Monday, 8 December 2008

Tanggapan Yanri Untuk Papuan Diary [Standing Up for Human Rights by Restricting Military Assistance to Indonesia]

Oleh: Yanri [yanri@jambiexplorer.com]

Salam,

memang terlalu banyak kesalahan masalalu, termasuk salah satunya memberhalakan apa yang disebut konsepsi NKRI, ujug ujug tanpa penjelasan, ditelan tanpa dikunyah terlebih dahulu, bahkan ada yang dipaksa menelan tanpa tahu apa yang harus ditelan.


Sangat setuju dengan anda bahwa NKRI dihari-hari ini sungguh2 telah direndahkan oleh mereka2 yang mengambil keuntungan pribadi daripadanya hanya sebagai sebuah doktrin belaka.

Pokoknya NKRI harga mati...kata mereka. Entah dimana sangkut pautnya bapak2 dan ibu2 itu hingga podium yang ditonton berjuta rakyat pun kini mereka gunakan untuk mengumbar kata "pokoknya".

Ataukah sudah habis akal mereka.....?

Atau mungkin kata "pokoknya..." sudah dianggap lebih bertuah dibandingkan dengan kalimat........ "Saudara2,mari kita selidiki lebih jauh ......"; sebagaimana Bung Karno selalu menggunakannya untuk mengajak kita semua berfikir.

setuju dengan anda, bahwa apapun itu NKRI, substansi-nya adalah "bangsa maupun sub-bangsa yang dilingkupinya",--- watak antropologis daripada sebuah Negara Bangsa (Negara Bangsa paling tidak sedikit paling cocok untuk diterapkan dalam konteks budaya ke- Asia-an kita)--- sebaliknya, banyak negara yang hadir dalam peta dunia dengan tak perlu diawali dengan adanya kebangsaan, melainkan cukup dengan citizenship.

Mari dalam pembicaraan kita yang singkat dan tak bersuahati ini (karena saya tak bisa menatap mata anda langsung, bahkan untuk soaljawab setinggi ini saya tak cukup berharga untuk mendapat tahu siapa sebenarnya nama anda), kita anggap saja dulu NKRI dalam surat saya kepada John Miller yang lalu itu , adalah sebutan saya untuk masyarakat sukubangsa yang terjebak diantara Samudera Pasifik dan Hindia, sekaligus juga terpencil diujung semenajung benua Asia membentang hingga Pasifik Barat - on God's will (Premis 1),......

.........dan sukubangsa2 ini setelah melewati sejarah panjang pembentukan "narasi imajinatif" yang tersebut dalam Sumpah Pemuda dan hal2 pengikat lainnya (termasuklah hal yang biasa kita sebut sebagai: imperialisme), pada satu tanggal di 17 Agustus 1945 , "sebagian luasan daripada keseluruhan God's Will" itu oleh putra putri daripada sukubangsa2 itu, atas rahmat Tuhan Mereka Yang Maha Esa, berhasil mereka pernyatakan sebagai sebuah sebutan "administratif versi pengambilalihan imperium Belanda" yang bernama Negara Kesatuan berbentuk Republik yang bernama Indonesia (Premis 2).

Tidakkah bertentangan pemandangan saya, bahwa dalam Premis 1 saya mendapatkannya sebuah obyek yang God's Given, sementara pada Premis 2 saya berkerashati pada sesuatu yang Men's Given?

Ya, Indonesia sebagai sebuah kesatuan antropologis pada Premis 1 adalah pemberian Yang Maha Kuasa sebagaimana bersatunya pantai sepanjang pulau Papua mulai dari Papua barat hingga ke timur Papua New Guinea....,sementara pada Premis 2, Indonesia sebagai sebuah kesatuan adalah yang hadir sebagai hasil pengambilalihan kekuasaan manusia dari Sing Maha Londo...Indonesia dalam Premis 2 adalah kesatuan daerah versi utak atik garis batas eksploitir kekayaan alam hasil corat coret Meneer Londo di kantornya yang megah nun sedap di Batavia itu....

Bukankah Premis 2 jelas2 itu yang kita anut selama ini?
Tetapi bukankah pula Premis 1 lebih sejuk terasa dalam hati kita?

Kemudian pasal kalau hendak bersoaljawab, kenapa pula harus disebutkan dalam UUD 1945 bahwa Republik ini adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik?

Kenapa tidak disebut saja Indonesia adalah negara Republik saja?

Atau memang ada negara Republik yang pecah-pecah? Atau memang ada negara Republik yang tidak bersatu? Atau ada Republik yang kapan suka bersatu kapan suka berpisah badan?

Bagaimana pula jalan pikir bapak bapak itu hingga akhirnya mereka perlu menyebutkan dalam UUD 1945 bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik?

Lebih baiklah kita setujui awal dari jabat tangan ini, bahwa yang dimaksud kesatuan dalam hal ini adalah tak lain tak bukan adalah sebuah keluhuran cita2 yang masih berupa pengharapan---(NON-EXISTING HOPE).

----------------------------------------
KESATUAN INDONESIA DALAM RUH PROKLAMASI DAN UUD 1945 ADALAH SEBUAH KELUHURAN CITA CITA YANG BERUJUNG PENGHARAPAN. IT WAS NON-EXISTED. IT WAS.....
----------------------------------------

Tapi bukankah Sumpah Pemuda sudah membentuk Bangsa Indonesia, kata Pak Miller?

Mohon sekali lagi Pak Miller selidiki lagi lebih jauh apakah saat orang2 jawa, sumatera dan ambon itu duduk berapat di 1928 tersebut, terdapat pula diantara mereka Jong Papuan? apa memang disaat itu ada pula diantara mereka saudara2 saya yang separuh keturunan Portugis yang telah dengan damai sejahtera berkawinsanak dengan putra putri Timor itu, juga terwakili sebagai Jong Timorese?

Jadi, kalau Pak Miller tetap mau menyebutkannya bahwa pembentukan Bangsa Indonesia sudah selesai disaat terjadinya Sumpah Pemuda Oktober 1928 itu,maka yakinlah pada saat yang sama Pak Miller sedang melakukan ritual pembunuhan terhadap kelahiran Bangsa yang lebih besar, dan bangsa yang telah dibunuh olehnya itu adalah Bangsa
Indonesia versi Abad 21.

Tetapi tentu saja non-existing hope dari Negara Kesatuan pada waktu itu apabila disandarkan jauh tinggi dalam alam fikiran manusia2 terbaik yang menyatakannya, lalu kemudian kita berkata "ya...Bapak2 pendiri republik kami telah jauh melangkahi zaman..."

Setujukah saya?
Tidak, kata saya!

Kenapa tidak?
Karena kalaulah pemikiran mereka dahulu hanya untuk sekedar melangkahi zaman, percayalah........, zaman akan datang menjemput mereka lebih cepat dari yang mereka perkirakan, dan akhirnya Bapak2 itu satu saat pun akan hilang tergilas masa tertinggal zaman.

Justru sebenarnya Kesatuan itu bukanlah terletak dalam kesesuaiannya dengan zaman, karena zaman boleh berganti, sedangkan kesatuan tidak. Dunia boleh berputar 180 derajat, tetapi orang Papua tetaplah Putra Papua..

Matahari boleh terbit dari barat dan tenggelam di Timur, tetapi Sang Aceh tetaplah perkasa menentang ganasnya ombak Samudera Hindia sebagaimana ia ditakdirkan berdiri megah diujung paling barat sebuah pulau magis bernama Sumatera.

Dan maka itu pula, Kesatuan dari Republik Indonesia, sesungguh-sungguhnya tak akan pernah mencapai kata "final"...apalagi "harga mati", karena kesatuan itu bukan tersandar pada zaman, melainkan seharusnya ia hidup dalam jiwa tiap2 kita yang menyepakatinya. Bahkan ia bisa hidup lebih besar jikalau jiwa-jiwa itu menyepakatinya.

hari ini juga kita bisa hancurkan NKRI, kalau kita mau.Hari ini juga kita bisa memantapkan hati kita bahwa kita tidak perlu lagi alasan untuk bersatu, dan enyah saja itu Kesatuan..Bukankah dengan hilangnya kemauan, akan hilang pula kesatuan itu?

Tetapi hari ini juga NKRI jikalau kita mau, bisa kita hidup besarkan, bahkan jauh melampaui apa2 yang pernah ada dihari ini....Kalau kita mau..!

Maka dari itu, kalaulah kehendak itu ada, sebutkanlah kepadanya bahwa kesatuan itu sesungguhnya terletak didalam jiwa, it is a state of mind...it is a perspective, its a consciousness....but above all, it is a will.

Demikian pula Negara Kesatuan....Kekuatan dalam persatuan itu haruslah sebuah kesadaran, sebuah consciousness, bukan pula hanya sebuah doktrin belaka, dan terlebih penting pula ia haruslah sebuah keinginan...

Kesatuan itu haruslah sebuah keinginan!

(ah,seandainya saja masih ada diantara kita si Bung yang suka mengawali tulisan-tulisannya dengan kalimat begini, " Saudara-saudara, mari kita
selidiki lebih jauh....")

-------------------------------------------

Salam,

Yanri,-
Ujung-ujung senjata tak akan pernah bisa memaksakan keinginan.

Read More...

Tanggapan Untuk Yanri [Standing Up for Human Rights by Restricting Military Assistance to Indonesia]

Oleh: Papuan Diary [papuandiary@gmail.com]

Yanri,

Saya bukan John tapi saya hanya mau katakan saja kepada Anda bahwa Anda dan hampir semua orang yang tinggal diluar wilayah konflik [Timor Leste, Papua, Acheh, Poso, dll] akan selalu memandang "simbol" dan bukan "cita-cita" bersama dalam membangun peradaban sebuah negara-bangsa.

NKRI adalah sebuah simbol, dimana berbagai suku-bangsa yang ada di Nusantara ini berkumpul membentuk suatu nation-state baru yang disebut Indonesia.

Bahwa tujuab pembentukan NKRI adalah untuk melawan dan menghancurkan setiap anasir imperialisme yang masuk bersama kolonialisme dan kemudian berjaya dalam mengeruk dan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia dimana si kolonial bercokol, termasuk pada waktu itu, Belanda terhadap penduduk nusantara.

NKRI muncul sebagai "simbol" untuk menghancurkan nilai-nilai penindasan itu, dan sekaligus menghasilkan suatu cita-cita bersama dari seluruh suku-bangsa yang tergabung membentuk NKRI itu untuk menciptakan tatanan masyarakat yang:

1. ADILI SECARA SOSIAL
2. DEMOKRATIS SECARA POLITIK
3.SEJAHTERA SECARA EKONOMI, dan
4. PARTISIPATIF SECARA BUDAYA

Itu inti daripada pembentukan NKRI sebagai suatu negara-bangsa baru yang merdeka dari penjajahan. Tetapi apa lacur?

NKRI yang lahir dari proses sejarah itu, kemudian telah dimanipulasi oleh segelkintir kelompok nasionalis, yang selalu memakai simbol2 NKRI dalam mempertahankan argumentasi dangkal mereka ketika KESEJAHTERAAN sebagai CiTA-CITA, KADILAN SEBAGAI CITA-CITA dan DEMOKRATISASI sebagai CITA-CITA tidak pernah hadir ke bumi NKRI, lalu kemudian menghasilkan perlawanan rakyat diberbagai sektor.

PETANI yang tergusur MELAWAN dan memberontak! BURUH yang ter-PHK melawan dan memberontak! Masyarakat Adat Papua yang tergusur diatas Tanah leluhurnya juga melawan dan berontak!

Apakah NKRI menjamin kesejahteraan? Apakah NKRI menjamin keadilan? Apakah NKRI menjamin kebebasan berpendapat? Apakah NKRI menghargai hak hidup suatu golongan suku-bangsa dan HAM-nya tidak dilanggar?

NKRI yang tersimbolisasi telah Anda dan kawan-kawan Anda dewakan sebagai TUHAN, yang menurut Anda harus dipertahankan sampai mati sekalipun, baiklah, itu pikiran picik Anda!

Apa kekurang Papua untuk NKRI? Setiap tahun 800 Trilyun rupiah disumbangkan Papua kedalam kas keuangan NKRI sebagai hasil eksploitasi Freeport. Coba Anda hitung sejak tahun 1972 hingga hari ini, berapa ribu trilyun rupiah yang telah disumbangkan Papua kepada Anda dan NKRI yang Anda banggakan ini saudara?

700 Trilyun hilang bagai ditelan bumi karena proses kontrak yang salah dan itu dibuat oleh Megawati dan kini oleh SBY-JK. Itu dari proses eksploitasui gas alam yang ada di Tangguh, Papua Barat!

7 Blok Gas Tangguh Papua Barat akan kasih makan ratusan juta orang Indonesia ini, sementara hak-hak hidup orang asli Papua terus dilanggar, mereka dibantai diatas Tanah-nya sendiri. Mereka MISKIN diatas tanah-nya sendiri! Mereka mengemis diatas tanah-nya sendiri!

Sampai disini saya mau tanya: apakah NKRI telah menjalankan cita-citanya seperti yang dikumandangkan dalam proklamasi 1945? Apakah NKRI menjalankan cita-citanya sesuai amanat UUD 45?

Apakah ada jaminan sosial yang memadai bagi 100 juta penduduk miskin di NKRI ini? Apakah ada rumah buat 40 juta penduduk yang tidak memiliki rumah? Apakah ada jaminan pekerjaan bagi 12 juta tenaga produktif NKRI yang masih pengangguran? Apakah ada jaminan bagi PHK massal yang telah menanti 50 juta lebih tenaga kerja NKRI?

Wahai, inilah dia masalahnya! NKRI telah menjadi simbol dari pencurian secara sadar dan penjajahan secara sadar yang dilakukan kelompok terkecil negara-bangsa ini, NKRI telah dijadikan simbol untuk mengeruk untung dari kelompok nasionalis dan ultra-nasionalis yang hari ini berjaya dikekuasaan politik dan ekonomi NKRI.

Jika Anda bilang NKRI harga mati, maka saya juga mau bilang bahwa: PAPUA BARAT MERDEKA ADALAH HARGA DIRI! Harga diri sebagai suatu bangsa yang masih terjajah dan oleh karenanya berjuangu untuk melepaskan belenggu itu dan merdeka sebagai suatu bangsa yang: memiliki hak ekonomi, politik, sosial, budaya, yang setara dengan NKRI Anda itu! PAPUA BARAT MERDEKA ADALAH HARGGA DIRI! Harga diri-nya masyrakat adat Papua yang dilanggar oleh eksploitasi imperliasme asing yang berkolaborasi dengan borjuasi komprador yang ada di Indonesia dan bersetubuh dengan militer untuk menjaga kepentingan2 asing itu sembari membunuhi orang2 yang berontak karena ketiadilan yang muncul.

PAPUA BARAT MERDEKA ADALAH HARGA DIRI! Karena ia merupakan refleksi sejarah pembentukan NKRI yang TIDAK SELESAI!

Begitu Bung Yanri!
Janganlah Anda terjebak dengan simbolisasi NKRI, tetapi pandanglah cita-cita pembentukan NKRI!

Papua masuk kedalam NKRI juga adalah karena watak serakah TNI [Soeharto] yang merupakan kelompok ultra-nasionalis yang bersetubuh dengan modal asing milik AS yaitu Freeport dan jadilah PAPUA SEBAGI BUDAK NKRI!

Kami tidak mau! Kami adalah manusia yang punya hak ama seperti Anda dan NKRI Anda!

Salam Damai!
PD

Read More...

Response from Yanri to John M Miller [Standing Up for Human Rights by Restricting Military Assistance to Indonesia]

By Yanri [yanri@jambiexplorer.com]

John,

Let me quote these tagline I posted here early this year regarding East Timor (surely to Papua issue as weel) ,and be glad when you find it deep in your heart there should be peaceful and win-win action for the foundation of all action ETAN and Djamin, Bush or Obama, TNI or NGO's, Wiranto or Usman - people might pick up soon after reading
your letter.

Here they are :
--------------------------------------------------------
Let those bond by God's hand, not be separated by trades, natural resources, greeds and guns. Let those bond by one coastline, not be separated by walls of man made.
--------------------------------------------------------

If you are agree with the tagline, believe me, that I will 100 percent stand by you both in mind and soul, and I will do any efforts necessary to make the fight echoes round the globe. As long as you find that "those" mentioned on the tagline above
STANDS FOR our beloved NKRI, even greater than that.

Try to love this country as it is, then you will start to see heaven. Send my hi to MacNamara and Lyndon Johnson. With all my respect,

Merdeka!

Yanri,-
is one of true admirer of Jefferson, Lincoln,and Washington.

Read More...

Standing Up for Human Rights by Restricting Military Assistance to Indonesia

ETAN Responds to the Wall Street Journal

by John M. Miller (National Coordinator, ETAN)

A recent Wall Street Journal Asia editorial urged its readers to watch the "low-profile" but important issue of the U.S. military relationship with Indonesia. The Journal ("Obama's Indonesia Test," Nov. 20) repeated the widely-discredited case that re-engagement with the largely-unreformed and unrepentant Indonesian military was the best way to promote reform and human rights. It called on President-elect Barack Obama "to stand down liberal Senators and interest groups" like the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) and Amnesty International for seeking conditions on military assistance to Indonesia.

The editorial acknowledges the obvious, stating "Indonesia's military has certainly had human-rights problems in the past," but urges the incoming administration to forget about them in the name of building an alliance on the "global war on terror." We have certainly seen what ignoring international human rights concerns during the Bush years has accomplished (Guantanamo, torture, "extraordinary rendition," etc…).

The Obama administration and incoming 119th Congress should change course and put human rights at the forefront of U.S. policy toward Indonesia. This would contribute more to encouraging democratic reform and human rights accountability in the world's largest Muslim-majority country than any amount of military training or weapons. Indonesians who view the military as a chief roadblock to greater reform will be grateful.

History lessons

The Journal argues that from "the 1960s, the U.S. has worked with Indonesian officers in a variety of exchanges ranging from short courses at military colleges to joint training exercises. These programs help Indonesians gain technical expertise as well as learn key values, such as observing human rights and respecting civilian control. …"

Not exactly. Those pesky past "human-rights problems" were at their greatest when the U.S. was most engaged with the Indonesian military.

Let's look at what happened when U.S.-Indonesia ties were the closest. In 1965, General Suharto took power in a coup and according to scholars, up to one million people were killed in its aftermath. West Papua was seized in 1963 with up to 100,000 dead. In 1975, Indonesia with explicit U.S. support invaded East Timor, with another 100,000-200,000 dead. Some 90% of the weapons used in the invasion and subsequent occupation came from the U.S. Few have bothered to try to count those throughout the archipelago who suffered torture, rape or the loss of a limb, livelihood or home. These are the lessons the Indonesian military learned about "key values" from unfettered U.S. military assistance.

The only period of significant reform came during the period when the U.S. actually suspended much assistance during the 1990s. Chief among the changes were the end of the Suharto dictatorship in 1998. Since he was driven from office, East Timor became independent. (The Indonesian military's destructive exit from the country, lead for a time to a full cut off of all military assistance.) In the late 1990s, the military gave up a few prerogatives, including its seats in parliament. But since the U.S. began to incrementally reinstate military assistance in 2002 the reform process has stalled.

By 2005, the Bush administration had reinstated nearly all military assistance and has since sought further expanded ties through training of the Kopassus, the notorious special forces unit responsible for some of the worst human rights violations in East Timor, West Papua, Aceh and elsewhere. The Wall Street Journal thinks getting in bed with Kopassus is a great idea and devotes several paragraphs to criticizing Senators Patrick Leahy and Russ Feingold for their opposition to lifting this final hurdle to unrestricted military engagement. But the Senators have only called for following existing law (authored by Senator Leahy) barring training of military units with histories of human rights crimes where those responsible have not been brought to justice. If that provision has any meaning, it must apply to Kopassus.

Re-engagement has failed to end the widespread impunity enjoyed by Indonesia's security forces for crimes against humanity and other serious violations committed against the peoples of East Timor and Indonesia. Rather, re-engagement has emboldened the military's continued resistance to civilian control, and their persistent emphasis on internal security. The Indonesian military continues to resist attempts to dismantle its "territorial command" system, which allows the military to exert influence over civil administration and politics, commerce, and justice down to the village level. Finally, efforts to implement a law ending the military's involvement in business have degenerated into farce, and the military remains involved in a variety of illegal enterprises, including logging and narcotics trade.

Several retired generals responsible for some of the worst atrocities in East Timor are serious candidates for President in next year's elections. General Wiranto is perhaps the best known. He came in third in the 2004 Presidential campaign. Wiranto was indicted by a UN-sponsored court in East Timor for crimes against humanity for his role as top commander of the military in 1999, when it sought to undermine the UN-organized ballot on independence, Former Kopassus commander (and Suharto son-in-law), Prabowo Subianto is another credible Presidential candidate. According to an Australian coroner's report a third potential candidate, Sutiyoso, commanded a unit which murdered five foreign journalists after they crossed the Timorese border a few months prior to Indonesia's full-scale invasion.

A new approach

Human rights violations are not just in the past. In West Papua, with Indonesian military protection, the U.S.-based Freeport mining company has destroyed the environment, livelihoods, and culture of the local people while making billions off the largest gold mine in the world. Just this year, protests by Papuan people demanding self-determination and greater voice have been met with harsh reprisals, including long prison terms, torture and the death of at least one by-stander.

In May 2007, Marines killed four civilians and wounded eight in a land dispute between villagers and the Indonesian navy in Pasuruan, East Java. According to The International Herald Tribune, "The marines were tried by a military tribunal but ultimately sentenced to just 18 months in prison. The marine station's relationship with the plantation company was never investigated, nor were any of the station's officers. The land dispute remains unresolved."

As in the past, the current U.S. administration downplays these and other human rights violations, while celebrating its reinvigorated institutional partnership with Indonesia's security forces.

Will Obama change course? President-elect Obama has described U.S. engagement in Indonesia, where he lived as a child, as less than positive. In The Audacity of Hope, Obama writes that "for the past sixty years the fate of [Indonesia] has been directly tied to U.S. foreign policy." This policy included "the tolerance and occasional encouragement of tyranny, corruption, and environmental degradation when it served our interests." His earlier book, Dreams from My Father, Obama writes of Suharto's bloody seizure of power: "The death toll was anybody's guess: a few hundred thousand, maybe, half a million. Even the smart guys at the [CIA] had lost count."

We hope Obama will in fact stand with Indonesia's human rights community, which is not so keen to forget past crimes and ignore current ones as the outgoing administration. Indonesian advocates called on President-elect Obama and Congress to pressure Indonesia's government to respect human rights. Rafendi Djamin, coordinator of the Human Rights Watch Group, acknowledged the U.S.'s past "huge role in pushing for rights advocacy in Indonesia… I have seen that during the Bush administration, the U.S. Congress is still concerned with Indonesia's democratization and human rights advocacy, but Bush has rarely given a direct warning of the importance of human rights advocacy."

Djamin said in the Jakarta Post, "We are now expecting Obama to put more pressure on Indonesia to resolve unfinished human rights cases by directly questioning the government about them and by addressing their importance." Another advocate said that "If Indonesia does not respond positively to U.S. pressure… the U.S. would reinstate its military embargo against us."

East Timor's official Commission for Reception, Truth and Reconciliation after examining in detail the impact of Indonesian occupation and destructive withdrawal on the East Timorese called on countries to make military assistance to Indonesia "totally conditional on progress towards full democratisation, the subordination of the military to the rule of law and civilian government, and strict adherence with international human rights..." President Obama and the next Congress should follow that recommendation.

John M. Miller is National Coordinator of the
East Timor and Indonesia Action Network (ETAN). www.etan.org.

John M. Miller Internet: fbp@...
48 Duffield St., Brooklyn, NY 11201 USA
Phone: (718)596-7668 Mobile: (917)690-4391
Skype: john.m.miller

Read More...