Monday 6 August 2007

Pilkada DKI Jakarta: Antara Militerisasi Politik dan Oligarki Demokrasi

Membaca fenomena Pilkada DKI Jakarta hari ini, bagi saya, adalah membaca kembali ruang-ruang politik dan demokrasi, yang diupayakan melalui pergorbanan berdarah-darah gerakan mahasiswa 1998.

Hingga hari ini, reformasi telah berjalan 9 tahun, tetapi hingga hari ini pula, reformasi 1998, bagi kita kaum muda, sudah dapat dipastikan mati suri. Berkuasanya kembali kekuatan orde baru pada masa-masa sekarang, telah menunjukkan pesan politik dengan jelas bahwa Orde Baru masih eksis dan elemen-elemen pendukung orde baru sekarang ini telah menemukkan kembali momentum politik mereka yang hilang pasca reformasi 1998.

Banyak benar agenda reformasi 1998 dikhianati oleh kelompok-kelompok politik yang memboncengi reformasi sebagai kedok untuk kepentingan golongan. Akhirnya yang menjadi korban dan yang selalu menjadi anak haram politik adalah mereka yang masih bersikap kritis sesuai agenda reformasi 1998 dan tentu saja rakyat kebanyakan.

Saya teringat kembali ucapan Alm. Hatta mengenai masalah-masalah berdemokrasi. Hatta mengatakan:

"Apa yang terjadi sekarang ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki, (yang) lambat laun digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi dari sejarah dunia!" (Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (penyunting), Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran, UI Press, Jakarta, 1992, halaman 112).

Selain karena demokrasi yang keblabasan, penghianatan reformasi 1998 juga terjadi karena beberapa hal, misalnya: kasus korupsi BLBI yang penyelesaian makin kabur dan banyak terjebak pada deal-deal politik tentatif yang semakin menyengsarakan rakyat. Kasus kegagalan reformasi lain adalah: menguatnya peran-peran dari lembaga bentukan orde baru yang sekarang sudah mampu menghegemoni rakyat. Elemen-elemen orde baru inilah yang saat ini sedang menguasai panggung politik Jakarta.

Menguatnya kembali peran politik militer dalam peta politik sipil di Indonesia menunjukan bahwa demokrasi sedang menuju ambang kehancurannya. Diktator, sebagaimana pandangan Hatta, akan muncul ditengah situasi demokrasi yang tidak terkontrol.

Prakondisi tidak terkontrolnya demokrasi politik sipil karena intervensi paket-paket kebijakan politik neo-liberal yang diintrodusir lembaga-lembaga donor kepada hamba-hamba mereka [baca: pemerintah Indonesia] dikombinasikan dengan praktek tatanegara yang ambigu, telah melahirkan bola liar demokrasi yang telah di kick-off pada reformasi 1998, tidak bisa dibendung, ia telah menjadi bola liar yang jika tidak mampu dikontrol, akan menjadi bumerang bagi mereka yang saat ini sedang giat-giatnya berpraktek atas nama demokrasi palsu ini.

Trias politika, sebagaimana dipahami universal, adalah pembagian kewenangan secara jelas antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Inilah bayangan ideal pembentukan negara, dimana ada keseimbangan antara lembaga kekuasaan [pemerintah], lembaga pengawasan [dpr, mpr, dpd] dan lembaga hukum [ma, ky, mk]. Sayangnya di Indonesia, keseimbangan itu ditiadakkan. Peran MK dibuat menjadi banci, sama dengan peran MA yang juga banci.

Militerisasi Politik

Dalam kasus Pilkada DKI, masuknya militer aktif kedalam bursa Pilkada DKI, bagi saya, sudah sangat jelas menunjukkan pesan politik kepada rakyat bahwa: militerisasi politik sedang terjadi. Saya tidak mampu membayangkan seorang Fauzi Bowo berkencan dengan Jendral Priyono atau sebaliknya Jendral Adang Dorodjatun yang Polisi bisa masuk kedalam bursa Pilkada DKI.

Pesan yang demikian jelas melalui fenomena Pilkada DKI mengingatkan kita hari ini bahwa semangat reformasi 1998 sedang mengalami masa-masa paling suram. Bukan tidak mungkin, Pilkada DKI akan memperkuat posisi politik kelompok militer [TNI/Polri]. Dengan demikian, militer secara sadar masuk kedalam wilayah politik.

Harapan reformasi yang demikian luhur, dikhianati hanya karena politik bagi-bagi kekuasaan yang masih mau dilakukan oleh TNI secara institusi dengan pihak politisi sipil.

Dwi Fungsi kembali bangkit? Pertanyaan ini wajib dijawab oleh semua pihak yang bertanggung jawab atas reformasi 1998 dan juga para pihak yang sudah terlanjur masuk kedalam jibaku politik elit sehingga mengorbankan tuntutan-tuntutan utama reformasi 1998.

Oligarki Demokrasi
Kini hampir semua partai besar di Indonesia mengklaim diri sebagai yang paling demokratis. Bahkan pemimpin-pemimpn politik Indonesia hari ini mengatakan bahwa demokrasi telah berjalan sesuai amanat reformasi 1998, buktinya adalah: Pilpres 2004 secara langsung, Pemilu Anggota Legislatif, pembentukan perangkat-perangkat lembaga Yudikatif seperti MK, KY, KPK, dan beberapa lain.

Sayangnya, peran Yudikatif yang masih mengambang dalam konteks Trias Politika di Indonesia, menyebabkan banyak kasus hukum besar yang melibatkan sejumlah kader partai-partai besar lebih banyak dikompromikan secara politis dan bukan diselesaikan melalui mekanisme hukum positif yang berlaku universal atau bahkan seperti yang diatur oleh KUHP.

Pertanyaannya adalah: inikah bayangan demokrasi yang kita sama-sama kehendaki? Pembagian peran yang tidak jelas antara Eksekutif [Presiden] dan Legislatif [DPR] dengan Yudikatif [MA] menyebabkan logika penyelesaian hukum lebih banyak diselesaikan menurut logika politik dan itu berarti, keadilan hukum lebih banyak dikompromikan melalui "keadilan politik." Jika sudah begitu tentu yang terjadi adalah kemenangan ada dipihak partai dan kader-kader partai tentu akan selamat jika mereka tersandung dugaan korupsi, sebagai contoh saja. Bagai kasus Lapindo? Ichal masih tetap santai menjabat sebagai Menko Kesra, sementara ribuan rakyat porong hidup tak tentu nasibnya.

Amien Rais bisa bebas jalan diamana saja, karena umpan baliknya mengenai dugaan korupsi dana-dana non bujeter milik DKP yang dikorupsi milyaran rupiah oleh sebagian besar elit politik Indonesia pada masa kampanye Pilpres 2004 tidak diselesaikan secara tuntas.

Kini elemen-elemen orde baru yang sudah mereinkarnasi itu kembali menyedot perhatian politik rakyat ke arah keinginan mereka dan kerja mereka selalu berhasil dalam hal membohongi rakyat kecil.

Rakyat Jadi Korban
Dalam catatan BPS, 6 Juta KK di Indonesia hari ini tergolong tidak memiliki rumah alias homeles people, itu berarti jika dalam satu keluarga, memiliki 5 anggota keluarga, secara matematis dapat kita pastikan 30 juta rakyat miskin tidak memiliki rumah yang layak untuk ditempati. Artinya 30 juta orang Indonesia saat ini tidak punya rumah dan mereka itu adalah kelompok masyarakat yang hidup pasca krisis moneter 1995-1998.

Puluhan ribu rakyat di Porong, Sidoarjo, nasibnya tidak mampu diselesaikan secara bijaksana, rakyat dibairkan berjibaku dengan masalahnya sendiri. Posisi rakyat dibuat mengambang, sama seperti aliran lumpur panas lapindo yang kian menggila dikawasan Sidoarjo. Siapa yang mau secara elegan mengakui kesalahannya dan bertindak bijak untuk menyelesaikan secara tuntas masalah lumpur lapindo? Jawaban pas mungkin sebaiknya keluar dari SBY-Kalla dan Aburizal Bakrie.

Bagaimana pula dengan nasib petani di Grati yang dibedil TNI? Nasib petani yang tertembak itu dibiarkan tidak jelas, bahkan Komnas HAM menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Grati bukanlah pelanggaran HAM.

Inilah sebuah paradoks yang tercipta ditengah begitu banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas, termasuk didalamnya praktek-praktek pelanggaran HAM di Papua selama 43 tahun “integrasi.” Karena integrasi paksaan, maka integrasi paksaan itu perlu dijaga dengan bedil dan bayonet.

Dalam kasus Grati, pertanyaan saya adalah: berdasarkan ukuran mana Komnas HAM mengatakan bahwa kasus Grati bukan kasus pelanggaran HAM? Apa sesungguhnya peran Komnas HAM bagi rakyat? Apa masih perlu kita memakai sebuah institusi yang bernama Komnas HAM untuk meperjuangkan penegakkan HAM di Indonesia? Bak panggang jauh dari api, demikian pula Komnas HAM. Ia tidak lebih dari sebuah lembaga yang melegalkan pelanggaran HAM.

Bagaimana dengan rakyat Papua?
Saya di Papua juga punya banyak masalah: OTSUS yang gagal dilakukan, penerapan hukum yang main tebang pilih, illegal logging yang tak terkontrol, illegal fishing yang juga tak terbendung sampai pada illegal mining yang sudah mencerabut akar-akar budaya, sosial dan ekonomi rakyat di Papua.

Penambahan militer dengan jumlah yang tidak terhitung, terus terjadi, seiring menguatnya gejolak politik di Tanah Papua.

Saya kembali membayangkan Daerah Operasi Militer [DOM] yang terjadi pada tahun 1978 - 1998 di Papua. Bayangan kekerasan militer yang begitu kejam, kembali terimajinasi dihadapan pikiran saya ketika saya melihat proses-proses politik yang kian memanas di Tanah Papua.

Proses-proses pemekaran propinsi dan kabupaten di Tanah Papua adalah logika politik teritorial TNI yang sukses dirasuki kedalam pikiran segelintir kecil pemimpin lokal Papua yang haus kekuasaan, dan yang hari ini tengah berlomba-lomba mengajukan proposal pemekaran kepada Jakarta sebagai proyek bagi-bagi kekuasaan diantara kelompok komprador borjuasi yang secara politis yang menguat di Papua.

Seperti diketahui, operasi militer di Tanah Papua dimulai secara de facto pada waktu bermulanya pendudukan Indonesia atas Tanah Papua pada tahun 1963 dan berlaku makin represif ketika secara de jure operasi militer dijalankan pada tahun 1978 hingga tanggal 5 Oktober 1998 (20 tahun) ketika dicabut akibat desakan reformasi yang kuat.

Kini Koter diperkuat kembali oleh TNI dengan alasan untuk meredam potensi terorisme di Indonesia. Alasan kedua yang tidak tersirat dari kebijakan TNI mempertahankan koter adalah untuk merepresi kekuatan kritis rakyat diwilayah konflik seperti Tanah Papua.

Dalam jawaban tertulisnya kepada Komisi I, saat digelar rapat dengar pendapat dengan pihak DPR-RI (27/2/2007), KSAD Jendral Djoko Santoso menekankan upaya mengoptimalkan keberadaan bintara pembina desa (Babinsa) sebagai "mata dan telinga" dalam mengumpulkan keterangan, khususnya dalam penanganan ancaman terorisme (Kompas, 28/2/2007).

Gejolak Papua yang tak kunjung padam melegalkan kehadiran militer Indonesia kedalam wilayah ini sehingga secara pasti memulai kembali pola Daerah Operasi Militer [DOM] seperti yang telah diterapkan mereka pada tahun 1978 – 1998. Sekedar catatan tambahan, represi militer Indonesia di Papua sama persis dengan jaman dimana DOM terjadi untuk kali pertama yaitu antara tahun 1978 – 1998. Pasca kematian Alm. Theys Hiyo Eluay, represi militer di Papua justru semakin tajam dan meningkat drastis.

Saya kembali mengutip Bung Hatta;

"Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.... Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib." Deliar Noer dalam bukunya "Mohammad Hatta: Biografi Politik" yang diterbitkan oleh LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505.

Dengan demikian, apa yang diperjuangkan rakyat Papua, tentu harus bisa diterima kelompok lain di Indonesia, jika benar-benar menghargai kebebasan berpendapat dan kebebasan berpolitik. Termasuk hak untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Sama seperti masyarakat Jakarta yang tanggal 8 Agustus nanti melaksanakkan hak politiknya.

Read More...