Sunday 3 June 2007

Nasionalisme Indonesia Yang Anti-Demokrasi!

Ditulis Oleh: Diary Papua*

Sebuah Catatan Mengenai Mohammad Hatta dan Pandangannya Tentang Masa Depan Papua! [Bagian Pertama]

Banyak kalangan di Indonesia dan juga Papua yang hanya mengenal Mohammad Hatta sebagai tokoh nasional, wakil presiden dan sekaligus proklamator kemerdekaan Indonesia. Bersama Soekarno, ia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi tidak banyak yang mengetahui sikap Hatta mengenai masa depan Papua yang bertolak belakang dengan pandangan Soekarno.

Tokoh nasional Indonesia yang lahir di Bukit Tinggi pada tanggal 12 Agustus 1902 dengan nama Muhammad Athar ini adalah seorang tokoh nasionalis Indonesia jujur, tegas dan sederhana. Ia memang seorang nasionalis, tetapi ia tidak memandang tema besar nasionalisme dalam pandangan sempit nasionalisme yang bersifat chauvinis.

Sebagai founding fathers, ia bersama Soekarno dan Syahrir menjadi tiga serangkai terkemuka yang memimpin jalannya pergerakan Indonesia sampai kemerdekaan tercapai. Bahkan sejak usia 15 tahun, ia telah aktif sebagai bendahara pada Sumatranen Bond Cabang Padang dan keterlibatannya dalam perjuangan Indonesia diteruskan ketika ia melanjutkan studinya di Belanda.

Selama 11 tahun studi dan tinggal di Belanda, Hatta menjadi tokoh sentral dalam Perhimpunan Indonesia, keterlibatan politiknya yang aktif dalam kampanye pembebasan nasional Indonesia di Belanda, menyebabkan ia harus banyak berurusan dengan pihak kolonial Belanda.

Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan sebuah organisasi yang disebut Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda. Keterlibatan Hatta dalam organisasi ini mempererat hubungannya dengan tokoh-tokoh gerakan pembebasan nasional dari wilayah jajahan lain, sebagai contoh Jawaharlal Nehru, seorang tokoh nasionalis India, yang dikemudian hari menjadi sahabat dekatnya. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda namun akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free didepan sidang pengadilan kolonial Belanda.

Nasionalisme Dalam Pandangan Hatta

Tidak dapat dipungkiri bahwa Hatta adalah salah seorang tokoh yang dengan gigih memperjuangkan Indonesia Merdeka, sejarah Indonesia membuktikan hal ini. Tetapi dalam membangun semangat nasionalisme Indonesia, Hatta tetap berprinsip pada sikap-sikap nasionalisme yang plural dan egaliter.

Penolakan Hatta yang tegas terhadap usaha dimasukannya Syariat Islam dalam mukadimah dan batang tubuh UUD 45 yang didorong oleh golongan Islam, menunjukkan sikap tegas Hatta akan pandangannya mengenai nasionalisme yang egaliter dan plural. Hatta adalah seorang muslim yang taat, tetapi ia tidak hendak mengorbankan nilai-nilai agama yang lebih berifat personal kedalam bangunan kesadaran nasionalime Indonesia, yang tentunya akan memancing perpecahan didalam kesadaran nasional baru akan dibangun. Oleh karenanya kompromi yang, dalam pandangan Hatta, paling mungkin diterima oleh berbagai berbagai golongan di Indonesia dalam membangun nasionalisme bersama adalah nasionalisme yang egaliter dan plura tanpa prasangka agama didalamnya.

Sejak awal Hatta telah berpandangan bahwa basis dasar bagunan nasionalisme Indonesia haruslah egaliter dan plural. Sikap egalitarian dan plural itu pula yang ditunjukan Hatta mengenai pandangannya tentang Papua, yang menurutnya, juga punya kesempatan yang sama dengan Indonesia dalam hal membangun masa depannya sendiri.

Sejak awal Bung Karno sudah memiliki pandangan yang chauvinis dalam membangun kesadaran nasional Indonesia, sifat chauvinis Soekarno semakin mengental ketika diterapkannya sistem demokrasi terpimpin, setelah mundurnya Hatta dalam jabatannya sebagai wakil presiden Indonesia pada tahun 1956.

Bolehlah dikatakan, dalam hal nasionalisme, Soekarno mampu mengatasi Hatta dalam hal sifat-sifat chauvinistiknya, tetapi perlu dicatat bahwa dalam hal demokrasi, Hatta mampu mengatasi Soekarno.

Demokrasi Dalam Pandangan Hatta

Pada sebuah artikel yang ditulis oleh seseorang dengan nama samaran Si Rakyat dalam majalah Persatoean Indonesia mengenai demokrasi menghasilkan sebuah polemik hangat dengan Hatta. Si Rakyat, dalam tulisannya, mengkritik penggunaan nama Volkssouvereiniteit sebagai bahasa Belanda dan mengatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah barang impor. Sebagai balasannya, Hatta kemudian menulis:

"...perkataan "demokrasi" yang dipakai oleh Si Rakyat tidak asli. Perkataan itu juga import!....Partai-partai Indonesia disuruh memakai semboyan 'Demokrasi Indonesia'..." Sebagai contoh disebutnya pengertian demokrasi di Minangkabau: Sepakat, ia mengutip suatu pepatah Minangkabau, yaitu: ‘Kemenakan beraja (tunduk seperti diperintah raja-Pen) ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat’. Mufakat siapa? Bukan mufakat rakyat, melainkan mufakat penghulu saja. ... sudah banyak benar sekarang jumlah kemenakan yang tiada mau lagi ‘beraja’ ke mamak dan penghulu...." (Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1976, cet. 2, halaman 123-129).

Bandingkan penggunaan istilah musyawarah mufakat, yang oleh Soekarno diklaim sebagai demokrasinya Indonesia, yang dalam prakteknya, sudah dikritik oleh Hatta karena tidak melibatkan partisipasi rakyat secara umum. Musyawarah-Mufakat adalah demokrasinya para pemimpin dan bukan dilahirkan oleh rakyat. Demokrasi feodal seperti inilah, yang ditentang oleh Hatta.

Dalam kasus Papua, bisa dibandingkan pula dengan proses penentuan pendapat rakyat (Pepera 1969) yang berpangkal pada apa yang disebut musyawarah-mufakat. Dalam peristiwa tersebut, asas-asas demokrasi universal dilikuidasi dan digantikan dengan pola musyawarah mufakat. Pernyataan bebas memilih bagi rakyat Papua yang diatur dalam New York Agreement untuk menentukan masa depannya dengan prinsip "one man, one vote" seperti layaknya asas-asas demokrasi yang berlaku universal tidak dipakai. Yang terjadi adalah mobilisasi terhadap segelintir orang Papua untuk dilibatkan dalam proses politik yang maha penting ini. Pepera 1969 hanya melibatkan 1025 orang Papua untuk mewakili 800.000 jiwa penduduk Papua saat itu untuk menentukan pendapat apakah bergabung dengan NKRI atau lepas dari NKRI sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka.

Dalam hal menegakkan prinsip-pinsip demokrasi, Hatta bersikap tegas. Ketika demokrasi sudah tidak lagi diindahkan oleh Soekarno dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, Hatta tidak lagi bersimpati dan mengundurkan diri pada tahun 1956 dalam posisinya sebagai wakil presiden. Soekarno kemudian menganjurkan apa yang disebutnya "demokrasi terpimpin" dalam praktek politik pemerintahannya di Indonesia.

Mengenai ini, Hatta mengatakan: "Apa yang terjadi sekarang ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki, (yang) lambat laun digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi dari sejarah dunia!" (Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (penyunting), Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran, UI Press, Jakarta, 1992, halaman 112)

Deliar Noer dalam bukunya "Mohammad Hatta: Biografi Politik" yang diterbitkan oleh LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505, menulis pada tanggal 11 Juni 1957 Hatta menegaskan:

"Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.... Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib."

Krisis multi dimensi yang lahir belakangan ini adalah sebuah produk dari kurang cermatnya pemimpin politik Indonesia menata negara ini berlandaskan sistem demokrasi yang benar. Anarki social, seperti yang dibayangkan Hatta, memang telah terjadi. Pada masa Soekarno dengan "demokrasi terpimpin" yang dianutnya menyebabkan Indonesia pada akhirnya terjerumus dalam anarki social dengan pecahnya huru-hara politik paling mengerikan pada tahun 1965, suatu masa dimana Soekarno, yang telah 20 tahun menjabat sebagai presiden, harus meletakkan jabatannya dan menjalani hidup sebagai tahanan politik yang dilakukan regime baru terhadap dirinya sampai akhir hayatnya.

Hal sama terjadi pada pemerintahan dictator militer Soeharto, yang berhasil menguasai kendali pemerintahan selama 30 tahun setelah tumbangnya Soekarno. Demokrasi Pancasila, seperti yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto, adalah merupakan demokrasi semu, yang tidak mencerdaskan kehidupan berdemokrasi rakyat dan dijalankan dengan menggunakan pendekatan militeristik. Kombinasi antara demokrasi Pancasila yang semu dan penggunaan kekuatan militer dalam menjalankan kekuasaan telah melahirkan begitu banyak masalah. Lawan-lawan politik diteror, diintimidasi dan bahkan dibunuh. Banyak daerah yang melimpah sumber daya alamnya dikuras oleh Soeharto dan kroni-kroninya yang korup serta diamankan oleh militer Indonesia yang menjadi tulang punggung pemerintahannya.

Hal tersebut mengakibatkan banyak daerah melakukan perlawanan karena sentralisasi kekuasaan ekonomi dan politik yang tidak adil. Sebuah praktek dimana demokrasi tidak bermakna. Papua bergolak! Hasilnya operasi militer terjadi dan terpampanglah reklame buruk pelanggaran HAM yang diciptakan militer Indonesia sepanjang masa pemerintahan Soeharto.

Hal sama terjadi pada rakyat Acheh, perlawanan para petani di Badega (Garut, Jabar), peristiwa Kedungombo di Solo (Jawa Tengah), peristiwa Warsidi di Lampung, peristiwa Tanjung Priok di Jakarta dan terakhir peristiwa penculikan dan pembunuhan aktivis-aktivis mahasiswa, buruh dan tani sepanjang tahun 1996 hingga munculnya proses reformasi pada tahun 1998. Anarki social kembali muncul, kelompok etnis tertentu menjadi incaran pembantaian dan perkosaan massal oleh kelompok-kelompok sempalan politik tertentu yang masih tetap menginginkan status quo dan berhasil memprovokasi rakyat yang lapar dan marah. Akhir dari kisah reformasi adalah tumbangnya Soeharto. Semua hal diatas terjadi, sekali lagi, hanya karena tidak becusnya penerapan demokrasi yang merakyat. Sampai disini Hatta, sebagai seorang negarawan yang bijak, telah memberikan arti sesungguhnya dalam pemaknaan dan pelaksanaan sebuah demokrasi yang benar.

No comments: