasaannya atas wilayah ini.

Untuk membuka kemungkinan dilakukannya investasi ekonomi, Freeport melakukan negosiasi dengan pemerintah Indonesia yang melahirkan kontrak karya (kk) generasi pertama yang mengatur tentang ketentuan pokok penambangan oleh pihak asing di Indonesia. Kontrak karya yang dibuat Indonesia dan pihak Freeport itu ditetapkan pada bulan April 1967. Seperti kita ketahui, pada saat itu aksi bebas memilih (act of free choice) atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘penentuan pendapat rakyat’ (pepera) belum dilakukan dan wilayah Papua secara de jure belum berada dalam kekuasaan NKRI.

Desakan liberalisasi ekonomi yang kuat dari modal asing mengharuskan Indonesia mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang aman, murah dan mudah diakses oleh modal asing tanpa banyak urusan birokrasi yang memberatkan dalam rangka eksploitasi ekonomi mereka. Oleh karena itu kehadiran Freeport dan kontrak karya yang sudah dibuatnya dengan Indonesia dikemudian hari melahirkan dua paket ekonomi yang sangat vital bagi investasi modal asing dibidang pertambangan dan juga sebagai suatu tanda dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia. Kedua paket kebijakan ekonomi itu adalah dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1967 Mengenai Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan UU No.11 Tahun 1967 Mengenai Pertambangan (UU Pertambangan). Kedua paket kebijakan ekonomi itu pulalah yang membuka peluang masuknya raksasa modal atau multi nationals corporation seperti Freeport McMoran Gold & Copper, Exxon-Mobil, Rio Tinto, Newmont, Dutch-Shell, Conoco Oil, Petro China dan beberapa lainnya.

Tidaklah mengherankan jika dikatakan bahwa Papua menjadi tolok ukur sebuah perubahan kebijakan ekonomi secara signifikan di Indonesia dan bisa dibenarkan pula bahwa Papua dikorbankan dan digadaikan kepada asing oleh Indonesia dalam rangka membeli dukungan politik internasional, terutama AS, untuk memasukkan Papua ke Indonesia. Sebuah sikap politik yang hingga saat ini menimbulkan konflik tiada henti antara rakyat Papua yang sadar akan tergadainya hak-hak politik mereka dengan pemerintah Indonesia yang tamak, serakah dan yang diperbudak modal asing.

Otonomi Khusus Papua Merupakan Paket Ekonomi Politik Neo-Liberal

Krisis ekonomi yang melanda dunia sejak tahun 1995 dan semakin menguat pada tahun 1997 juga menerpa Indonesia. Beberapa analisis strukturalis mengemukakan pendapat mereka bahwa krisis ekonomi yang terjadi saat itu adalah merupakan wujud dari dinamika internal kapitalisme yang hendak merubah metode eksploitasi ekonominya. Pada tahun 1960-an dalam metode eksploitasi kapitalisme global dikenal istilah pembangunanisme atau developmentalism, pada decade 1970-an sampai dengan 1980-an akhir kapitalisme menerapkan metode eksploitasi ekonomi melalui sebuah pendekatan yang disebut liberalisme pasar.

Rupa-rupanya liberalisme pasar tidak lagi menghasilkan fulus yang aman bagi induk kapitalis karena berbagai praktek birokrasi yang korup dinegara-negara dunia ketiga, kondisi yang demikian melahirkan ekonomi biaya tinggi dan tidak efisien bagi ekspansi modal maupun penarikan untung oleh kapitalisme global.

Dengan demikian dibuatlah krisis ekonomi yang dilancarkan sendiri oleh kaum imperialis di beberapa negara, termasuk di Indonesia saat itu, untuk merontokkan mesin-mesin kekuasaan yang korup dan yang sudah tidak lagi memberi keuntungan secara ekonomis dan politik bagi eksploitasi ekonomi negara-negara induk kapitalis.

Krisis ekonomi global menyebabkan gerakan reformasi muncul kepermukaan dan melahirkan sentimen perlawanan rakyat yang meluas atas berbagai ketidakadilan, praktek korupsi yang merajalela, sentralisasi kekuasaan politik dan ekonomi, pengebirian hak-hak demokrasi rakyat dan berbagai pelanggaran hak asazi manusia yang sangat identik dengan kekuasaan fasis-militeristik orde baru.

Dalam konteks Papua, dua sisi musti dilihat. Pertama, munculnya gerak reformasi itu memberikan ruang demokrasi yang lapang bagi rakyat Papua untuk menyuarakan hak-hak politiknya yang lebih dari empat decade ditiadakan dengan paksa dibawah tekanan militeristik pemerintahan yang berkuasa yang telah melahirkan begitu banyak pelanggaran HAM yang mengerikan. Kedua, ketidakadilan ekonomi yang terjadi selama ini rupanya tidak termaafkan lagi oleh rakyat Papua, betapa tidak, puluhan trilyun rupiah disumbang Papua secara rutin tiap tahun kedalam kocek pemerintahan pusat dari berbagai eksploitasi sumber daya alam yang terjadi, sementara Papua hanya mendapat bagian dengan jumlah tidak lebih dari satu persen, sebuah paradoks yang menyakitkan.

Dua hal diatas menyebabkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka menguat. Tidak ada pilihan lain, pemerintah Indonesia rupanya harus mengambil jalan baru untuk tetap menjaga Papua berada dalam kekuasaan NKRI agar proses eksploitasi ekonomi yang telah berlangsung selama ini tetap berjalan dengan eksis.

Mirip politik etis jaman Hindia Belanda, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan paket politik, yang dapat disebut politik etis, yaitu Otonomi Khusus bagi rakyat Papua. Disatu sisi, Otsus dipandang pemerintah Indonesia dapat selesaikan masalah Papua secara tuntas, tetapi disisi yang lain, Otsus Papua yang merupakan paket politik neo-liberal titipan IMF dan Bank Dunia, bagi para pemilik modal asing, memberikan dampak positif dan jaminan bagi kelangsungan eksploitasi mereka serta bahkan semakin memudahkan cengkeraman modal dan eksploitasinya di Papua.

Dalam konteks ini, desentralisasi politik yang diberikan kepada Papua dalam paket Otsus adalah merupakan taktik imperialisme global yang disodori kepada pemerintah Indonesia untuk dijalankan di Papua. Bukan cerita baru, sentralisasi ekonomi selama ini dijalankan oleh Jakarta dengan praktek korupsi yang menggila, dianggap merugikan bagi investasi modal asing. Jalan aman memutus budaya korup Jakarta dan memuluskan hubungan modal asing secara langsung dengan Papua adalah melalui pemberian Otsus, karena dalam paket Otsus, pemodal asing bisa langsung berurusan dengan pemerintah Papua, tanpa harus melalui Jakarta, jika menginginkan investasi ekonomi diwilayah ini. Bukan tidak mungkin, jika Otsus dijalankan dengan tepat berdasarkan keinginan imperialis global, maka Papua akan menjadi primadona eksploitasi modal asing pada masa-masa yang akan datang.

Itulah mengapa dalam beberapa tahun terakhir, AS, Inggris, Australia dan beberapa negara Barat lainnya selalu mengemukakan dengan jelas bahwa mereka tetap mendukung Papua berada dalam NKRI, karena sudah terbaca dengan jelas keuntungan ekonomis yang akan mereka peroleh jika mereka mampu mendorong pemerintah Indonesia menjalankan agenda Otsus dengan benar di Papua.

Read More...