Sunday 3 June 2007

Kepentingan Modal Asing Dalam Masalah Papua

Ditulis Oleh: Diary Papua*
More blogs about imperialisme.


Papua masih merupakan wilayah rawan konflik yang belum dapat didamaikan atau paling tidak belum ditemukan jalan terbaik penyelesaian masalahnya. Masalah Papua bukan sekedar masalah politik melulu tetapi sudah merupakan konflik multi dimensional yang merasuk segala aspek kehidupan social rakyat. Sebuah konflik multi dimensional yang harus diurai dan dicari jalan penyelesaiannya dengan adil.

Jika mulai bicara soal Papua pastilah terpampang disana masalah pelanggaran HAM yang kronis, kemiskinan structural yang melilit kehidupan hampir 40 persen penduduk (peringkat pertama di Indonesia), pengembangan sumber daya manusia yang stagnan, operasi dan represi militer yang tiada henti, praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang korup disertai malpraktek manajemen negara atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan bagi Papua -- episode pertarungan Ostsus Papua versus Propinsi IJB dapat menjadi contoh dalam hal ini --, pembalakkan liar, perusakan lingkungan yang parah hingga pencurian sumber-sumber daya ekonomi rakyat yang tiada henti adalah merupakan beberapa aspek konflik multi dimensional Papua yang dapat dilihat jika hendak mencermati masalah Papua secara tuntas.

Konflik Papua juga bukan melulu konflik politik domestik Indonesia. Tanah Papua, dengan sumber daya alam yang melimpah, sudah mengundang begitu banyak pihak yang memiliki kepentingan eksploitasi ekonomi sejak awal permasalahan politik Papua muncul dalam forum-forum internasional ketika menguatnya perebutan hegemoni atas Tanah Papua oleh Indonesia dan Belanda pada tahun 1960-an. Bolehlah dikatakan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan Australia adalah pihak-pihak luar yang dalam lima decade terakhir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung atas berbagai soal yang muncul di Papua karena kepentingan eksplotasi sumber-sumber ekonomi mereka di Tanah Papua. Karena sumber daya alam yang melimpah itu maka dapatlah dikatakan Papua sejak awal telah menjadi masalah dalam peta politik global yang harus diamati secara lugas jika hendak melakukan sebuah perubahan yang kualitatif dan berarti dalam permasalahan Papua.

Konkalikong imperialis global dengan pemerintah Indonesia pada saat negosiasi-negosiasi politik internasional soal Tanah Papua dibicarakan tampak dengan jelas. Sandiwara politik mengenai Papua yang disutradarai agen-agen imperialis seperti AS jelas menjadi sebuah kebijakan politik resmi kekuatan imperialis (konspirasi modal asing) dalam mengintervensi masalah politik Papua yang menghendaki Papua masuk kedalam NKRI dengan syarat-syarat eksploitasi ekonomi yang akan menjadi hak ekslusive bagi imperialis dalam mengeruk sumber daya alam Papua. Latar belakang deal-politik mengenai status politik Papua yang demikian, jelas sekali menjadi latar sejarah yang dominan dalam masalah Papua.

Untuk mengelabui masyarakat global, berbagai kebijakan diplomatic internasional ditetapkan untuk dijalankan dalam penyelesaian masalah Papua. Sebagai contoh, tarik ulur antara Indonesia dan Belanda soal Papua, berdasarkan intervensi AS, berhasil diminimalisir menjadi bentrok terbuka dengan dipaksakannya pelaksanaan proposal Bunker -- proposal ini dirancang oleh Elsworth Bunker, seorang diplomat senior AS di PBB -- yang mengatur mengenai aksi politik penyelesaian masalah Tanah Papua.

Berdasarkan tekanan yang kuat dari AS, Belanda dan Indonesia akhirnya menyepakati usulan Bunker dan ditandatangani pada tanggal 31 Juli 1962. Proposal Bunker inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya resolusi PBB Nomor 1752 dalam Sidang Umum PBB mengenai Perjanjian New York yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1962. Bagian terpenting dari New York Agreement adalah ketetapan mengenai aksi bebas memilih (Act of Free Choice) bagi rakyat Papua yang dalam beberapa hal dilakukan secara manipulatif saat itu di Papua.

Perjanjian New York itu tidak dipraktekkan secara benar di Papua oleh karena kepentingan ekonomi politik yang lebih dominan dari imperialis global dalam penyelesaian masalah Papua. Untuk tetap menjaga kepentingan eksploitasi ekonominya, atas inisiatif AS, dilakukan sebuah pertemuan rahasia di Roma yang dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat Perjanjian Rahasia Roma (the Secret Rome Agreement) pada tanggal 30 September 1962, tepat seminggu setelah ditetapkannya Perjanjian New York.

Isi perjanjian rahasia roma adalah; Pertama, pelaksanaan penentuan nasib sendiri agar ditunda atau dibatalkan; Kedua, Indonesia memerintah Papua selama 25 Tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 1963; Ketiga, metode Act of Free Choice digunakan dengan metode Indonesia, yakni musyawarah; Keempat, AS berkewajiban melakukan penanaman modal melalui badan usaha di Indonesia bagi eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya; Kelima, AS menjamin Bank Pembangunan Asia sebagai dana pembangunan PBB di Papua sebesar 30 Juta dollar AS untuk jangka waktu 25 tahun; Keenam, AS menjamin Indonesia melalui Bank Dunia dengan sejumlah dana bagi pelaksanaan Transmigrasi dalam rangka penempatan orang-orang Indonesia di Papua, terhitung sejak tahun 1977.

Pasal empat perjanjian rahasia Roma, seperti tertulis diatas, menjadi giroh atau inti dari semua soal yang melatar belakangi kepentingan ekonomi politik AS mengenai Papua. Semangat ekspansionis modal imperialis yang demikian kuat menjadi dasar sengketa politik Papua yang kemudian menjadi semakin stabil dibawah pemerintahan orde baru Soeharto yang pro AS. Sebuah cerita panjang mengenai pencurian sumber daya alam Papua yang tanpa henti itu, rupa-rupanya berawal dari dan bermula dari sini.

Papua Sebagai Jaminan Liberalisasi Ekonomi Imperialis Di Indonesia

Bulan Nopember 1965, sebulan setelah kudeta berdarah terhadap Soekarno yang anti Barat, Freeport McMoran Gold & Copper mulai melakukan penjajakan investasi ekonomi dengan regime baru yang pro AS. Penjajakan investasi itu dilakukan Freeport untuk menambang singkapan deposit tambang tembaga terbesar didunia yang terdapat di Ertsberg, didaerah pegunungan tengah Papua. Kepastian mengenai adanya deposit tambang tembaga terbesar itu dibuktikan oleh Forbes Wilson, seorang geolog AS, melalui sampel geologis dari singkapan Ertsberg yang ditelitinya pada tahun 1960.

Soeharto, presiden RI kedua, berpaling pada ekonom-ekonom Indonesia yang dididik AS. Mafia Berkeley, demikian sebutan kelompok ekonom ini, pada masa orde baru akan menjadi kelompok sentral yang mengarahkan kemana arah kebijakan ekonomi Indonesia dijalankan, mereka menjadi kaki tangan IMF dan Bank Dunia dan berdasarkan nasihat-nasihat ekonomi yang mereka berikan kepada pemerintahan orde baru dimulailah sebuah fase liberalisasi ekonomi yang memudahkan investasi modal asing masuk ke Indonesia dan Papua -- sebagai daerah yang masih bermasalah pada awal pemerintahan orde baru -- menjadi pertaruhan ekonomi dan harga yang harus dibayar bagi imperialis oleh Indoneia sebagai bargaining position untuk tetap memiliki Tanah Papua.

Barangkali banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa pintu gerbang investasi modal Asing di Indonesia terbuka lebar oleh karena kehadiran Freeport McMoran Gold & Copper yang sejak awal 1960-an sudah berminat dan bernafsu untuk melakukan penambangan tembaga dan emas di Papua. Barangkali juga banyak yang hendak melupakan kenyataan bahwa Papua, yang sampai sekarang masih bermasalah itu, adalah harga yang harus dibayar oleh Indonesia untuk memperoleh dukungan AS dan imperialis global dan memantapkan pijakkan kekuasaannya atas wilayah ini.

Untuk membuka kemungkinan dilakukannya investasi ekonomi, Freeport melakukan negosiasi dengan pemerintah Indonesia yang melahirkan kontrak karya (kk) generasi pertama yang mengatur tentang ketentuan pokok penambangan oleh pihak asing di Indonesia. Kontrak karya yang dibuat Indonesia dan pihak Freeport itu ditetapkan pada bulan April 1967. Seperti kita ketahui, pada saat itu aksi bebas memilih (act of free choice) atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘penentuan pendapat rakyat’ (pepera) belum dilakukan dan wilayah Papua secara de jure belum berada dalam kekuasaan NKRI.

Desakan liberalisasi ekonomi yang kuat dari modal asing mengharuskan Indonesia mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang aman, murah dan mudah diakses oleh modal asing tanpa banyak urusan birokrasi yang memberatkan dalam rangka eksploitasi ekonomi mereka. Oleh karena itu kehadiran Freeport dan kontrak karya yang sudah dibuatnya dengan Indonesia dikemudian hari melahirkan dua paket ekonomi yang sangat vital bagi investasi modal asing dibidang pertambangan dan juga sebagai suatu tanda dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia. Kedua paket kebijakan ekonomi itu adalah dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1967 Mengenai Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan UU No.11 Tahun 1967 Mengenai Pertambangan (UU Pertambangan). Kedua paket kebijakan ekonomi itu pulalah yang membuka peluang masuknya raksasa modal atau multi nationals corporation seperti Freeport McMoran Gold & Copper, Exxon-Mobil, Rio Tinto, Newmont, Dutch-Shell, Conoco Oil, Petro China dan beberapa lainnya.

Tidaklah mengherankan jika dikatakan bahwa Papua menjadi tolok ukur sebuah perubahan kebijakan ekonomi secara signifikan di Indonesia dan bisa dibenarkan pula bahwa Papua dikorbankan dan digadaikan kepada asing oleh Indonesia dalam rangka membeli dukungan politik internasional, terutama AS, untuk memasukkan Papua ke Indonesia. Sebuah sikap politik yang hingga saat ini menimbulkan konflik tiada henti antara rakyat Papua yang sadar akan tergadainya hak-hak politik mereka dengan pemerintah Indonesia yang tamak, serakah dan yang diperbudak modal asing.

Otonomi Khusus Papua Merupakan Paket Ekonomi Politik Neo-Liberal

Krisis ekonomi yang melanda dunia sejak tahun 1995 dan semakin menguat pada tahun 1997 juga menerpa Indonesia. Beberapa analisis strukturalis mengemukakan pendapat mereka bahwa krisis ekonomi yang terjadi saat itu adalah merupakan wujud dari dinamika internal kapitalisme yang hendak merubah metode eksploitasi ekonominya. Pada tahun 1960-an dalam metode eksploitasi kapitalisme global dikenal istilah pembangunanisme atau developmentalism, pada decade 1970-an sampai dengan 1980-an akhir kapitalisme menerapkan metode eksploitasi ekonomi melalui sebuah pendekatan yang disebut liberalisme pasar.

Rupa-rupanya liberalisme pasar tidak lagi menghasilkan fulus yang aman bagi induk kapitalis karena berbagai praktek birokrasi yang korup dinegara-negara dunia ketiga, kondisi yang demikian melahirkan ekonomi biaya tinggi dan tidak efisien bagi ekspansi modal maupun penarikan untung oleh kapitalisme global.

Dengan demikian dibuatlah krisis ekonomi yang dilancarkan sendiri oleh kaum imperialis di beberapa negara, termasuk di Indonesia saat itu, untuk merontokkan mesin-mesin kekuasaan yang korup dan yang sudah tidak lagi memberi keuntungan secara ekonomis dan politik bagi eksploitasi ekonomi negara-negara induk kapitalis.

Krisis ekonomi global menyebabkan gerakan reformasi muncul kepermukaan dan melahirkan sentimen perlawanan rakyat yang meluas atas berbagai ketidakadilan, praktek korupsi yang merajalela, sentralisasi kekuasaan politik dan ekonomi, pengebirian hak-hak demokrasi rakyat dan berbagai pelanggaran hak asazi manusia yang sangat identik dengan kekuasaan fasis-militeristik orde baru.

Dalam konteks Papua, dua sisi musti dilihat. Pertama, munculnya gerak reformasi itu memberikan ruang demokrasi yang lapang bagi rakyat Papua untuk menyuarakan hak-hak politiknya yang lebih dari empat decade ditiadakan dengan paksa dibawah tekanan militeristik pemerintahan yang berkuasa yang telah melahirkan begitu banyak pelanggaran HAM yang mengerikan. Kedua, ketidakadilan ekonomi yang terjadi selama ini rupanya tidak termaafkan lagi oleh rakyat Papua, betapa tidak, puluhan trilyun rupiah disumbang Papua secara rutin tiap tahun kedalam kocek pemerintahan pusat dari berbagai eksploitasi sumber daya alam yang terjadi, sementara Papua hanya mendapat bagian dengan jumlah tidak lebih dari satu persen, sebuah paradoks yang menyakitkan.

Dua hal diatas menyebabkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka menguat. Tidak ada pilihan lain, pemerintah Indonesia rupanya harus mengambil jalan baru untuk tetap menjaga Papua berada dalam kekuasaan NKRI agar proses eksploitasi ekonomi yang telah berlangsung selama ini tetap berjalan dengan eksis.

Mirip politik etis jaman Hindia Belanda, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan paket politik, yang dapat disebut politik etis, yaitu Otonomi Khusus bagi rakyat Papua. Disatu sisi, Otsus dipandang pemerintah Indonesia dapat selesaikan masalah Papua secara tuntas, tetapi disisi yang lain, Otsus Papua yang merupakan paket politik neo-liberal titipan IMF dan Bank Dunia, bagi para pemilik modal asing, memberikan dampak positif dan jaminan bagi kelangsungan eksploitasi mereka serta bahkan semakin memudahkan cengkeraman modal dan eksploitasinya di Papua.

Dalam konteks ini, desentralisasi politik yang diberikan kepada Papua dalam paket Otsus adalah merupakan taktik imperialisme global yang disodori kepada pemerintah Indonesia untuk dijalankan di Papua. Bukan cerita baru, sentralisasi ekonomi selama ini dijalankan oleh Jakarta dengan praktek korupsi yang menggila, dianggap merugikan bagi investasi modal asing. Jalan aman memutus budaya korup Jakarta dan memuluskan hubungan modal asing secara langsung dengan Papua adalah melalui pemberian Otsus, karena dalam paket Otsus, pemodal asing bisa langsung berurusan dengan pemerintah Papua, tanpa harus melalui Jakarta, jika menginginkan investasi ekonomi diwilayah ini. Bukan tidak mungkin, jika Otsus dijalankan dengan tepat berdasarkan keinginan imperialis global, maka Papua akan menjadi primadona eksploitasi modal asing pada masa-masa yang akan datang.

Itulah mengapa dalam beberapa tahun terakhir, AS, Inggris, Australia dan beberapa negara Barat lainnya selalu mengemukakan dengan jelas bahwa mereka tetap mendukung Papua berada dalam NKRI, karena sudah terbaca dengan jelas keuntungan ekonomis yang akan mereka peroleh jika mereka mampu mendorong pemerintah Indonesia menjalankan agenda Otsus dengan benar di Papua.

Read More...

Nasionalisme Indonesia Yang Anti-Demokrasi!

Sebuah Catatan Mengenai Mohammad Hatta dan Pandangannya Tentang Masa Depan Papua! [Bagian Kedua - Selesai]

Masalah Papua Dalam Pandangan Hatta

Dalam sidang-sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 10 - 11 Juli 1945 terdapat silang pendapat antara tokoh-tokoh nasional Indonesia. Soekarno dan Moh. Yamin berpendapat Papua adalah bagian integral Indonesia berdasarkan klaim sejarah Majapahit dan Tidore, sehingga mutlak dimasukan sebagai bagian dari Indonesia, sementara tokoh-tokoh politik seperti Moh. Hatta dan Sutan Syahrir lebih menekankan sisi kemanusiaan dengan menggunakan nilai-nilai demokrasi dalam penyelesaian masalah Papua.

Hatta berpendapat Papua merupakan sebuah entitas bangsa dengan kebudayaan Melanesia yang dominan dan tidak seharusnya menjadikan Indonesia mengabaikan begitu saja fakta sosiologis ini. Sebagai sebuah entitas bangsa, rakyat Papua juga punya hak untuk menentukan masa depannya sendiri sama seperti Indonesia.

Dalam perdebatan-perdebatan BPUPKI itu Hatta berkata: "Saya sendiri ingin menyatakan bahwa Papua sama sekali tidak usah dipusingkan, bisa diserahkan kepada Bangsa Papua sendiri. Saya mengakui bahwa Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa yang merdeka, akan tetapi Bangsa Indonesia untuk sementara waktu, yaitu dalam beberapa puluh tahun, belum sanggup, belum mempunyai tenaga yang cukup untuk mendidik bangsa Papua, sehingga menjadi bangsa yang merdeka."

Silang pendapat mengenai Papua antara Hatta disatu pihak dan Soekarno-Yamin dipihak lain tidak terkompromi, sehingga dalam sidang BPUPKI dimunculkan beberapa opsi mengenai wilayah kedaulatan Indonesia, beberapa opsi yang ditawarkan untuk divoting adalah sebagai berikut; Pertama, yang disebut Indonesia adalah bekas jajahan Hindia Belanda dahulu; Kedua, yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda, Malaka (Malaysia), Borneo Utara (Brunei dan Sabah), Papua, Timor-Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan kepulauan sekitarnya; Ketiga, yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda Dahulu ditambah Malaka tanpa memasukkan Papua.

Dari ketiga opsi tersebut, dihasilkan voting dari 66 anggota BPUPKI sebagai berikut; 16 suara mendukung opsi nomor satu, 39 suara mendukung opsi nomor dua, dan 6 suara mendukung opsi nomor 3, dengan demikian, sejak awal, tidak saja Papua tetapi juga Timor - Portugis, yang sekarang sudah merdeka, Malaysia dan Brunai Darussalam juga dimasukan dalam imajinasi teritorial nasional yang hendak dibangun oleh nasionalis Indonesia.

Tidak hanya disitu, sikap Hatta yang tegas ditunjukkannya saat terjadinya pertemuan antara pemimpin Indonesia Merdeka, yaitu Soekarno dan Hatta, dengan pimpinan militer Jepang di Saigon, Vietnam, pada tanggal 12 Agustus 1945.

Dalam kesempatan ini, Mohammad Hatta masih memegang teguh prinsipnya mengenai masa depan bangsa Papua. Hatta menyatakan:

"...bangsa Papua merupakan ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan masa depannya sendiri!"

Pandangan Hatta mengenai Papua didepan pimpinan militer Jepang di Saigon waktu itu bertolak belakang dengan pandangan Soekarno yang mengatakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan sama sekali dengan usaha-usaha persiapan kemerdekaan yang sedang dilakukan tokoh-tokoh nasional Indonesia.

Pada awal tahun 1960-an gagasan Soekarno untuk mengganyang Malaysia disambut dengan mobilisasi militer Indonesia secara besar-besaran. Lahirlah gerakan Dwikora yang membenarkan mobilisasi rakyat untuk kepentingan politik Soekarno yang agresif itu. Hal sama terjadi dalam kasus Papua. Pada tanggal 19 Desember 1961 Soekarno menggelar rapat akbar di Alun-alun Utara Yogyakarta yang melahirkan gerakan Trikora dalam rangka pendudukan Papua. Dwikora tidak berhasil secara politik, tetapi gerakan Trikora yang dilancarkan Soekarno pada akhirnya berhasil. Unjuk kekuatan milter dan diplomasi politik dalam gerakan Trikora menjadi dua kunci sukses yang berhasil dikombinasikan oleh Soekarno dalam rangka pendudukan dan penguasaan Papua.

Barangkali dalam konteks ini Soekarno hendak menjabarkan dan mempraksiskan hasil-hasil sidang BPUPKI pada tanggal 10 dan 11 Juli 1945, dimana dalam sidang BPUPKI itu, mayoritas anggota menyetujui sebuah usulan mengenai blue print imaginasi batas-batas teritori nasional Indonesia merdeka yang harus meliputi daerah-daerah bekas jajahan Hindia Belanda termasuk Malaka (sekarang Kerajaan Malaysia), Borneo Utara (sekarang Kesultanan Brunai Darussalam), Papua, Timor Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan pulau-palau sekitarnya.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia berhasil menguasai Papua secara de facto melalui proses integrasi yang terjadi pada tanggal 1 Mei 1963 dan secara de jure dimasa pemerintahan Soeharto melalui proses Pepera 1969. Dua peristiwa politik penting yang masih digugat oleh rakyat Papua sampai saat ini. Lahirnya perlawanan rakyat Papua melalui Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam menentang proses pendudukan Indonesia atas Papua adalah merupakan refleksi kekecewaan politik atas berbagai ketidakadilan yang terjadi.

Barangkali, pada masa-masa dimana dua peristiwa politik penting yang dikemudian hari telah merubah nasib dan keadaan politik sesungguhnya di Papua itu, Hatta melihat dari jauh tanpa bisa berbuat lebih banyak seperti yang pernah ia lakukan pada masa-masa awal persiapan kemerdekaan Indonesia. Barangkali juga pada saat itu, Hatta dengan kesederhanaan jiwanya itu sedang menerawang kegelisahan jiwa rakyat Papua yang gundah gulana akibat konflik politik antara Indonesia dan Belanda yang pada akhirnya telah menjadikan rakyat Papua sebagai korban dari kemunafikan dan arogansi kekuasaan yang sewenang-wenang. Rakyat Papua tentu masih menanti orang seperti Hatta yang mampu menyelami jiwa dan pikiran mereka, tidak saja dalam pemikiran dan perkataan, tetapi juga dalam tindakan nyata.

Read More...

Nasionalisme Indonesia Yang Anti-Demokrasi!

Ditulis Oleh: Diary Papua*

Sebuah Catatan Mengenai Mohammad Hatta dan Pandangannya Tentang Masa Depan Papua! [Bagian Pertama]

Banyak kalangan di Indonesia dan juga Papua yang hanya mengenal Mohammad Hatta sebagai tokoh nasional, wakil presiden dan sekaligus proklamator kemerdekaan Indonesia. Bersama Soekarno, ia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi tidak banyak yang mengetahui sikap Hatta mengenai masa depan Papua yang bertolak belakang dengan pandangan Soekarno.

Tokoh nasional Indonesia yang lahir di Bukit Tinggi pada tanggal 12 Agustus 1902 dengan nama Muhammad Athar ini adalah seorang tokoh nasionalis Indonesia jujur, tegas dan sederhana. Ia memang seorang nasionalis, tetapi ia tidak memandang tema besar nasionalisme dalam pandangan sempit nasionalisme yang bersifat chauvinis.

Sebagai founding fathers, ia bersama Soekarno dan Syahrir menjadi tiga serangkai terkemuka yang memimpin jalannya pergerakan Indonesia sampai kemerdekaan tercapai. Bahkan sejak usia 15 tahun, ia telah aktif sebagai bendahara pada Sumatranen Bond Cabang Padang dan keterlibatannya dalam perjuangan Indonesia diteruskan ketika ia melanjutkan studinya di Belanda.

Selama 11 tahun studi dan tinggal di Belanda, Hatta menjadi tokoh sentral dalam Perhimpunan Indonesia, keterlibatan politiknya yang aktif dalam kampanye pembebasan nasional Indonesia di Belanda, menyebabkan ia harus banyak berurusan dengan pihak kolonial Belanda.

Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan sebuah organisasi yang disebut Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda. Keterlibatan Hatta dalam organisasi ini mempererat hubungannya dengan tokoh-tokoh gerakan pembebasan nasional dari wilayah jajahan lain, sebagai contoh Jawaharlal Nehru, seorang tokoh nasionalis India, yang dikemudian hari menjadi sahabat dekatnya. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda namun akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free didepan sidang pengadilan kolonial Belanda.

Nasionalisme Dalam Pandangan Hatta

Tidak dapat dipungkiri bahwa Hatta adalah salah seorang tokoh yang dengan gigih memperjuangkan Indonesia Merdeka, sejarah Indonesia membuktikan hal ini. Tetapi dalam membangun semangat nasionalisme Indonesia, Hatta tetap berprinsip pada sikap-sikap nasionalisme yang plural dan egaliter.

Penolakan Hatta yang tegas terhadap usaha dimasukannya Syariat Islam dalam mukadimah dan batang tubuh UUD 45 yang didorong oleh golongan Islam, menunjukkan sikap tegas Hatta akan pandangannya mengenai nasionalisme yang egaliter dan plural. Hatta adalah seorang muslim yang taat, tetapi ia tidak hendak mengorbankan nilai-nilai agama yang lebih berifat personal kedalam bangunan kesadaran nasionalime Indonesia, yang tentunya akan memancing perpecahan didalam kesadaran nasional baru akan dibangun. Oleh karenanya kompromi yang, dalam pandangan Hatta, paling mungkin diterima oleh berbagai berbagai golongan di Indonesia dalam membangun nasionalisme bersama adalah nasionalisme yang egaliter dan plura tanpa prasangka agama didalamnya.

Sejak awal Hatta telah berpandangan bahwa basis dasar bagunan nasionalisme Indonesia haruslah egaliter dan plural. Sikap egalitarian dan plural itu pula yang ditunjukan Hatta mengenai pandangannya tentang Papua, yang menurutnya, juga punya kesempatan yang sama dengan Indonesia dalam hal membangun masa depannya sendiri.

Sejak awal Bung Karno sudah memiliki pandangan yang chauvinis dalam membangun kesadaran nasional Indonesia, sifat chauvinis Soekarno semakin mengental ketika diterapkannya sistem demokrasi terpimpin, setelah mundurnya Hatta dalam jabatannya sebagai wakil presiden Indonesia pada tahun 1956.

Bolehlah dikatakan, dalam hal nasionalisme, Soekarno mampu mengatasi Hatta dalam hal sifat-sifat chauvinistiknya, tetapi perlu dicatat bahwa dalam hal demokrasi, Hatta mampu mengatasi Soekarno.

Demokrasi Dalam Pandangan Hatta

Pada sebuah artikel yang ditulis oleh seseorang dengan nama samaran Si Rakyat dalam majalah Persatoean Indonesia mengenai demokrasi menghasilkan sebuah polemik hangat dengan Hatta. Si Rakyat, dalam tulisannya, mengkritik penggunaan nama Volkssouvereiniteit sebagai bahasa Belanda dan mengatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah barang impor. Sebagai balasannya, Hatta kemudian menulis:

"...perkataan "demokrasi" yang dipakai oleh Si Rakyat tidak asli. Perkataan itu juga import!....Partai-partai Indonesia disuruh memakai semboyan 'Demokrasi Indonesia'..." Sebagai contoh disebutnya pengertian demokrasi di Minangkabau: Sepakat, ia mengutip suatu pepatah Minangkabau, yaitu: ‘Kemenakan beraja (tunduk seperti diperintah raja-Pen) ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat’. Mufakat siapa? Bukan mufakat rakyat, melainkan mufakat penghulu saja. ... sudah banyak benar sekarang jumlah kemenakan yang tiada mau lagi ‘beraja’ ke mamak dan penghulu...." (Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1976, cet. 2, halaman 123-129).

Bandingkan penggunaan istilah musyawarah mufakat, yang oleh Soekarno diklaim sebagai demokrasinya Indonesia, yang dalam prakteknya, sudah dikritik oleh Hatta karena tidak melibatkan partisipasi rakyat secara umum. Musyawarah-Mufakat adalah demokrasinya para pemimpin dan bukan dilahirkan oleh rakyat. Demokrasi feodal seperti inilah, yang ditentang oleh Hatta.

Dalam kasus Papua, bisa dibandingkan pula dengan proses penentuan pendapat rakyat (Pepera 1969) yang berpangkal pada apa yang disebut musyawarah-mufakat. Dalam peristiwa tersebut, asas-asas demokrasi universal dilikuidasi dan digantikan dengan pola musyawarah mufakat. Pernyataan bebas memilih bagi rakyat Papua yang diatur dalam New York Agreement untuk menentukan masa depannya dengan prinsip "one man, one vote" seperti layaknya asas-asas demokrasi yang berlaku universal tidak dipakai. Yang terjadi adalah mobilisasi terhadap segelintir orang Papua untuk dilibatkan dalam proses politik yang maha penting ini. Pepera 1969 hanya melibatkan 1025 orang Papua untuk mewakili 800.000 jiwa penduduk Papua saat itu untuk menentukan pendapat apakah bergabung dengan NKRI atau lepas dari NKRI sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka.

Dalam hal menegakkan prinsip-pinsip demokrasi, Hatta bersikap tegas. Ketika demokrasi sudah tidak lagi diindahkan oleh Soekarno dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, Hatta tidak lagi bersimpati dan mengundurkan diri pada tahun 1956 dalam posisinya sebagai wakil presiden. Soekarno kemudian menganjurkan apa yang disebutnya "demokrasi terpimpin" dalam praktek politik pemerintahannya di Indonesia.

Mengenai ini, Hatta mengatakan: "Apa yang terjadi sekarang ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki, (yang) lambat laun digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi dari sejarah dunia!" (Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (penyunting), Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran, UI Press, Jakarta, 1992, halaman 112)

Deliar Noer dalam bukunya "Mohammad Hatta: Biografi Politik" yang diterbitkan oleh LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505, menulis pada tanggal 11 Juni 1957 Hatta menegaskan:

"Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.... Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib."

Krisis multi dimensi yang lahir belakangan ini adalah sebuah produk dari kurang cermatnya pemimpin politik Indonesia menata negara ini berlandaskan sistem demokrasi yang benar. Anarki social, seperti yang dibayangkan Hatta, memang telah terjadi. Pada masa Soekarno dengan "demokrasi terpimpin" yang dianutnya menyebabkan Indonesia pada akhirnya terjerumus dalam anarki social dengan pecahnya huru-hara politik paling mengerikan pada tahun 1965, suatu masa dimana Soekarno, yang telah 20 tahun menjabat sebagai presiden, harus meletakkan jabatannya dan menjalani hidup sebagai tahanan politik yang dilakukan regime baru terhadap dirinya sampai akhir hayatnya.

Hal sama terjadi pada pemerintahan dictator militer Soeharto, yang berhasil menguasai kendali pemerintahan selama 30 tahun setelah tumbangnya Soekarno. Demokrasi Pancasila, seperti yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto, adalah merupakan demokrasi semu, yang tidak mencerdaskan kehidupan berdemokrasi rakyat dan dijalankan dengan menggunakan pendekatan militeristik. Kombinasi antara demokrasi Pancasila yang semu dan penggunaan kekuatan militer dalam menjalankan kekuasaan telah melahirkan begitu banyak masalah. Lawan-lawan politik diteror, diintimidasi dan bahkan dibunuh. Banyak daerah yang melimpah sumber daya alamnya dikuras oleh Soeharto dan kroni-kroninya yang korup serta diamankan oleh militer Indonesia yang menjadi tulang punggung pemerintahannya.

Hal tersebut mengakibatkan banyak daerah melakukan perlawanan karena sentralisasi kekuasaan ekonomi dan politik yang tidak adil. Sebuah praktek dimana demokrasi tidak bermakna. Papua bergolak! Hasilnya operasi militer terjadi dan terpampanglah reklame buruk pelanggaran HAM yang diciptakan militer Indonesia sepanjang masa pemerintahan Soeharto.

Hal sama terjadi pada rakyat Acheh, perlawanan para petani di Badega (Garut, Jabar), peristiwa Kedungombo di Solo (Jawa Tengah), peristiwa Warsidi di Lampung, peristiwa Tanjung Priok di Jakarta dan terakhir peristiwa penculikan dan pembunuhan aktivis-aktivis mahasiswa, buruh dan tani sepanjang tahun 1996 hingga munculnya proses reformasi pada tahun 1998. Anarki social kembali muncul, kelompok etnis tertentu menjadi incaran pembantaian dan perkosaan massal oleh kelompok-kelompok sempalan politik tertentu yang masih tetap menginginkan status quo dan berhasil memprovokasi rakyat yang lapar dan marah. Akhir dari kisah reformasi adalah tumbangnya Soeharto. Semua hal diatas terjadi, sekali lagi, hanya karena tidak becusnya penerapan demokrasi yang merakyat. Sampai disini Hatta, sebagai seorang negarawan yang bijak, telah memberikan arti sesungguhnya dalam pemaknaan dan pelaksanaan sebuah demokrasi yang benar.

Read More...