Sunday, 3 June 2007

Nasionalisme Indonesia Yang Anti-Demokrasi!

Sebuah Catatan Mengenai Mohammad Hatta dan Pandangannya Tentang Masa Depan Papua! [Bagian Kedua - Selesai]

Masalah Papua Dalam Pandangan Hatta

Dalam sidang-sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 10 - 11 Juli 1945 terdapat silang pendapat antara tokoh-tokoh nasional Indonesia. Soekarno dan Moh. Yamin berpendapat Papua adalah bagian integral Indonesia berdasarkan klaim sejarah Majapahit dan Tidore, sehingga mutlak dimasukan sebagai bagian dari Indonesia, sementara tokoh-tokoh politik seperti Moh. Hatta dan Sutan Syahrir lebih menekankan sisi kemanusiaan dengan menggunakan nilai-nilai demokrasi dalam penyelesaian masalah Papua.

Hatta berpendapat Papua merupakan sebuah entitas bangsa dengan kebudayaan Melanesia yang dominan dan tidak seharusnya menjadikan Indonesia mengabaikan begitu saja fakta sosiologis ini. Sebagai sebuah entitas bangsa, rakyat Papua juga punya hak untuk menentukan masa depannya sendiri sama seperti Indonesia.

Dalam perdebatan-perdebatan BPUPKI itu Hatta berkata: "Saya sendiri ingin menyatakan bahwa Papua sama sekali tidak usah dipusingkan, bisa diserahkan kepada Bangsa Papua sendiri. Saya mengakui bahwa Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa yang merdeka, akan tetapi Bangsa Indonesia untuk sementara waktu, yaitu dalam beberapa puluh tahun, belum sanggup, belum mempunyai tenaga yang cukup untuk mendidik bangsa Papua, sehingga menjadi bangsa yang merdeka."

Silang pendapat mengenai Papua antara Hatta disatu pihak dan Soekarno-Yamin dipihak lain tidak terkompromi, sehingga dalam sidang BPUPKI dimunculkan beberapa opsi mengenai wilayah kedaulatan Indonesia, beberapa opsi yang ditawarkan untuk divoting adalah sebagai berikut; Pertama, yang disebut Indonesia adalah bekas jajahan Hindia Belanda dahulu; Kedua, yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda, Malaka (Malaysia), Borneo Utara (Brunei dan Sabah), Papua, Timor-Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan kepulauan sekitarnya; Ketiga, yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda Dahulu ditambah Malaka tanpa memasukkan Papua.

Dari ketiga opsi tersebut, dihasilkan voting dari 66 anggota BPUPKI sebagai berikut; 16 suara mendukung opsi nomor satu, 39 suara mendukung opsi nomor dua, dan 6 suara mendukung opsi nomor 3, dengan demikian, sejak awal, tidak saja Papua tetapi juga Timor - Portugis, yang sekarang sudah merdeka, Malaysia dan Brunai Darussalam juga dimasukan dalam imajinasi teritorial nasional yang hendak dibangun oleh nasionalis Indonesia.

Tidak hanya disitu, sikap Hatta yang tegas ditunjukkannya saat terjadinya pertemuan antara pemimpin Indonesia Merdeka, yaitu Soekarno dan Hatta, dengan pimpinan militer Jepang di Saigon, Vietnam, pada tanggal 12 Agustus 1945.

Dalam kesempatan ini, Mohammad Hatta masih memegang teguh prinsipnya mengenai masa depan bangsa Papua. Hatta menyatakan:

"...bangsa Papua merupakan ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan masa depannya sendiri!"

Pandangan Hatta mengenai Papua didepan pimpinan militer Jepang di Saigon waktu itu bertolak belakang dengan pandangan Soekarno yang mengatakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan sama sekali dengan usaha-usaha persiapan kemerdekaan yang sedang dilakukan tokoh-tokoh nasional Indonesia.

Pada awal tahun 1960-an gagasan Soekarno untuk mengganyang Malaysia disambut dengan mobilisasi militer Indonesia secara besar-besaran. Lahirlah gerakan Dwikora yang membenarkan mobilisasi rakyat untuk kepentingan politik Soekarno yang agresif itu. Hal sama terjadi dalam kasus Papua. Pada tanggal 19 Desember 1961 Soekarno menggelar rapat akbar di Alun-alun Utara Yogyakarta yang melahirkan gerakan Trikora dalam rangka pendudukan Papua. Dwikora tidak berhasil secara politik, tetapi gerakan Trikora yang dilancarkan Soekarno pada akhirnya berhasil. Unjuk kekuatan milter dan diplomasi politik dalam gerakan Trikora menjadi dua kunci sukses yang berhasil dikombinasikan oleh Soekarno dalam rangka pendudukan dan penguasaan Papua.

Barangkali dalam konteks ini Soekarno hendak menjabarkan dan mempraksiskan hasil-hasil sidang BPUPKI pada tanggal 10 dan 11 Juli 1945, dimana dalam sidang BPUPKI itu, mayoritas anggota menyetujui sebuah usulan mengenai blue print imaginasi batas-batas teritori nasional Indonesia merdeka yang harus meliputi daerah-daerah bekas jajahan Hindia Belanda termasuk Malaka (sekarang Kerajaan Malaysia), Borneo Utara (sekarang Kesultanan Brunai Darussalam), Papua, Timor Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan pulau-palau sekitarnya.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia berhasil menguasai Papua secara de facto melalui proses integrasi yang terjadi pada tanggal 1 Mei 1963 dan secara de jure dimasa pemerintahan Soeharto melalui proses Pepera 1969. Dua peristiwa politik penting yang masih digugat oleh rakyat Papua sampai saat ini. Lahirnya perlawanan rakyat Papua melalui Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam menentang proses pendudukan Indonesia atas Papua adalah merupakan refleksi kekecewaan politik atas berbagai ketidakadilan yang terjadi.

Barangkali, pada masa-masa dimana dua peristiwa politik penting yang dikemudian hari telah merubah nasib dan keadaan politik sesungguhnya di Papua itu, Hatta melihat dari jauh tanpa bisa berbuat lebih banyak seperti yang pernah ia lakukan pada masa-masa awal persiapan kemerdekaan Indonesia. Barangkali juga pada saat itu, Hatta dengan kesederhanaan jiwanya itu sedang menerawang kegelisahan jiwa rakyat Papua yang gundah gulana akibat konflik politik antara Indonesia dan Belanda yang pada akhirnya telah menjadikan rakyat Papua sebagai korban dari kemunafikan dan arogansi kekuasaan yang sewenang-wenang. Rakyat Papua tentu masih menanti orang seperti Hatta yang mampu menyelami jiwa dan pikiran mereka, tidak saja dalam pemikiran dan perkataan, tetapi juga dalam tindakan nyata.

No comments: