Oleh : Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM
Edisi : Rabu, 10 Desember 2008 , Hal.4
UUD 1945 memberikan jaminan bagi setiap orang untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan dasarnya. Bahwa negara, terutama pemerintah mempunyai kewajiban sebagaimana dimandatkan di dalam konstitusi untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
Tulisan ini merupakan catatan reflektif atas kondisi HAM di Indonesia sepanjang 2008, sebagai bagian dari merayakan 60 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Hak sipil & politik
Dalam konteks hak sipil dan politik, jaminan perlindungan dan pemajuan HAM khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Menyangkut hak-hak dan kebebasan sipil warga diperkuat dengan diundangkannya UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Namun demikian, sejumlah peraturan perundang-undangan justru mengurangi kebebasan dan penghormatan hak-hak warga negara seperti UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Komnas HAM mencermati bahwa munculnya ketentuan-ketentuan yang multi tafsir dan kontroversial justru dikhawatirkan merupakan bentuk intervensi negara atas kehidupan dan hak asasi manusia, terutama yang berdampak langsung pada hak dan kebebasan dasar kelompok-kelompok minoritas, terutama kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). UU itu berpeluang mengakibatkan terjadinya pelanggaran kewajiban negara untuk menghormati hak asasi manusia.
Reformasi institusional juga terjadi pada lembaga-lembaga yudisial berupa penguatan peran sejumlah lembaga state auxiliaries seperti Ombudsman RI melalui UU No 37/2008 dan mulai bekerjanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dapat menjadi mekanisme penegakan hak asasi. Berbagai kemajuan ini tampak membawa implikasi positif pada administrasi keadilan kebebasan politik, dan pelayanan publik.
Sepanjang 2008, berbagai kemajuan di bidang HAM dan kebebasan dasar itu diadang oleh perilaku kekerasan mayoritas terhadap kelompok minoritas agama maupun politik. Para pemeluk agama minoritas maupun aliran kepercayaan berikut kelompok-kelompok yang mendukungnya diperlakukan bukan saja secara diskriminatif, namun juga mengalami kekerasan fisik dan serangan terhadap sekolah-sekolah dan rumah ibadah, seperti yang masih dialami oleh Jemaah Ahmadiyah, Jemaah Al-Qiyadah Al Islamiyah Siroj Jaziroh, Gereja Tani Mulya, dan Gereja Kristen Pasundan Dayeuh Kolot.
Selain itu, diskriminasi ini juga terjadi dalam bentuk peraturan-peraturan daerah berlandaskan syariat yang berdampak langsung terhadap penghormatan dan kebebasan dasar dari berbagai kelompok minoritas dalam masyarakat. Ironisnya, dalam menghadapi masalah demikian, negara cenderung melakukan pembiaran bahkan mengkriminalkan korban. Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah di mana terdapat jurang yang lebar antara yang landasan normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain terutama di tempat-tempat di mana orang dirampas kebebasannya.
Selain itu, Komnas HAM juga mengamati sejumlah kasus salah tangkap (seperti pada kasus Imam Hambali alias Kemat dan David Eko Priyanto), dan berbagai kekerasan yang dilakukan dalam operasi preman. Selama 2008 ini, Komnas HAM mencatat bahwa sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya belum mampu mengungkap dan menjawab kasus pembunuhan Munir, aktivis HAM.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diundangkannya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM masih menumpuk di tangan penyidik. Sampai akhir 2008 ini, setidaknya tujuh hasil penyelidikan Komnas HAM masih macet di Kejaksaan untuk kasus Penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Mei 1998, kasus Semanggi I, kasus Semanggi II, kasus Wamena, kasus Wasior dan kasus penculikan aktivis 1997-1998.
Hak Ekosob
Pelaksanaan hukuman mati selama 2008 masih menunjukkan angka yang tinggi. Pada periode Januari-Juli 2008, sebanyak enam terpidana mati dieksekusi dan diikuti dengan tiga orang terpidana mati bom Bali dan rencana eksekusi dua orang terpidana mati lainnya pada akhir tahun ini.
Dalam konteks hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak Ekosob), masih ada pandangan yang melihat hak Ekosob bukan sebagai hak asasi, baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat sipil, dan terutama sektor bisnis. HAM terutama hak Ekosob tidak digunakan sebagai paradigma dalam penyusunan kebijakan pembangunan (rights-based approach).
Akibatnya, meskipun berbagai kebijakan pembangunan dibuat, namun hak warga negara tetap tidak terlindungi dan terpenuhi dan korban-korban pelanggaran terus menerus berjatuhan, seperti pada kasus-kasus penggusuran, kurang gizi/gizi buruk, pemutusan hubungan kerja secara massal, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar justru dilindungi dan pada gilirannya meniadakan hak asasi terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Sepanjang 2008, Komnas HAM mencatat masih tingginya tindakan penggusuran rumah-rumah dan permukiman rakyat. Bahkan tindakan-tindakan tersebut didukung dengan legislasi daerah dan anggaran yang cukup besar. Sebagian besar, penggusuran tersebut dilakukan tanpa memberikan solusi nyata kepada rakyat mengenai tempat tinggal yang baru yang semakin menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan pemukiman bagi rakyat miskin.
Komnas HAM mengamati secara serius permasalahan gizi buruk serta tingginya kematian ibu dan anak Balita yang seperti fenomena gunung es karena jumlah anak Balita yang mengalami gizi buruk lebih dari asumsi yang sudah diperkirakan berbagai pihak, terutama untuk wilayah-wilayah terpencil. Kasus-kasus itu meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kebutuhan pokok lainnya. Sebenarnya, ada pemerintah berupaya menanggulanginya melalui program bantuan langsung tunai (BLT) dan program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Komnas HAM mencermati bahwa program BLT yang telah dilakukan, alih-alih mengurangi jumlah orang miskin tapi justru membuat orang miskin semakin tergantung.
Persoalan semburan lumpur panas Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, telah mengakibatkan masalah pelik dari aspek teknis dan sosial. Keputusan Presiden Nomor 14/2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo, warga mendapat ganti rugi secara bertahap.
Namun penyelesaian ganti rugi itu pun masih berlarut-larut dan korban masih belum juga mendapatkan hak-haknya. Lambannya sikap Pemerintah, ditambah lagi dengan masih dilakukannya negosiasi ulang untuk pembayaran ganti rugi tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah, tidak saja abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak-korban, namun juga lemah dalam berhadapan dengan korporasi.
Berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh, Komnas HAM mencermati bahwa jaminan terhadap hak atas pekerjaan, hak-hak pekerja termasuk di dalamnya untuk mendapatkan upah yang adil, hak-hak untuk berserikat, terhalang oleh dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global.
Dengan berbagai potret kondisi di atas, Komnas HAM memandang bahwa hak asasi manusia dan kebebasan dasar belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh warga negara. Boleh dikatakan mendung masih menggantung di langit HAM di Indonesia sepanjang tahun 2008 ini. -
Sumber:
http://www.solopos.net/zindex_menu.asp?kodehalaman=h04&id=251977
Tuesday, 9 December 2008
Mendung masih menggantung di langit HAM
Posted by Papuan Diary at Tuesday, December 09, 2008 1 comments
A Joint Press Conference: The Indonesian Legal Aid and Human Rights Association (PBHI) Papua Desk and Front PEPERA West Papua
Declaration “West Papuan Land: AN EMERGENZY ZONE!”
Thousands of West Papuans have been staging regular demonstrations in West Papua since the beginning of 2008. The demonstrations have caused arrests, intimidations, imprisonments of pro-democracy activists in West Papua.
Various human rights organizations in Jakarta have been receiving reports from human rights activists in West Papua since the end of October this year. The reports stated that a number of West Papuan students and youth activists has been arrested and jailed. There was a real indication that the Indonesian military and police purposively limited the room of democracy in order to limit the West Papuan people’s freedom of expression. The military and the police also have overacted above limit and their actions have caused serious human right abuses.
The killing of Otinus Tabuni [9th August 2008] was the worst case where a peaceful people’s demonstration was responded with Indonesian state police violent gun shootings.
The arrest of 16 West Papuan students and youth activists on the 20th of October 2008, although they were released later, showed that there was not any room for democracy in West Papua.
Repression, intimidation and terror happened continuously, especially after the official launch of International Parliamentarians for West Papua [IPWP] in London, England.
West Papuans living in Java and Bali who had demonstrations on the 15th to 17th of October 2008 were intimidated, repressed and extremely terrorized in their residence in various towns in Java and Bali. The intimidation, repression and terrors continued until 30th of November and 1st of December when the Committee for West Papuan People’s National Action for Java and Bali region held their demonstration.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) and Jusuf Kalla (JK) have again shown the New Order (President Suharto’s style) way to secure their political position and sacrificed the West Papuans. The people of West Papua have long been asking for a review of the 1969 Act of Free Choice which was violated and caused West Papua to be integrated with Indonesia. The Act of Free Choice in West Papua was not conducted in accordance with the New York Agreement.
The historical facts had caused different kinds of serious human rights abuses since Indonesian military operations began in West Papua from 1965 until 1998. During the time West Papua was controlled under military operation zone mechanism. However, after reformation in 1998 the strengthening of democracy in Indonesia was not perfectly implemented and therefore Indonesia returned to a fascist state pattern just like what had happened during the New Order Era (President Suharto’s period).
The Papua police’s arrest of Buchtar Tabuni on the 1st of December 2008 showed that violent patterns were still used in solving vertical conflicts between the people of West Papua versus the government of the Republic of Indonesia.
The Indonesian Legal Aid and Human Rights Association West Papua Desk and Front PEPERA West Papua realized that this situation HAS THREATENED THE WEST PAPUAN PEOPLE’S RIGHTS TO LIVE and therefore feel that it is crucial to have a humanity declaration where unlimited solidarity is sought for saving the West Papuan People’s rights to live.
Therefore, The Indonesian Legal Aid and Human Rights Association West Papua Desk and Front PEPERA West Papua declare that beginning from today, 6th of December 2008, West Papuan Land is in the emergency situation. We declare that West Papua Land is an EMERGENCY ZONE and demand the followings:
1. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to withdraw all non-organic troops and Indonesian State Police from all over West Papuan land.
2. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to eliminate extra military territorial bodies [Kodam (provincial level), Korem (regency level), Kodim (district level), Koramil(sub-distric level) and Babinsa (village level)] that spread out all over West Papuan Land.
3. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to facilitate a review of the ‘History of West Papua’ that has been a central controversy between West Papuan People and the government of the Republic of Indonesia.
4. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to review the implementation of the 1969 Act of Free Choice which was illegal and had violated human rights.
5. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to seek alternative solution other than Papua Special Autonomy in order to solve West Papuan People’s problem in a comprehensive, humanity, democratic and dignified way.
6. Urge unlimited solidarity of the people of Indonesia to fight together with the people of West Papua to gain the West Papuan people’s rights that have been violated intentionally by the regime.
The West Papua Land in Emergency Zone Declaration is issued in Jakarta, 6th December 2008
Hans Gebze
PBHI West Papua Desk
Wens Edowai
KANRPB Spokesperson
Viktor Kogoya
KANRPB Spokesperson
Posted by Papuan Diary at Tuesday, December 09, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi, ecosoc, Imperialisme, Neo-kolonialisme
Debat PD dan Holy Uncle
Sumber Perdebatan;
Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat [KANRPB] Tuntut Kemerdekaan Papua Barat
Dapat dibaca disini: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/01/17450667/kanrpb.tuntut.kemerdekaan.papua.barat
Tulisan Holy Uncle di Mediacare dan Nasional List;
***Kocak sekali. Mau menuntut kemerdekaan, anggota2 KANRPB harus menanggalkan dulu kewarganegaraan RI. Mereka di Jakarta, sebagai bangsa apa ?
***Untuk menunjukkan Indonesia satu negara demokratik dan menghormati HAM, pemerintah mengatur KANRPB tunjuk rasa di bunderan HI. Apa anda yakin KANRPB bukan satu alat politik NKRI ?
-------
Tanggapan PD Terhadap Holy Uncle;
Paman SUCI,
Ente terlalu yakin dengan argumentasi Anda yang kadang-kadang lucu, sangat lucu dan amat sangat lucu. Ente musti memahami dulu dengan tuntas apa itu sejarah! Apa arti sejarah bagi Anda dan juga pengguna milis ini.
NKRI, bagi orang Papua, hanyalah "simbol" dari suatu keserakahan sepihak golongan elit politik Jawa-Sumatra- Sulawesi- Maluku-Timor, NKRI yang diagung-agungkan melalui Sumpah Pemuda 1928, atau UUD 45 dan Pancasila dan Proklamasi 1945, bagi orang Papua, tidak bermakna sama sekali, karena ia lahir dari suatu proses sejarah dimana Bangsa Papua tidak memberikan sumbangsih sedikit pun! Kecuali memang Papua kemudian menjadi korban karena rekayasa sejarah yang mendasar nafsu serakah elit nasionalis Jawa-Sumatra- Sulawesi yang memandang Papua bukan sebagai suatu kesatuan yang holistik antara isi perut bumi Papua dan manusia Papua yang hidup didalamnya.
NKRI hanya melihat Papua dari isi perut bumi Papua, NKRI melihat emas-tembaga- perak-nikel- gas alam- minyak bumi - kayu - ikan, dll kandungan alam yang ada didalamnya, bukan manusia Papua.
Inilah konteksnya ketika Papua dijadikan budak oleh NKRI! Orang Papua sadar bahwa mereka diperbudak dan oleh karenanya berjuang bagi "PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA BARAT!"
Anda mungkin etnis minoritas juga yang oleh karena terdiskriminasi lalu kemudian membela mati-matian NKRI karena Anda ingin cari selamat dengan bikin harmonisasi palsu dengan bangsa Jawa, Melayu, Ponesia, dll yang hari ini bersatu padu dalam NKRI yang Anda banggakan ini Bung.
**** KANRPB Se Jawa-Bali adalah alat politik taktis mahasiwa dan pemuda Papua Barat yang dari dulu turut aktif memperjuangkan pembebasan nasional Papua Barat, ia bukan alat bentukan NKRI apalagi BIN atau TNI atau Polri.
**** Berdemo di Bundaran HI tidak serta merta mengakui diri sebagai bagian intergral dari NKRI! Kewarganegaraan KTP, it's OK, am i right Holy Uncle?
--------
Tanggapan Holy Uncle terhadap PD;
***Kita tidak perlu memanjang melebar. WNA tidak diizinkan mendemo di tanah air NKRI, maka itu saya nanya anda yang demo di bundaran HI bangsa atau suku Papua ?
***Irian Jaya cuma satu komponen NKRI. Biarlah bangsa Indonesia yang tentukan status Irian Jaya di NKRI.
***Menurut pengetahuan saya, perjuangan anda untuk merdeka perlu ganti kulit. Bukankah kampanyekan Satu Papua jauh lebih mudah ? Kenapa tidak menggabungkan diri sama PNG dulu, kemudian menyembah Australia ?
***Manusia Papua harus buktikan diri mampu di keluarga besar NKRI, baru bisa berharga.
-------
Tanggapan Akhir PD Terhadap Holy Uncle;
**** Ya sudah jelas, itu Bangsa Papua, orang2 yang berdemo di Bundaran HI itu Bangsa Papua, Ok? Bukan Bangsa Indonesia... ...Cm'on uncle, knapa nanya-nanya lagi sih... sudah jelas, gitu aja kok repot!
***** 1,5 juta penduduk asli Papua berbanding 230 juta lainnya? ANDA bilang mau menentukan nasib Bangsa Papua hanya karena Papua merupakan satu komponen dari komponen lain pembentuk NKRI? WELL, baca sejarah baik2 kalaupun mau referendum, hanya orang Asli Papua, yang disebut Bangsa Papua-lah, yang berhak tentukan sikap, bukan 230 juta warga NKRI! Am i clear, holy uncle?
***** Saran ENTE keliru besar Paman Suci, kami bukan budak Australia, dengan demikian saran Anda untuk gabung ke PNG dulu lalu menghamba pada Australia musti dikoreksi ulang, OK? Kami tidak akan pakai saran Anda Tuan Paman Suci. Perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat adalah musrni perjuangan semesta rakyat Papua Barat yang hidup dan tinggal diatas tanah itu sejak puluhan ribu tahun lalu, ini fakta sejarah, ente kok mulai melawak kayak si Tukul Arwana sih....Jangan ngawur dong uncle, cm'on...!
***** Manusia PAPUA itu berharga oleh karenanya Ia berjuang bagi nasib dan masa depannya sendiri yang jauh lebih bermartabat, mulia dan terhormat dari pada gabung dengan NKRI yang hanya ambil isi kekayaan alam Papua. Am I right, Mr. Holy Uncle?
Danke Well!
PD
Posted by Papuan Diary at Tuesday, December 09, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi, Imperialisme, Neo-kolonialisme
KANRPB Tuntut Kemerdekaan Papua Barat
KANRPB Tuntut Kemerdekaan Papua Barat
DHONI SETIAWAN
Ratusan mahasiswa Papua se-Jawa Bali yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat (KANRPB) dengan menggunakan berbagai atribut adat melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Senin (1/12). Dalam aksinya mereka menuntut Pemerintah Pusat untuk membuka ruang dialog dan melaksanakan Referendum bagi kebebasan rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri.
Senin, 1 Desember 2008 | 17:45 WIB
JAKARTA, SENIN - Sebanyak 300 orang yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat atau KANRPB melakukan aksi di Bundaran HI, Jakarta, Senin (1/12). Mereka menuntut kemerdekaan Papua Barat. Sebelumnya mereka juga melakukan aksi serupa di Istana Negara.
"Hari ini kita menyatakan sikap bahwa Papua merdeka merupakan keniscayaan sejarah yang tidak bisa diganggu oleh kekuatan yang dapat menindas," kata Juru Bicara KANRPB, Wenslaus Edowai.
Edowai menjelaskan, otonomi yang selama ini diberikan pemerintah pusat ternyata hanya dinikmati kaum borjuis dengan tidak melibatkan masyarakat akar rumput Papua. Kasus HIV juag semakin meningkat tanpa perhatian pemerintah untuk menangani secara khusus.
Bahkan pemda di Papua, lanjut Edowai, dianggap perpanjangan pemerintah pusat untuk memperlebar kekuasannya. Maka dari itu dalam aksi ini massa menyampaikan deklarasi yang terdiri dari empat butir, yakni pertama, tidak mengakui keberadaan pemerintahan Indonesia di Papua Barat karena kependudukan Indonesia adalah ilegal. Kedua, menolak rekayasa Pemerintah Indonesia lewat Pepera tahun 1969. Ketiga, menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri. Keempat, meminta bantuan serta dukungan dari dunia internasional.
"Kami akan terus memperjuangkan aspirasi rakyat sampai Jakarta memberikan ruang dialog untuk melakukan referendum," kata Edowai.
Setelah satu jam berunjuk rasa sejak pukul 16.30, akhirnya massa bubar dengan tertib. Aparat kepolisian pun terlihat berjaga-jaga di Bundaran HI hingga akhirnya massa membubarkan diri. (C12-08)
Sumber:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/01/17450667/kanrpb.tuntut.kemerdekaan.papua.barat
Posted by Papuan Diary at Tuesday, December 09, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi, ecosoc, Imperialisme