Sunday 23 September 2007

Budaya Konsumtif Yang Merusak

Kita sedang berada pada satu masa dimana konsumerisme menjadi budaya yang sedang mengglobal sekaligus merusak manusia dan kemanusiaan itu sendiri!
[Hans Gebze]


Pada pertengahan Juni 2007 lalu bertempat di salah satu kota di Jerman, negara-negara industri maju menggelar sebuah pertemuan penting yang membahas masalah Perubahan Iklim dan fenomena ikutannya yang disebut "Pemanasan Bumi." Jelas bahwa semua dampak perubahan iklim dunia dan pemanasan bumi dihasilkan oleh karena sikap serakah manusia yang konsumtif.

Dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut, kita melihat sikap arogan AS yang diikuti Australia dalam menolak menjalankan agregat Protokol Kyoto yang mengatur tentang penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan. Barangkali kita semua masih ingat apa yang terjadi di Jerman pertengahan Juni lalu.

Satu pesan jelas terlihat, ditengah ujian maha besar bagi umat manusia dalam mengurangi sifat komsumtifnya yang cenderung merusak alam, AS sebagai salah satu konsumen energi terbesar dunia dengan kepongahannya, mengambil sebuah tindakan politik yang tidak mempedulikan manusia dan kemanusiaan.

Padahal, saat ini dunia dihadapkan pada satu pilihan pati: mengurangi ketamakan konsumtif kita dalam penggunaan energi fosil yang merusak Ozon atau tetap menggunakan energi fosil dengan konsukuensi pemanasan bumi menjadi ancaman peradaban umat manusia.

Amerika Serikat dikenal sebagai negara pengguna energi fosil terbesar di dunia. Kurang lebih 40% penggunaan energi dunia dimonopoli oleh Amerika Serikat, dengan demikian terlihat jelas jika pada KTT G8 di Jerman pada Juni 2007 lalu, AS dengan tegas menolak meratifikasi Protokol Kyoto.

Budaya Konsumtif ala Kapitalis

Sejarah perkembangan manusia sebagaimana digambarkan dalam ilmu antropologi dan sosiologi, bermula dari masyarakat komunal, dimana pada masa awal perkembangan peradaban, manusia yang satu dan manusia yang lain melakukan hubungan sosial - ekonomi dengan cara melakukan barter. Pada waktu kita mempelajari ilmu ekonomi di SMP dan atau SMU, kita diperkenalkan akan sebuah teori dasar ekonomi, yaitu: dengan modal sekesil-kecilnya, kita diharapkan mendapat untung yang lebih besar.

Kompetisi dimulai pada waktu manusia sudah tidak lagi memakai cara barter dalam pertukaran barang. Pada masa perbudakan, manusia satu mengeksploitasi manusia lain yang lebih lemah untuk mengambil untung dari situasi ini. Alat tukar yang digunakan sudah bukan lagi barter seperti pada jaman komunal.

Kita beranjak pada masa feodalisme, struktur dagang sudah lebih mapan dengan pola pemberian upeti oleh negara-negara vasal [negara atau wilayah bahawan] kepada induk feodal. Masa feodialisme memunculkan suatu metode baru yang mutakhir dalam proses ekploitasi manusia.

Strata sosial yang mendukung unsur penindasan lebih mapan pada jaman feodal, dimana negara sebagai kehendak Ilahi adalah pengejawantahan dari Tuan Tanah [kaum feodal atau ningrat] yang bertugas menjalankan negara sebagai amanah agung dan karenanya rakyat harus menjadi hamba paling setia yang tidak boleh membantah setaiap aturan yang dikeluarkan negara.

Kecenderungan konsumtif pada masa ini sudah sangat tersistem dengan model eksploitasi melalui metode land rente oleh kaum feodal. Petani dan petani penggarap dihisap melalui metode sewa tanah dan atau pengendalian pasar yang dilakukan oleh kaum feodal.

Pada masa kapitalisme merkantilis berkembang, metode eksploitasi yang digunakan adalah metode eksploitasi feodal yang dikombinasi dengan sedikit pola kapitalis. Pada masa kolonial, Belanda merupakan salah satu negara kapitalis yang menggunakan metode eksploitasi kapitalisme merkantilis.

Pada masanya, Kapitalisme awal dimunculkan oleh penemuan mesin uap di Inggris yang mendorong proses industrialisasi secara besar-besaran. Ketika mesin-mesin industri di Eropa Barat berkembang dengan sangat cepat, terjadilah sebuah proses eksploitasi besar-besaran dalam sejarah peradaban manusia melalui proses kolonisai.

Kolonisasi wilayah baru oleh negara kapitalis [Eropa Barat] pada awal abad ke 17 dan 18 adalah untuk memenuhi selera konsumtifnya para pemilik modal yang berkolaborasi dengan negara dan institusi gereja.

Trilogi 3G yaitu: Gold, Glory dan Gospel adalah trilogi kapitalisme yang dimungkinkan oleh meledaknya proses industrialisasi di Inggris. Trilogi ini muncul, bukan karena kebaikan hati orang barat untuk menyebarkan kebiakan [Injil] kepada manusia dibelahan dunia lain, tetapi hanya dipicu oleh tiga kebutuhan pokok:, yaitu: pertama; eksploitasi sumber daya alam di wilayah-wilayah lain yang lebih kaya, kedua; penyerapan tenaga kerja yang lebih murah [ingat perbudakan modern?] dan ketiaga; penciptaan pasar untuk mengambil keuntungan dari proses industrialisasi yang maju pesat di Eropa Barat.

Pada masa sekarang, metodologi penjajahan atau penghisapan sudah tidak dilakukan dengan menggunakan model fisik seperti pada jaman kolonialisme. Dalam perkembangannya, kapitalisme menggunakan model yang lebih halus dengan didukung oleh institusi atau instrumen eksploitasi yang lebih rapi, tersistem dengan menggunakan aturan hukum yang fleksibel berdasarkan kemauan para kapitalis.

Bank Dunia, WTO dan IMF, sekedar untuk menunjukkan contoh, adalah alat-alat legal yang dimiliki oleh negara-negara industri maju untuk mendikte negara berkembang dan miskin untuk mengamini pola konsumtif mereka yang tidak terkontrol. Proses eksploitasi sumber daya alam yang tak terkontrol dibekingi oleh industrialisasi modern di negara-negara maju menghasilkan fatamorgana kemanusiaan yang paling suram: kemiskinan bagi pemilik sumber daya alam [negara berkembang dan maju] dan kerusakan bumi akibat sikap serakah eksploitasi pemilik modal besar [Multi / Trans Nastional Corporation] yang dimiliki negara-negara industri maju.

Dampaknya jelas, kehancuran Bumi berakibat kehadiran fenomena baru "Pemanasan Bumi" yang oleh banyak ahli diprediksi akan menghancurkan kemapanan sistem sosial yang sudah terbentuk akibat bencana alam seperti badai, gempa bumi, tsunami dan banjir. Pemanasan Bumi akan menghasilkan apa yang disebut "manusia miskin baru." Barangkali kita masih ingat Tsunami Acheh? Jelas bahwa peristiwa alam yang maha dasyat itu telah menghasilakn manusia miskin baru dalam jumlah yang sangat besar. Bagaimana dengan Banjir Bandang yang terus melanda Asia Selatan [Bangladesh dan India]? Jelas juga kita melihat "manusia miskin" dimunculkan oleh bencana alam ini.

Bahkan para ahli memprediksi, akibat pemanasan bumi, proses migrasi akan terjadi. Bencana alam yang merusak bagian lain Bumi akan menghadilkan proses migrasi dari wilayah-wilayah dimana bencana terjadi. Migrasi adalah reaksi alami yang dimiliki manusia untuk menyelamatkan diri ke wilayah yang lebih aman. Tetapi bukan tanpa masalah, proses migrasi kelompok manusia ke wilayah lain yang lebih aman diperkirakan akan memunculkan konflijk perebutan lahan, konflik perebutan lahan memunculkan peristiwa politik yang kita kenal sebagai "perang."

Sejarah mencatat, proses industrialisasi yang maju di Eropa Barat akibat revolusi industri, telah memacu proses migrasi penduduk dari Eropa Barat untuk menduduki wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, selain untuk pemenuhan kebutuhan industrialisasi di Eropa Barat, tetapi juga penciptaan sistem pasar yang efektif dengan menggerakkan masyarakatnya yang sudah lebih maju dalam menjalankan mekanisme pasar di wilayah-wilayah baru. Proses migrasi penduduk Eropa Barat diperkirakan mencapai 66 juta jiwa pada masa-masa awal kolonisasi Asia, Afrika, Amerika Australia dan Pasifik, telah menghasilkan perang dunia pertama dan kedua.

Bukan tidak mungkin, pemanasan bumi yang semakin hebat dan perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi pada masa yang akan datang, akan memunculkan proses migrasi besar-besaran kelompok manusia dari wilayah bencana ke wilayah yang lebih aman yang akan memungkin terciptanya perang dunia. Bukan suatu wacaan baru, ini hanyalah catatan untuk mengingatkan betapa dasyatnya dampak yang dapat timbul akibat keserakahan manusia mengeksploitasi alam.

Fenomena pasar bebas [neo-liberaslisme] saat ini adalah fenomena konsumtif yang sudah tak terbendung lagi. Kemawahan membutuhkan kenyamanan dan "kedamaian semu" yang hanya diperoleh dengan jalan mengkonsumsi hasil produksi barang industri.

Kemewahan membutuhkan biaya yang besar dan hanya diperoleh oleh orang-orang kaya yang hidup mapan di negara-negara industri maju. Kemewahan membutuhkan konsumsi publik yang tidak sedikit. Demikianlah budaya konsumtif telah menjadi fenomena yang mengglobal dan paling merusak dalam sejarah perdaban manusia hari ini.

Amerika Serikat Yang Konsumtif, Bumi yang Merana

Pemenuhan kebutuhan energi AS yang besar membutuhkan pola atau sistem pendukung eksploitasi yang ampuh sesuai kebutuhan jaman. Prosesi perang Irak, kontrol minyak Timur Tengah, penguasaan pasar minyak dunia dan rencana atau kebijakan perang terhadap Iran yang dilakukan Amerika Serikat adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestiknya akan energi fosil [minyak bumi].

Penduduk AS yang konsumtif, tidak menghiraukan dampak sosial dan kemanusiaan yang ditimbulkan pemerintahannya akibat proses eksploitasi Multi National Corporation AS di negara-negara berkembang dan miskin untuk mendapatkan energi fosil.

Tetapi kita masih beruntung dan bisa secara obyektif menilai AS. Proses perlawanan rakyat AS menolak perang Irak misalnya, adalah sebuah gagasan kemanusiaan orisinil yang patut kita hitung sebagai naluri kemanusiaan yang tak bisa dibohongi.

Bahwa perang Irak bukanlah solusi final bagi AS untuk memenuhi kebutuhan energinya. Sebaliknya, Perang Irak, hanyalah merusak moral tentaranya yang bertugas di Irak, sekaligus menciderai peraraan seorang Ibu, yang akibat perang Irak, telah kehilangan anak laki-laki atau perempunnya yang bertugas di Irak, atau juga barangkali, perang Irak justru memisahkan dua pasang manusia yang baru saja merajut kasih untuk menggapai masa depan yang lebih baik.

Apa yang dilakukan the New Yorker [salah satu koran di AS] yang menentang pemberitaan media main-stream [CNN, Reuter, New York Times, Washington Post, dll] yang cenderung pro kebijakan luar negeri pemerintahan G.W Bush, mampu mendorong kesadaran sebagian rakyat AS untuk menolak perang.

Apapun yang terjadi di AS adalah wajar untuk dicermati sebagai kilas balik yang penting akan betapa pentingnya mendahulukan kemanudiaan daripada sekedar mengejar pemenuhan konsumsi minyak bumi [energi fosil] semata. [Bersambung....]

Read More...

Monday 27 August 2007

Bait-bait Puisi Papuan Diary

Aku menulis,
Aku penulis terus menulis
Sekalipun terror mengepung!


Syair milik Thukul. Saya meminjamnya karena tegas, jelas, lugas. Tukul inspirasi saya. Banyak hal saya coba pelajari dari seseorang yang hanya saya kenal namanya, mengenal muka tidak, memang kami anak se jaman tapi tak senasib, tak seumur dan tak diijinkan sang energi mutlak, untuk bertemu.

Saya punya beberapa puisi yang dibuat sejak awal Agustus lalu, mungkin ada yang mau baca? Saya tulis ulang dibawah.

--------------------
PAHLAWAN HUTAN DUNIA
--------------------

Tanah ini milik-ku
Ya, Ia milik-ku sejak aku tercipta
Gunung ini milik-ku
Ia lambang kegagahanku sejak mula
Sungai dan lembah ini milik-ku
Ia lambang keperempuananku sejak awal
Bentan sabana nan luas
Horizon laut tak terkira
Lambang gagah perkasanya aku
Di masa mudaku

Hutan ini milik-ku
Ia jadi tatanan hidupku
Ia atur siklus hidup makluk
Yang terjalin turun temurun
Bersama Ibu Bumi telah kujaga dia
Sepanjang hayat
Bersama Ibu Bumi telah kupelihara dia
Selayaknya ibu merawat anaknya

Tapi.....
Kau datang rampas tanah-ku
Kau datang rusak gunung-ku
Kau datang rusak hutan-ku
Kau datang curi milik-ku
Bahkan nyawaku kau incar
Hendak jadikan santapan siangmu

Biar darahku mengalir
Biar badanku remuk redam bersimbah luka
Biar nyawaku taruhannya
Aku tetap setia
Bersama Ibu Bumi lindungi alamku

Akan tiba waktunya
Ketika Ibu Bumi bicara
Tahukah kau banjir itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau gempa itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau badai itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau pemanasan global..........
Tahukah kau perubahan iklim dunia...........

Dengan serakah modalmu
Kau rusak tatanan sejati Bumi
Kau ciptakan penindasan manusia
Kini Ibu Bumi bicara
Dan kau..........
Yang terlindung pencakarlangit
Yang disuguhi kemewahan
Yang berpesta ditengah ketidakadilan
Kau akan rasakan amarahnya
Dan marahnya dasyat!

Aku adalah aku
Sejak mula berdiam dimuka Bumi
Aku adalah aku
Akan lenyap bersama Bumi
Ingat-ingatlah aku
Dengar-dengarlah aku
Akulah penjaga Bumi
Akulah PAHLAWAN HUTAN DUNIA!!

Freeway, 11 Agustus 2007
Pukul 15.45 Waktu Papua

-------------------
Puisi untuk KIDYOTI
-------------------

Sejak kapan merdeka ki?
Rakyat masih miskin ki
Apa hendak kau kata
Sejarah bilang
Dulu merah putih
Jaman berubah
NKRI bisa hidup?

Banyak benar salah atur
Banyak benar rakyat menderita
Bukan salah rakyat
Kau penguasa yg salah
Apa kau masih bangga menjadi penguasa?

Mabuk merdeka?
Minum anggur korupsi
Minum darah rakyat
Berpestalah ditengah kemiskinan rakyat

Apa kau masih membantah ki?
Apa kau masih ragu kata-kataku?
Besok revolusi yg benar akan muncul
Dan kita bukan lagi Indonesia Raya
Bukan lagi NKRI seperti katamu

Karno hebat
Apa yang kau banggakkan dari Mega?
Jual BUMN
Naikkan subsidi BBM
Naikkan tarif listrik
Buat susah rakyat kecil
Mega sama dengan G.W Bush
Mega sama dengan komprador
Mega adalah penindas gaya baru
Stop membual!

MERDEKA BUNG!
MERDEKA!

----------------------------
PAPUA - BETAWI, DUA FENOMENA
----------------------------

Indonesia Merdeka?
Merah Putih?
Pancasila?
UUD 45?

Apa jaminannye?
Lagu Sabang - Merauke
Lu buat setelah Papua dipaksa gabung NKRI
Integrasi, itu kata Murtopho, Ali, Jendral!

Apakah memberi rasa aman buat rakyat?
Apa ada kemakmuran?

Gak, kata lu gitu
Kagak ada ape-apenyee, itu kata si Pi Tung

Dulu gue hajar kumpeni, kata Pi Tung
Untuk pertahankan Tanah Moyang gue, engkong gue, babe gue..!

Kini Tanah moyang gue,
engkong gue,
babe gue
di serobot wajah2 serakah pengusaha + militer + birokrasi + urbanis

Jadilah betawi pinggiran....
Sadis amat..!
FBR?
FORKABI?

Gue kenal lu, gue ini anak Papua
Gue ngerokok bareng lu tiap saat
Gue biasa bareng ama lu di Roxy Mas
Gue biasa bareng ama lu di Selatan
Gue biasa bareng ama lu di Utara
Gue biasa bareng ama lu di Barat dan Timur
Gue di Rawa Bunga, lu pade kenal ame premanye pan?
Gue disitu ama lu
Gue di Kemanggisan ada engkong betawi gue...
Gue ketiup angin ke empat penjuru angin....!

Gue dah bilang ama lu pade
Jangan mau dikadalin SBY-JK lagi
Mega, Amien, dan kawan-kawan seperjuangan mereka....

Lu punya Gubernur si Foke, lu bilang bokapnye Jawa Ibunye Betawi
Iyeee, gue tau maksud lu pan biar dia diterima ama kalangan lu pade kan?

Betawi fenome penggusuran
Papua Fenomena politik dan bernegara

Dua-dua punya nasib yang sama
Sama-sama pemilik Tanah yang tergusur
Terpinggirkan, tersisih
Dari miliknya

Tapi Papua punya cerita lain
Papua juga BERHAK MERDEKA!
Merdeka, Merdeka, Merdeka!
Gue mau bilang: CUKUP!
Gue berhak merdeka!

Read More...

Tuesday 14 August 2007

Antara Juven Biakai dan Arnold Ap [Bagian I]

Sebuah Catatan Perjuangan Penegakkan Nilai-Nilai Adat dan Budaya Tanah Papua, Yang Mulai Lekang Dikikis Dominasi Budaya Barat dan Melayu!

Fenomena yang menarik minat! Itu kesan pertama yang timbul dalam benak saya, melihat begitu asyiknya media massa mengulas aksi-aksi budaya yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dari Asmat. Bukan nilai baru, bukan pula nama baru. Asmat sudah dikenal dunia Internasional jauh sebelum perhelatan "Eksebisi Budaya Asmat" yang digelar di Lokasi Karnaval, Ancol, Jakarta, sejak tanggal 12 dan berakhir tanggal 19 Agustus nanti.


Mengurai Kejayaan Mambesak

Eksebisi Budaya Asmat ini dipimpin oleh Bupati Asmat, Bung Juven Biakai. Jauh sebelum menjabat Bupati, Juven adalah seorang pekerja seni, yang antara lain bersama Donatus Moiwend [dari suku Marind Anim, suku yang tinggal di Kota Maroke dan sekitarnya] mendorong laju maju budaya Selatan Papua dipanggung Budaya Papua pada tahun 1980-an.

Donatus sebagai seniman mural, hasil karya tokoh ini dapat dilihat di katedral Jayapura. Sementara pada masa-masa itu, Juven Biakai bekerja sebagai staff kurator museum seni dan antropologi Universitas Cenderawasih, dibawah kepemimpinan budayawan Papua, Alm. Arnold Ap.

Bukanlah sebuah kisah baru. Sebagai anak muda yang ambil peran aktif dalam kampanye-kampanye penguatan Budaya Papua dibawah koordinasi Alm. Arnold Ap pada awal 1980-an, Bung Juven Biakai tentu memiliki wawasan yang sama dengan Arnold Ap. Keutamaan gagasan dan wawasan itu adalah mempertahankan dan menyelamatkan eksistensi ke-melanesia-an Budaya Asmat dan Papua secara keseluruhan.

Saya memaknai Eksebisi Budaya Asmat kali ini dalam pandangan yang demikian. Ia bukan melulu menjadi sebuah upaya cita-cita kosong yang diletakkan begitu saja dalam kerangka semantis bahasa yang sederhana, tetapi sudah menjurus ke aras sosiologis yang dalam, sedalam saya memaknai Asmat sebagai Papua dan sedalam saya memaknai Papua sebagai Melanesia!

Menggugat Kebinekaan Yang Tak Berbineka!
Nuansa politis terlihat jelas dalam Eksebisi Budaya Asmat ini, hal ini terbaca karena bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia, tetapi secara terhormat, pemimpin-pemimpin Suku Asmat secara terbuka sudah katakan bahwa Eksebisi Budaya Asmat kali ini tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai upaya mensejajarkan relevansi kearifan tradional Asmat yang agung dengan budaya-budaya lain di nusantara. Dengan kata lain, Asmat hendak menampilkan ciri khususnya sebagai Suku besar di Papua yang sejak jaman dulu sudah membangun peradaban yang luar biasa eksotis, sebagai alternatif untuk orang luar memandang Asmat dan Tanah Papua.

Asmat hendak bilang bahwa Anda sekalian tidak boleh memandang Asmat atau Papua dalam stereotipe "primitif", "kanibal", "terbelakang", "pemabuk", "suka akan kekerasan", "tertinggal", "bodoh" dan sejumlah stereotipe lain yang sudah tertanam pada seluruh benak orang-orang Indonesia.

Asmat hendak bilang bahwa kalau Anda menjunjung Bhineka Tunggal Ika, maka Anda harus benar-benar hayati makna itu, jangan sekedar slogan kosong yang nyaring bunyi bagai tong kosong! Ini fenomena sosial yang sedang terjadi dan secara jujur saya harus katakan bahwa telah terjadi dominasi berlebihan oleh budaya-budaya tertentu di Indonesia yang itu menghambat laju maju budaya-budaya Papua.

Itulah yang ditawarkan Asmat dan itulah yang harus diterima dengan terbuka oleh semua pihak. Sudah banyak benar yang dikorbankan Masyarakat Adat Papua pada tatanan nilai luar dan kisruh ekonomi-politik yang menjadikan kita [orang Papua] sebagai korban paling empuk dari sistem imperialisme yang kejam dan yang dibantu oleh komprador paling setianya, yaitu pemerintah RI dan TNI/Polri.


Bagaimana Mbalim?

Apa yang berlangsung di Lembah Agung Mbalim [Wamena] hari ini adalah sebuah upaya kamuflase politik dengan target tertentu. Saya melihat upaya dikumpulkannya 40 Suku didaerah Pegungungan Tengah Papua untuk mendorong eksebisi budaya diwilayah ini adalah semata-mata untuk membalikkan opini, seakan-akan di Mbalim tidak terjadi pelanggaran HAM, seakan-akan di Mbaliem tidak terjadi penambahan pasukan yang berlebihan, seakan-akan di Mbalim Anda dapat menemukan kedamaian. Omong kosong! Ini muslihat, itu pembohongan terhadappublik.

Seperti sebuah fenomena politik domino, apa yang terjadi di Mbalim, Jayapura dan Ancol, adalah sebuah taktik tertentu untuk pura-pura mengakomodir Melanesia kedalam semangat NKRI. Bukankah ini mendekati HUT RI? Wajar begitu, tetapi yang tidak wajar adalah: NKRI dan aparatusnya tidak pernah mau jujur katakan bahwa mereka gagal membangun Papua.

Kita diadu oleh logika politik yang dibolak-balik. Rakyat kecil tidak mampu memahami ini secara benar, maka adalah wajar jika kritik harus secara terbuka saya letakkan disini sebagai upaya menetralisasi politisasi budaya Melanesia yang sedang berlangsung hari-hari ini dan entah sampai kapan? [Bersambung]

Read More...

Monday 13 August 2007

Refi Mascot

 

Refi, seniman muda berbakat, fotografer yang mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan kearifan tradisional milik berbagai masyarakat adat yang ada di Indonesia.

Posted by Picasa

Read More...

Saturday 11 August 2007

Saudaraku, denganPersatuan Rakyat Tertindas Kita Mampu Kalahkan Mereka Yang Menindas!

 

Posted by Picasa

Read More...

Back To My Root!

 

Posted by Picasa

Read More...

Pencurian SDA Papua!

 

Posted by Picasa

Read More...

PAHLAWAN HUTAN DUNIA

Banyak sekali klaim dari pihak-pihak luar, terutama ilmuwan, aktivis lingkungan dan politisi, yang sering mengakui dirinya sebagai orang atau kelompok yang paling bertanggung jawab atas keselamatan Hutan diseluruh dunia. Tapi banyak pihak yang lupa bahwa "pahlawan sesungguhnya" adalah masyarakat adat, yang hidup dan tinggal didalam Hutan sejak mereka ada di Bumi ini.

Saya masukan disini sebuah puisi yang disumbang seseorang bernama Anim Ha, yang menuangkan gagasannya mengenai "Masyarakat Adat Sebagai Pahlawan Hutan Dunia" dalam bait-bait puisi berikut.

====================
PAHLAWAN HUTAN DUNIA
====================

Tanah ini milik-ku
Ya, Ia milik-ku sejak aku tercipta
Gunung ini milik-ku
Ia lambang kegagahanku sejak mula
Sungai dan lembah ini milik-ku
Ia lambang keperempuananku sejak awal
Bentan sabana nan luas
Horizon laut tak terkira
Lambang gagah perkasanya aku
Di masa mudaku

Hutan ini milik-ku
Ia jadi tatanan hidupku
Ia atur siklus hidup makluk
Yang terjalin turun temurun
Bersama Ibu Bumi telah kujaga dia
Sepanjang hayat
Bersama Ibu Bumi telah kupelihara dia
Selayaknya ibu merawat anaknya

Tapi.....
Kau datang rampas tanah-ku
Kau datang rusak gunung-ku
Kau datang rusak hutan-ku
Kau datang curi milik-ku
Bahkan nyawaku kau incar
Hendak jadikan santapan siangmu

Biar darahku mengalir
Biar badanku remuk redam bersimbah luka
Biar nyawaku taruhannya
Aku tetap setia
Bersama Ibu Bumi lindungi alamku

Akan tiba waktunya
Ketika Ibu Bumi bicara
Tahukah kau banjir itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau gempa itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau badai itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau pemanasan global..........
Tahukah kau perubahan ilim dunia...........

Dengan serakah modalmu
Kau rusak tatanan sejati Bumi
Kau ciptakan penindasan manusia
Kini Ibu Bumi bicara
Dan kau..........
Yang terlindung pencakarlangit
Yang disuguhi kemewahan
Yang berpesta ditengah ketidakadilan
Kau akan rasakan amarahnya
Dan marahnya dasyat!

Aku adalah aku
Sejak mula berdiam dimuka Bumi
Aku adalah aku
Akan lenyap bersama Bumi
Ingat-ingatlah aku
Dengar-dengarlah aku
Akulah penjaga Bumi
Akulah PAHLAWAN HUTAN DUNIA!!

Freeway, 11 Agustus 2007
Pukul 15.45 Waktu Papua
By Aim Ha

Read More...

Monday 6 August 2007

Pilkada DKI Jakarta: Antara Militerisasi Politik dan Oligarki Demokrasi

Membaca fenomena Pilkada DKI Jakarta hari ini, bagi saya, adalah membaca kembali ruang-ruang politik dan demokrasi, yang diupayakan melalui pergorbanan berdarah-darah gerakan mahasiswa 1998.

Hingga hari ini, reformasi telah berjalan 9 tahun, tetapi hingga hari ini pula, reformasi 1998, bagi kita kaum muda, sudah dapat dipastikan mati suri. Berkuasanya kembali kekuatan orde baru pada masa-masa sekarang, telah menunjukkan pesan politik dengan jelas bahwa Orde Baru masih eksis dan elemen-elemen pendukung orde baru sekarang ini telah menemukkan kembali momentum politik mereka yang hilang pasca reformasi 1998.

Banyak benar agenda reformasi 1998 dikhianati oleh kelompok-kelompok politik yang memboncengi reformasi sebagai kedok untuk kepentingan golongan. Akhirnya yang menjadi korban dan yang selalu menjadi anak haram politik adalah mereka yang masih bersikap kritis sesuai agenda reformasi 1998 dan tentu saja rakyat kebanyakan.

Saya teringat kembali ucapan Alm. Hatta mengenai masalah-masalah berdemokrasi. Hatta mengatakan:

"Apa yang terjadi sekarang ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki, (yang) lambat laun digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi dari sejarah dunia!" (Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (penyunting), Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran, UI Press, Jakarta, 1992, halaman 112).

Selain karena demokrasi yang keblabasan, penghianatan reformasi 1998 juga terjadi karena beberapa hal, misalnya: kasus korupsi BLBI yang penyelesaian makin kabur dan banyak terjebak pada deal-deal politik tentatif yang semakin menyengsarakan rakyat. Kasus kegagalan reformasi lain adalah: menguatnya peran-peran dari lembaga bentukan orde baru yang sekarang sudah mampu menghegemoni rakyat. Elemen-elemen orde baru inilah yang saat ini sedang menguasai panggung politik Jakarta.

Menguatnya kembali peran politik militer dalam peta politik sipil di Indonesia menunjukan bahwa demokrasi sedang menuju ambang kehancurannya. Diktator, sebagaimana pandangan Hatta, akan muncul ditengah situasi demokrasi yang tidak terkontrol.

Prakondisi tidak terkontrolnya demokrasi politik sipil karena intervensi paket-paket kebijakan politik neo-liberal yang diintrodusir lembaga-lembaga donor kepada hamba-hamba mereka [baca: pemerintah Indonesia] dikombinasikan dengan praktek tatanegara yang ambigu, telah melahirkan bola liar demokrasi yang telah di kick-off pada reformasi 1998, tidak bisa dibendung, ia telah menjadi bola liar yang jika tidak mampu dikontrol, akan menjadi bumerang bagi mereka yang saat ini sedang giat-giatnya berpraktek atas nama demokrasi palsu ini.

Trias politika, sebagaimana dipahami universal, adalah pembagian kewenangan secara jelas antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Inilah bayangan ideal pembentukan negara, dimana ada keseimbangan antara lembaga kekuasaan [pemerintah], lembaga pengawasan [dpr, mpr, dpd] dan lembaga hukum [ma, ky, mk]. Sayangnya di Indonesia, keseimbangan itu ditiadakkan. Peran MK dibuat menjadi banci, sama dengan peran MA yang juga banci.

Militerisasi Politik

Dalam kasus Pilkada DKI, masuknya militer aktif kedalam bursa Pilkada DKI, bagi saya, sudah sangat jelas menunjukkan pesan politik kepada rakyat bahwa: militerisasi politik sedang terjadi. Saya tidak mampu membayangkan seorang Fauzi Bowo berkencan dengan Jendral Priyono atau sebaliknya Jendral Adang Dorodjatun yang Polisi bisa masuk kedalam bursa Pilkada DKI.

Pesan yang demikian jelas melalui fenomena Pilkada DKI mengingatkan kita hari ini bahwa semangat reformasi 1998 sedang mengalami masa-masa paling suram. Bukan tidak mungkin, Pilkada DKI akan memperkuat posisi politik kelompok militer [TNI/Polri]. Dengan demikian, militer secara sadar masuk kedalam wilayah politik.

Harapan reformasi yang demikian luhur, dikhianati hanya karena politik bagi-bagi kekuasaan yang masih mau dilakukan oleh TNI secara institusi dengan pihak politisi sipil.

Dwi Fungsi kembali bangkit? Pertanyaan ini wajib dijawab oleh semua pihak yang bertanggung jawab atas reformasi 1998 dan juga para pihak yang sudah terlanjur masuk kedalam jibaku politik elit sehingga mengorbankan tuntutan-tuntutan utama reformasi 1998.

Oligarki Demokrasi
Kini hampir semua partai besar di Indonesia mengklaim diri sebagai yang paling demokratis. Bahkan pemimpin-pemimpn politik Indonesia hari ini mengatakan bahwa demokrasi telah berjalan sesuai amanat reformasi 1998, buktinya adalah: Pilpres 2004 secara langsung, Pemilu Anggota Legislatif, pembentukan perangkat-perangkat lembaga Yudikatif seperti MK, KY, KPK, dan beberapa lain.

Sayangnya, peran Yudikatif yang masih mengambang dalam konteks Trias Politika di Indonesia, menyebabkan banyak kasus hukum besar yang melibatkan sejumlah kader partai-partai besar lebih banyak dikompromikan secara politis dan bukan diselesaikan melalui mekanisme hukum positif yang berlaku universal atau bahkan seperti yang diatur oleh KUHP.

Pertanyaannya adalah: inikah bayangan demokrasi yang kita sama-sama kehendaki? Pembagian peran yang tidak jelas antara Eksekutif [Presiden] dan Legislatif [DPR] dengan Yudikatif [MA] menyebabkan logika penyelesaian hukum lebih banyak diselesaikan menurut logika politik dan itu berarti, keadilan hukum lebih banyak dikompromikan melalui "keadilan politik." Jika sudah begitu tentu yang terjadi adalah kemenangan ada dipihak partai dan kader-kader partai tentu akan selamat jika mereka tersandung dugaan korupsi, sebagai contoh saja. Bagai kasus Lapindo? Ichal masih tetap santai menjabat sebagai Menko Kesra, sementara ribuan rakyat porong hidup tak tentu nasibnya.

Amien Rais bisa bebas jalan diamana saja, karena umpan baliknya mengenai dugaan korupsi dana-dana non bujeter milik DKP yang dikorupsi milyaran rupiah oleh sebagian besar elit politik Indonesia pada masa kampanye Pilpres 2004 tidak diselesaikan secara tuntas.

Kini elemen-elemen orde baru yang sudah mereinkarnasi itu kembali menyedot perhatian politik rakyat ke arah keinginan mereka dan kerja mereka selalu berhasil dalam hal membohongi rakyat kecil.

Rakyat Jadi Korban
Dalam catatan BPS, 6 Juta KK di Indonesia hari ini tergolong tidak memiliki rumah alias homeles people, itu berarti jika dalam satu keluarga, memiliki 5 anggota keluarga, secara matematis dapat kita pastikan 30 juta rakyat miskin tidak memiliki rumah yang layak untuk ditempati. Artinya 30 juta orang Indonesia saat ini tidak punya rumah dan mereka itu adalah kelompok masyarakat yang hidup pasca krisis moneter 1995-1998.

Puluhan ribu rakyat di Porong, Sidoarjo, nasibnya tidak mampu diselesaikan secara bijaksana, rakyat dibairkan berjibaku dengan masalahnya sendiri. Posisi rakyat dibuat mengambang, sama seperti aliran lumpur panas lapindo yang kian menggila dikawasan Sidoarjo. Siapa yang mau secara elegan mengakui kesalahannya dan bertindak bijak untuk menyelesaikan secara tuntas masalah lumpur lapindo? Jawaban pas mungkin sebaiknya keluar dari SBY-Kalla dan Aburizal Bakrie.

Bagaimana pula dengan nasib petani di Grati yang dibedil TNI? Nasib petani yang tertembak itu dibiarkan tidak jelas, bahkan Komnas HAM menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Grati bukanlah pelanggaran HAM.

Inilah sebuah paradoks yang tercipta ditengah begitu banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas, termasuk didalamnya praktek-praktek pelanggaran HAM di Papua selama 43 tahun “integrasi.” Karena integrasi paksaan, maka integrasi paksaan itu perlu dijaga dengan bedil dan bayonet.

Dalam kasus Grati, pertanyaan saya adalah: berdasarkan ukuran mana Komnas HAM mengatakan bahwa kasus Grati bukan kasus pelanggaran HAM? Apa sesungguhnya peran Komnas HAM bagi rakyat? Apa masih perlu kita memakai sebuah institusi yang bernama Komnas HAM untuk meperjuangkan penegakkan HAM di Indonesia? Bak panggang jauh dari api, demikian pula Komnas HAM. Ia tidak lebih dari sebuah lembaga yang melegalkan pelanggaran HAM.

Bagaimana dengan rakyat Papua?
Saya di Papua juga punya banyak masalah: OTSUS yang gagal dilakukan, penerapan hukum yang main tebang pilih, illegal logging yang tak terkontrol, illegal fishing yang juga tak terbendung sampai pada illegal mining yang sudah mencerabut akar-akar budaya, sosial dan ekonomi rakyat di Papua.

Penambahan militer dengan jumlah yang tidak terhitung, terus terjadi, seiring menguatnya gejolak politik di Tanah Papua.

Saya kembali membayangkan Daerah Operasi Militer [DOM] yang terjadi pada tahun 1978 - 1998 di Papua. Bayangan kekerasan militer yang begitu kejam, kembali terimajinasi dihadapan pikiran saya ketika saya melihat proses-proses politik yang kian memanas di Tanah Papua.

Proses-proses pemekaran propinsi dan kabupaten di Tanah Papua adalah logika politik teritorial TNI yang sukses dirasuki kedalam pikiran segelintir kecil pemimpin lokal Papua yang haus kekuasaan, dan yang hari ini tengah berlomba-lomba mengajukan proposal pemekaran kepada Jakarta sebagai proyek bagi-bagi kekuasaan diantara kelompok komprador borjuasi yang secara politis yang menguat di Papua.

Seperti diketahui, operasi militer di Tanah Papua dimulai secara de facto pada waktu bermulanya pendudukan Indonesia atas Tanah Papua pada tahun 1963 dan berlaku makin represif ketika secara de jure operasi militer dijalankan pada tahun 1978 hingga tanggal 5 Oktober 1998 (20 tahun) ketika dicabut akibat desakan reformasi yang kuat.

Kini Koter diperkuat kembali oleh TNI dengan alasan untuk meredam potensi terorisme di Indonesia. Alasan kedua yang tidak tersirat dari kebijakan TNI mempertahankan koter adalah untuk merepresi kekuatan kritis rakyat diwilayah konflik seperti Tanah Papua.

Dalam jawaban tertulisnya kepada Komisi I, saat digelar rapat dengar pendapat dengan pihak DPR-RI (27/2/2007), KSAD Jendral Djoko Santoso menekankan upaya mengoptimalkan keberadaan bintara pembina desa (Babinsa) sebagai "mata dan telinga" dalam mengumpulkan keterangan, khususnya dalam penanganan ancaman terorisme (Kompas, 28/2/2007).

Gejolak Papua yang tak kunjung padam melegalkan kehadiran militer Indonesia kedalam wilayah ini sehingga secara pasti memulai kembali pola Daerah Operasi Militer [DOM] seperti yang telah diterapkan mereka pada tahun 1978 – 1998. Sekedar catatan tambahan, represi militer Indonesia di Papua sama persis dengan jaman dimana DOM terjadi untuk kali pertama yaitu antara tahun 1978 – 1998. Pasca kematian Alm. Theys Hiyo Eluay, represi militer di Papua justru semakin tajam dan meningkat drastis.

Saya kembali mengutip Bung Hatta;

"Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.... Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib." Deliar Noer dalam bukunya "Mohammad Hatta: Biografi Politik" yang diterbitkan oleh LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505.

Dengan demikian, apa yang diperjuangkan rakyat Papua, tentu harus bisa diterima kelompok lain di Indonesia, jika benar-benar menghargai kebebasan berpendapat dan kebebasan berpolitik. Termasuk hak untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Sama seperti masyarakat Jakarta yang tanggal 8 Agustus nanti melaksanakkan hak politiknya.

Read More...

Saturday 21 July 2007

Front PEPERA PB Dalam Aksi

 
 
 
 

Posted by Picasa

Read More...

Tuesday 17 July 2007

NKRI Harga Mati! [Kritik Untuk Harian Kompas-Bagian I]

Salam,

Terima kasih, saya mendapat feed back yang baik dari beberapa rekan. Saya kira usulan Mas Stepanus dan Bung Patrick relevan untuk dipertimbangkan oleh sebuah harian berita sekaliber Kompas ini. Saya kira, teman-teman di Kompas juga masih memiliki hati nurani, walaupun kadang-kadang hati nurani itu dihadapkan langsung dengan kepentingan "pasar" dan "pemerintah."

Inilah yang menjadikan Kompas, sebagai salah satu media main stream, saat ini, sudah banyak diprotes, bukan oleh saya, tetapi oleh pembaca maupun oleh rekan-rekan wartawan lain, yang beranggapan bahwa Kompas lebih memihak "pemilik modal" atau Kompas lebih memihak pada mereka yang "memasang iklan" dan bukan kepada pembacanya, apalagi rakyat miskin.

Saya tidak berharap bisa mengubah paradigma itu di Kompas, itu hak yang wajar, sewajarnya sebuah institusi bisa maju diengah pesatnya neo-liberalisme yang makin menggila. Saya kira itu juga pilihan Kompas atau manajeman Kompas untuk menghidupi ribuan karyawan atau buruhnya. Itu wajar. Itu logis.

Tetapi, saya, sejak awal hanya hendak kritik atau kasih teguran buat Kompas, supaya Kompas, paling tidak sebagai sebuah media yang besar, juga bisa menerima masukan atau opini dari orang-orang pinggiran seperti saya dan atau rakyat Papua pada umumnya, yang "JAUH DI MATA, JAUH JUGA DIHATI!"

Kejauhan kami dari hiruk pikuk politik nasional, menenggelamkan kami dipusaran dugaan tak beralasan, yang dengan sengaja dan sadar dibangun oleh mesin-mesin negara [TNI/Polri/BIN/BAIS, Birokrasi Sipil dari Pusat Sampai Daerah] untuk tetap mempertahankan "NKRI Harga Mati!" Untuk tetap mempertahankan sebuah "Pencurian Sumber Daya Alam Papua" tanpa kita sebagai orang Papua pemilik langsung atas sumber-sumber itu dilibatkan, kecenderungan yang terjadi malah sebaliknya: diabaikan, dikucilkan, ditindas, diusir dari Tanah-Tanah Adatnya, ditembaki, dipenjara, dibunuh, dll.

Itu masalah besar sudara2. Ini maslah besar bagi saya dan juga 2,5 juta orang yang hari ini hidup di Tanah Papua. Banyak cerita memilukan, yang jika diungkapkan satu per satu, akan menguak begitu dalam luka jiwa saya. Saya seorang pemuda yang tidak bisa tinggal tenang meilihat situasi ini.

Saya baru berusia 28 Tahun saat ini, dan selama 28 tahun kehidupan saya di Tanah Papua dan atau di Indonesia, saya diajarkan oleh hidup. Saya dibesarkan oleh sebuah nilai yang bernama: PENJAJAHAN! Ketika saya memperolah cukup ilmu untuk melawan sitem yang menindas, maka saya dengan sepenuh jiwa mengambil jalan itu, bahkan saya adalah orang yang paling dicari-cari selama ini oleh Polda Papua karena dituduh terlibat dalam peristiwa Abepura Berdarah, 16 Maret 2006.

Beruntung saya masih memiliki sejumlah kawan, saya masih memiliki sejumlah sahabat yang dengan lapang dada menerima saya dan yang mendengar keluh kesah saya, bisa menerima saya ketika saya sedang bersusah hati, bisa memberi ketika saya meminta, bisa memberi saya harapan untuk hari ini hidup. Untuk mereka, saya tidak bisa berkata apa-apa, saya menyimpan tindakan mereka dalam relung jiwa saya yang paling dalam, ungkapan terima kasih saya, hanya bisa saya katakan lewat hubungan kita yang saya akan tetap abadi, sampai suatu ketika yang punya hidup memanggil saya untuk menghadap hadirat-Nya.

Saya sorang pemuda yang sudah lebih 15 tahun tidak bertemu Ibu kandung saya, hanya karena sebuah cita-cita perjuangan yang belum tuntas saya lakukan. Tapi Ibu yang juga setia itu, yang sudah dua kali saya bicara langsung dengannya melalui telepon, dia-lah yang terus memberi semangat agar saya tetap bertahan hidup dan berjuang untuk menggapai kebebasan sejati: PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA! Ya, berjuang! Berjuang MENGGAPAI MATAHARI YANG BELUM TERGAPAI.

Salam Dari Timur!

Papuan Diary
Aku Akan Tetap Menulis!

-----------------------
Feed Back:

--------------------
Bung Patrick [1]
-------------------

Pak Stephanus Mulyadi Yang Terkasih,

Sebelumnya mohon maaf lho Pak, saya juga sangat sepakat dgn opini Bpk. Percaya atau tidak, saya dibesarkan di luar Jawa, dan ketika berada di Jawa, baru saya saksikan dgn mata kepala sendiri betapa pembangunan di Indonesia terpusat di pulau yg miskin sumber daya alam ini (bila dibandingkan dgn pulau-pulau besar lainnya).

Dan, saya juga sepakat dgn opini Bpk, pendekatan utk mengatasi separatisme yg berorientasi "security first" (menekankan pada stabilisasi politik-keamanan, pertahanan negara, dll) sudah TIDAK ZAMANNYA LAGI!

Jadi, mari kita katakan SONTOLOYO kepada org yg berkata, Mari Tumpas Gerakan Separatisme (dan seruan yg sejenisnya)!!!

Padahal, konsepsi keamanan (security) tidak hanya berkutat kepada aspek militer semata!! Aspek non-militer (kesejahteraan/ekonomi, sosial-budaya, diplomasi, dll) juga merupakan bagian dari keamanan!!!!

Saatnya utk berkata, mari atasi separatisme dgn pendekatan yg berorientasi kpd "human security first"!! "human security"?
Yaa..human security...pendekatan yg jauh melampaui orientasi keamanan (baca: politik & militer)!!!

Salam hangat,

Patrick Hutapea

--------------------
Bung Patrick [2]
--------------------


Pak Mulyadi,

Sepertinya sudah jelas tuhh...ada rakyat di Papua yg ingin merdeka!! Tidak perlu diperjelas lagii...

Kita yg di Jawa ini saja yg masih butuh penjelasan! Bagi mereka, sudah jelas kok!!

Bila memang ingin melihat masalah dari sudut pandang rakyat Papua, pikirkan seperti ini: Kenapa hampir semua pembangunan berpusat di Pulau Jawa? Ya..pulau Jawa....Bayangkan, semua universitas terbaik ada di Jawa...Hampir semua uang yang beredar di Indonesia beredar di Jawa...Jelas bukan??

Sedangkan, sumber-sumber daya alam di Jawa, masih kalah jauh dengan Papua, Kalimantan, dsb...

Sederhana khn? Tidak usah menggunakan penjelasan lagi! Seperti kata Gus Dur, "gitu aja kok repot!"

Salam,

Patrick Hutapea

-----------------------------------
Bung Stephanus Mulyadi [1]
-----------------------------------

Rekan Patrick,

Bagi mereka yang di Papua, di Maluku, di Aceh, di Kalimantan, dan di mana lagi, memang sudah jelas, mengapa mereka ingin merdeka. Bagi mereka memang tidak diperlukan penjelasan lagi. Saya juga tidak bilang bahwa bagi mereka belum jelas, mengapa mereka ingin merdeka, dan karena itu butuh penjelasan.

Saya mendukung rekan Papuan Diary untuk memberikan penjelasan menurut sudut pandang mereka. Dan penjelasan itu ditujukan pada orang-orang yang masih butuh penjelasan: mengapa mereka yang di luar Jawa ingin merdeka. Mungkin sebagian orang-orang yang butuh penjelasan ini berada di Jawa, seperti rekan Patrick katakan. Kepada mereka ini perlu diberikan penjelasan.

Selama ini penjelasan yang ada justru berasal dari orang-orang yang di Jawa, yang, seperti Patrick katakan, masih butuh penjelasan. Orangnya saja masih butuh penjelasan (belum mengerti dengan jelas permasalahannya?), kok malah gaya-gaya kasih penjelasan, kasih opini dan dimuat di koran-koran dan TV. Orang gak ngerti permasalahan malah kasih penjelasan, ya penjelasannya: kalau tidak nagwur ya ngasih opini sesuai dengan isi perutnya saja. Akibatnya permasalahan di daerah tak pernah terselesaikan dengan baik.

Selama ini saya membaca penjelasan mereka yang di Jawa itu sebenarnya bukan memberikan penjelasan, tetapi lebih memberikan PENGADILAN, sepihak, bahwa keinginan merdeka dari rekan-rekan di luar Jawa dinilai sebagai tindakan yang salah dan karena itu harus DITUMPAS! Lihat kata-kata yang dipakai: " DITUMPAS!"

Rekan Papuan Diary berusaha menjelaskan keinginannya untuk merdeka, ya berikan peluang padanya. Mungkin apa yang rekan Patrick katakan itu benar, tapi sekali lagi, itu kan menurut Mas Patrick, yang ada di Jawa.

Ini juga masalah, sering kali orang di Jawa merasa sudah tahu permasalahan di daerah, dan coba merumuskan permasalahannya. Sebagian mereka bisa merumuskannya dengan benar, tapi banyak yang tidak! Masalahnya di mana? Masalahnya terletak pada: mereka ini tidak mampu merasakan seperti apa perasaan orang di luar Jawa ketika menerima perlakuan sebagian orang dari Jawa selama ini terhadap mereka, terutama atas pembangunan dan penikmatan hasil kekayaan alam di luar Jawa.

Untuk rekan Papuan Diary,
bicaralah Papuan Diary. Ungkapkan perasaan Anda. Tuliskan opini Anda. Anda bisa bicara sendiri, tidak perlu diatasnamakan oleh orang yang di Jawa.

Untuk Mas Patrick: mungkin baik Anda baca lagi tulisan dari Papuan Diary, dalam konteks apa dan mengapa dia meminta pada Mas Agus untuk diijinkan menulis opini versi dia di FPK/Kompas.

Marilah kita belajar "mau repot" dengan persoalan yang dihadapi oleh rekan-rekan kita.

Salam dari luar Jawa

Mulyadi
----------------------------------
Bung Stephanus Mulyadi [2]
-----------------------------------

Rekan Papuan Diary,

Saya kira Mas Agus akan menerima opini Anda kalau dituliskan di FPK [Forum Pembaca Kompas]. Tuliskan saja. Memang seharusnya juga juga opini dari sudut pandang teman-teman dari Papua. Terutama mengenai apa yang dimaksud dengan "PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA ADALAH HARGA MATI!" atau "MERDEKA" dari sudut pandang rekan-rekan dari Papua. Dengan demikian masalahnya menjadi jelas.

Dengan masalah yang jelas barangkali kita dapat memikirkan lebih lanjut apa yang terbaik kita lakukan bersama.

Salam
Mulyadi

Read More...

Thursday 12 July 2007

Akar Masalah Papua: Tinjauan Historis dan Theologis


* Ditulis oleh: west_papua@yahoo.com

Perlu Saudara-saudara ketahui bahwa Akar Pokok Permasalahan di Papua adalah Bukan Masalah Kesejahteraan tetapi Masalah Sabotase wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia terhadap Belanda.

Yang mana, Papua adalah salah satu wilayah Dekolonisasi yang telah dipersiapkan Belanda untuk Merdeka di kemudian hari seperti beberapa wilayah di daerah Pacific seperti Australia, Papua New Guinea, Fiji, Vanuatu, dll.

Faktor inilah yang menyebabkan sehingga Belanda harus kembali ke West Papua dan Inggris kembali ke Papua New Guinea setelah mengalahkan Jepang melalui Perang Dunia Ke-2 di Kawasan Pacific yang dibawah pimpinan Jenderal Mc. Arthur.

Mengapa Belanda ingin kembali juga ke Indonesia?

Itu disebabkan karena Inggris juga telah kembali ke daerah jajahannya seperti Hongkong, Malasya, Australia, Papua New Guinea, Vanuatu, dll. Belanda tak dapat masuk pada waktu itu karena masih ada Penjajah Jepang. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, lalu Belanda berusaha mencoba kembali melalui Agresi Militer Belanda II tetapi gagal karena Indonesia telah dimemerdekakan oleh Jepang dan didaftarkan menjadi anggota PBB yang ke-60.

Setelah Indonesia Merdeka, lalu Soekarno melihat bahwa Pulau Emas (Isla Del Oro) yang dikatakan oleh pelaut Spanyol Antonio Del Savera harus kita rebut dari Belanda dan sekalian kita jadikan sebagai Pertahanan NKRI dari arah Timur.

Pulau Emas inilah yang menyebabkan seluruh Bangsa-Bangsa di Dunia termasuk Indonesia ingin merebutnya. Dimanakah pulau emas itu? Pulau Emas itu adalah Papua (West Papua dan East Papua).

Oleh karena itu, Soekarno menggunakan alasan sama-sama daerah Jajahan Belanda jadi itu adalah wilayah Indonesia. Padahal waktu Proklamasi maupun Sumpah Pemuda hanya mencakup wilayah Aceh sampai Maluku.

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, kemudian Soekarno melobi ke Perwakilan PBB tahun 1946 tetapi tidak mendapat dukungan karena wilayah Papua (Papua New Guinea dan Papua Barat) lagi dipersiapkan Belanda dan Inggris untuk berdiri sendiri (Merdeka penuh).

Tetapi Soekarno tetap berjuang terus dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 pada waktu itu juga, dan juga pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 di Den Hag Belanda.

Di KMB, Indonesia mendapat titik terang karena Belanda berjanji akan diselesaikan 1 tahun kemudia karena daerah Papua Barat (West Papua) masih dalam Status Quo (Daerah Yang Belum Jelas Pemerintahannya).

Tetapi setelah satu tahun kemudian (Tahun 1950), justru Belanda tetap dengan Konsistennya untuk mempersiapkan Kemerdekaan Papua sehingga Soekarno tetap geram dan berjuang terus melalui Forum-Forum Internasional seperti Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1950. Dan bahkan ke Forum Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB). Tetapi sayang, Soekarno tetap tidak mendapat dukungan juga dari pihak Internasional.

Kemudian pada tanggal 1 Desember 1961, Perwakilan Rakyat Papua Barat yang duduk dalam Niuew Guinea Raad (Seperti MPR Indonesia) memproklamasikan Kemerdekaan Papua secara Defacto (Kenyataan) dan rencana secara Dejure (Hukum) nanti pada tahun 1970.

Tetapi hal ini tidak diterima baik oleh Indonesia. Oleh karena itu, Soekarno didesak untuk mengumandangkan TRIKORA (Tri Komando Rakyat) 18 hari kemudian setelah Proklamasi Negara Papua Barat ini, yaitu pada tanggal 19 December 1961.


Kemudian dibentukla Komando Mandala yang dipimpin oleh Major Jenderal Soeharto, untuk melakukan Operasi Penyusupan dan Operasi Mandala ke Papua Barat. TRIKORA telah diumumkan tetapi senjata tak ada karena Australia, Amerika, Inggris, Perancis (Seluruh Sekutu Belanda) tak mau memberikan senjata kepada Indonesia. Akhirnya Soekarno lari ke Rusia dan membeli senjata di sana, tetapi tetap tak mampu melawan Belanda karena peralatan Belanda lebih canggih apalagi diturunkannya kapal Induk Karel Doorman yang telah menenggelamkan kapal Yosudarso.

Akhirnya, Soekarno mencari jalan lain untuk melumpuhkan Belanda di Tanah Papua yaitu melalui Pembentukkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Makanya Belanda terpaksa harus segera meninggalkan Papua karena mendapat tekanan dari rekan sekutunya yaitu Amerika melalui Presiden John. F. Kennedy. (Lihat Surat Kennedy di http://www.freewestpapua.org/docs/kennedyletter.htm).

Kennedy pun diberi jaminan oleh Indonesia untuk menanam Saham di Papua bila daerah tersebut dikuasai oleh Indonesia. Oleh sebab itu, diutuslah mantan DUBES AS di India sebagai penengah antara Indonesia & Belanda yaitu Mr. Elsworht Bunker.

Maka lahirlah usulan yang dikenal yaitu Usulan Bunker, antara lain : Belanda Menyerahkan Administrasi Negara Papua Barat kepada Indonesia melalui suatu badan PBB (Yaitu UNTEA - United Nation Temporary Authority), dan Administrasi Negara Papua akan diatur dan diurus oleh Indonesia hanya selama 25 tahun saja, setelah itu Indonesia akan memberikan Referendum kepada Rakyat Papua untuk Menentukan Nasibnya Sendiri (Apakah tetap dengan Indonesia atau lepas berdiri sendiri).

Dari usul inilah, sehingga melahirkan Perjanjian New York (New York Agreement) yang ditandatangani di Markas Besar PBB pada tanggal 14 Agustus 1962 dan Perjanjian Roma (Rome Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 30 September 1962 di Italia.

Yang mana, Perjanjia New York mengurus tentang Proses Peralihan Administrasi Negara Papua dari Belanda ke UNTEA tahun 1962 kemudian diberikan lagi kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.

Sedangkan Perjanjian Rome yang berbunyi sebagai berikut :

1. Referendum atau yang dikenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang direncakan pada tahun 1969, dibatalkan saja atau bila perlu dihapuskan.

2. Indonesia mengatur dan mengurus Papua hanya selama 25 tahun saja, terhitung mulai tanggal 1 Mei 1963.

4. Hasil PEPERA diterima di muka umum sidang PBB tanpda ada perdebatan.

5. Amerika berkewajiban untuk menanam Sahan di Papua Barat demi kemajuan daerah tersebut.

6. Indonesia akan mengirimkan Transmigrasi ke daerah Papua untuk Assimilasi dan Perkembangan Pembangunan.

**************
Oleh sebab itu, Belanda terpaksa meninggalkan Papua pada Oktober 1962 dan diganti oleh Pasukan UNTEA. Selama keberadaan UNTEA di sana (Papua) pun tetap diserang oleh rakyat Papua. Contohnya penyerangan Marka UNTEA di Manokwari pada bulan Februari 1963 yang dipimpin oleh Sergean PVK (Papoea Vrijwilleger Korps) Permenas Ferry Awom dan Papuan Police yang dipimpin oleh Yohanes Jambuani.

Ketika dikumandangkan TRIKORA juga banyak menyebabkan korban rakyat Pribumi Papua yang dibunuh oleh Militer Indonesia. Setelah dikuasai pun juga banyak terjadi Pembunuhan Masal Rakyat Pribumi Papua oleh Indonesia.

Setelah masuknya Indonesia tanggal 1 Mei 1963, Papua langsung diberi Otonomi Khusus oleh Soekarno tetapi dicabut lagi oleh Soeharto tahun 1966 melalui Ketetapan MPRS no.21. Tahun 1966.

Apalagi menjelang tahun 1965 setelah terjadi penyerang Marka Arfai (Ex. Marka PVK) yang hingga menyebar ke seluruh daerah kepala Burung (Vogel Kop) yaitu Manokwari, Sorong, Ayamaru, Kebar, Saukorem, Sausapor, Makbon, Ransiki, Merdey, Anggi, Menyambou, dll.

Akibat inilah yang menyebabkan hingga penduduk Pribumi Papua telah menjadi berkurang hingga saat ini.

Selain itu, masih banyak lagi Operasi-operasi Militer Indonesia lagi yang menewaskan ratusan ribu rakyat Pribumi Papua. Kemudian lebih parah lagi menjelang diadakannya PEPERA tahun 1969 - 1984. Akibatnya banyak Rakyat Papua yang memilih untuk melarikan diri ke Luar Negeri.

Hari berganti hari, tahun berganti tahun, turun temurun hingga anak cucu orang Papua pun bahkan menjadi lebih dendam. Apalagi ditambah dengan adanya penyebaran Virus HIV/AIDS di Papua. Itul merupakan salah satu bukti terjadinya Genocide di Papua.

PEPERA pun akhirnya tidak diijinkan oleh Indonesia dan Amerika untuk memilih sesuai mekanisme/prosedur Internasional yang seharusnya Satu Orang Satu Suara (One Man One Voute) tetapi diubah menjadi sistem perwakilan.

Dimana dibentuknya Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) yang mana pesertanya adalah Tokoh-tokoh Adat Papua yang dipilih dan ditunjuk dibawah penodongan senjata oleh Militer Indonesia melalui Organisasi Inteligen KOSTRAD yang diberi nama OPSUS (Pimpinannya adalah Ali Murtopo).

Makanya Kontrak Kerja PT. Freeport pun ditandatangani pada tahun 1967 ( sebelum Referendum tahun 1969).

Akhirnya Papua Barat berhasil dikuasai oleh Indonesia, dan Pembangunan pun diadakan dengan setengah hati oleh NKRI karena Daerah ini masih tetap berada dalam Status Quo di NKRI. Buktinya, setelah PEPERA pun belum ada Ketetapan MPR atau Undang-Undang yang Mensahkan masuknya Papua ke dalam NKRI. Sedangkan Timor Leste saja disahkan oleh Ketetapan MPR tetapi setelah Merdeka lalu dicabut Ketetapan tersebut.

***************

Demikian hingga saat ini, Papua tak akan pernah tinggal diam di atas Kekayaan Alamnya yang telah diberikan Tuhan Allah.

Ulangan 27:15-26

27:15 "'Terkutuklah orang yang membuat berhala dan menyembahnya, ataupun menyimpannya -- apakah berhala itu terukir dari kayu ataupun terbuat dari logam tuangan -- karena patung-patung berhala itu sangat dibenci oleh TUHAN, dan buatan tangan manusia.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:16 "'Terkutuklah orang yang memandang rendah ayahnya dan ibunya.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:17 "'Terkutuklah orang yang menggeser batas tanahnya dan batas tanah sesamanya.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:18 "'Terkutuklah orang yang menuntun orang buta ke jalan yang sesat.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:19 "'Terkutuklah orang yang berlaku tidak adil terhadap orang asing, anak-anak yatim piatu, dan para janda.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:20 "'Terkutuklah orang yang bersetubuh dengan istri ayahnya karena perempuan itu milik ayahnya.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:21 "'Terkutuklah orang yang bersetubuh dengan binatang apa pun.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:22 "'Terkutuklah orang yang bersetubuh dengan saudara perempuannya -- saudara kandung ataupun saudara tiri.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:23 "'Terkutuklah orang yang bersetubuh dengan mertuanya.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:24 "'Terkutuklah orang yang membunuh sesama manusia walaupun secara tersembunyi.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:25 "'Terkutuklah orang yang menerima suap untuk membunuh orang yang tidak bersalah.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'

27:26 "'Terkutuklah orang yang tidak menaati hukum-hukum ini.' Lalu segenap bangsa itu harus menjawab, 'Amin.'"

Read More...

Perlawanan Rakyat Papua Dalam Foto

Banyak rakyat di Indonesia tidak memahami dengan benar apa yang diperjuangkan rakyat Papua. Jauh sebelum perebutan Papua Barat antara Indonesia Vs Belanda, rakyat Papua sudah melakukan upaya-upaya perjuangan Pembebasan Nasional.

Berikut ini saya tampilkan foto-foto pengibaran bendera nasional Papua Barat, yaitu Bendera Bintang Kejora, yang diabadikan oleh seorang kawan, dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional Papua Barat pada tanggal 1 Juli 2007 lalu.

---------------


-------------


-------------


------------------
Foto-foto lain akan saya tampilkan, hanya untuk memberikan gambaran bahwa perjuangan Papua, tidak dilakukan oleh segelintir orang, ia merupakan sejarah yang sudah menyatu ditengah kehidupan kolektif rakyat Papua.

Read More...

Tuesday 26 June 2007

Jalan Bebas Yang Berliku!

Slamat siang Mama! Apa kabar? Wah…lama tidak ketemu Mama. Beberapa hari terakhir saya harus berjibaku dengan urusan-urusan lain yang juga penting untuk kita. Saya punya cerita menarik hari ini, kita sharing ya? Tapi nanti ya, biar itu jadi penutup diskusi kita siang ini Mama. Saya mau kasih kesempatan untuk mama, biar Mama juga bisa kasih tahu saya keadaan sesungguhnya di kampung. Apa yang sesungguhnya terjadi disekeliling Mama hari ini?

Banyak kabar tak sedap saya dapat. Saya mendengar raja-raja kecil hasil didikan neo-kolonial dan induk imperialis sedang menggerayangi bumi kita? Saya dengar kalau Mama sedang dijarah, dirampok, diperdaya oleh anak-anak durhaka yang Mama lahirkan, tapi tidak apa-apa, biar mereka menghianati Mama, biar mereka berbuat sesuka hati mereka hari ini, tapi tidak untuk hari esok! Anak-anak Mama yang lain masih tetap setia, masih mencintai Mama, mereka akan melakukan sesuatu yang berarti bagi Mama, mereka akan menghukum semua anak-anak yang mendurhakai Mama, itu pasti.

Mama tau tentang John Gluba Gebze kan? Itu salah satu anak yang Mama lahirkan, tetapi dia sudah tidak lagi berjalan sesuai dengan apa yang Mama harapkan. Saya dengar pada awal tahun 2007 lalu, dia membuat paket pembangunan ekonomi dan politik yang dia sebut Agro Bisnis, Agro Industri dan Agro Wisata. Dia sudah diperbudak modal asing, dia sudah diperbudak kaki tangan neo-kolonial yang sedang berkuasa hari ini, untuk memuluskan kehadiran dan cengkeraman imperialisme global diatas Tanah kita Mama. Mengerikan, ini sungguh kabar yang mengerikan bagi saya. Saya mau bergerak! Tapi Mama ingatkan?

Saya sudah bilang kemarin kalau “kemerdekaan” saya sebagai manusia sedang dirampas oleh mereka-mereka yang tidak menginginkan perubahan diatas Tanah kita Mama. Tapi saya janji, pasti saya akan ada disamping Mama ketika waktunya sudah tepat untuk mendorong sebuah proses perubahan yang radikal. Itu janji saya!

Saya merindukan kita pergi mancing bersama di Sungai Bian. Saya tahu, saat itu kalau kita dapat cukup banyak ikan, Mama pasti akan siapkan makanan yang nikmat, ada sagu bakar, ada ikan kuah kuning…wah lezat dan bergizi, saya tahu pasti, setiap masakan Mama memberi saya kekuatan baru untuk bertumbuh menjadi seorang manusia, manusia sejati, Anim Ha, itu bahasa kita Ibu, sekali lagi, Anim Ha!

Wah, itu sudah lama sekali waktu saya masih SD, sekitar tahun 1980-an. Mama sudah cerita pada saat itu terjadi pengungsian yang paling besar dalam sejarah bangsa kita Mama katakan pada saya saat itu banyak saudara kita menyeberang ke PNG karena peristiwa pembunuhan yang dilakukan Kopassandha atau Kopasus terhadap salah satu budayawan kita yang paling kita hormati: Alm. Arnold Ap.

Mama menangis waktu menceritakan pengalaman itu kepada saya, ya, saya pahami luka bathin yang mama derita, begitu juga saya, tapi saya tidak boleh terbawa emosi, saya harus kuat untuk tetap melanjutkan perjuangan sama seperti yang dilakuakan Alm. Arnold Ap.

Sampai saat ini, saya mencatat, kurang lebih 30.000 jiwa rakyat kita ada disepanjang perbatasan Papua dan PNG, dari Kiungga di selatan Papua, hingga Vanimo di utara. Kenapa mereka mengungsi? Banyak orang lain di Indonesia juga di Papua, terutama anak-anak muda yang lahir setelah peristiwa itu, tidak mengetahui secara pasti, tugas saya dan Mama adalah menjelaskan kepada mereka, apa yang terjadi, supaya generasi muda Papua yang lahir pada decade 1980-an bisa tahu banyak mengenai sejarah kita, juga buat rakyat Indonesia lainnya, supaya mereka juga pahami apa yang sesungguhnya terjadi di Papua.

Mama, saya mau kenalkan salah satu peneliti yang bekerja di LIPI [Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia], dia adalah DR. Ikrar Nusa Bakti, dia pernah meneliti mengenai pengungsi Papua di PNG pada tahun 1987, dan hasil penelitian itu dia buat disertasi mengenai ini dan akhirnya dia sekarang menjadi Doktor oleh karena peristiwa yang Mama ceritakan buat saya itu.

Saya kurang tahu mengapa disertasi itu tidak diterbitkan menjadi buku? Bukankah itu akan membantu memberikan pencerahan kepada rakyat Indonesia tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Papua.

Sudahlah, Mama, kita sudahi saja membahas masalah ini, orang-orang pintar di Indonesia adalah orang-orang pintar yang menjadi kaki tangan penguasa neo-kolonial dan agen imperialisme global, mereka tidak bisa berpikir bebas dan merdeka, kalau ini sudah menyangkut masalah kita Mama. Mereka alergi, mereka takut, mereka mencari aman, supaya tetap bisa hidup normal sebagai manusia, tapi manusia yang tak memiliki nurani.

Rupanya jalan bebas yang hendak kita lalui masih dihalang begitu banyak masalah, ada penghianat diantara kita Mama. Sebagian besar anak-anak yang Mama lahirkan diatas Bumi Papua telah menghianati Mama, coba Mama tengok si John Gluba Gebze di Maroke, dia sudah jadi hamba paling setia terhadap modal asing, coba Mama lihat Klemens Tinal di Timika yang jadi kaki-tangan Freeport, coba Mama lihat Kaka Bas di Port Numbay, apakah dia tetap setia pada Mama? Itulah mereka Mama, itulah anak-anak yang Mama lahirkan, tetapi juga yang membuat susah hidup Mama.

Oh, iya, Mama jangan lupa ya? Besok tanggal 1 Juli kita akan merayakan HUT OPM. Saya harus buat tulisan untuk momentum penting ini.

Sampai ketemu lagi Mama!

Read More...

Mungkinkah Krisis Ekonomi Kembali Melanda Indonesia?

Ditulis oleh: Hans Gebze*

Prediksi krisis ekonomi yang kini telah menjadi head-line diberbagai media massa Indonesia akhir pekan ini telah menjadi sesuatu yang sangat relevan untuk dibahas. Paling tidak sebagai suatu diskursus yang pantas kita bicarakan.

Seperti yang diungkapkan ekonom muda UGM, Dr. Sri Adiningsih -- dalam wawancara dengan KBR 68 H Jakarta, 14/05/2007 --, kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia dan terjadinya capital in-flow (investasi modal) besar-besaran beberapa waktu terakhir, bukan tidak mungkin akan memunculkan kembali krisis ekonomi yang akhirnya akan menyebabkan capital out-flow (penarikan kembali modal) oleh pemilik modal asing. Mengapa? Kekhawatiran itu wajar-wajar saja sebab kini, dalam beberapa pekan terakhir, nilai tukar euro sedang menguat terhadap nilai tukar dollar, barangkali saja krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1995 sebagai akibat menguatnya nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS kembali terulang.

Indonesia, ibarat kapal kecil yang sedang berlayar ditengah samudera, jika tidak berhati-hati, bisa saja kapal kecil ini mengalami karam atau collapse karena tidak dikendalikan oleh nahkodanya secara bijak. Kemungkinan munculnya krisis ekonomi akan kembali melanda Asia dan Indonesia serta Filipina menjadi negara yang sangat rapuh untuk diterjang badai krisis ini yang pada gilirannya akan memberikan efek domino bagi negara-negara lain di wilayah Asia.

Pernyataan Menteri Keuangan, Dr. Sri Mulyani, bahwa dikhawatirkan akan muncul kembali krisis ekonomi jilid kedua di Indonesia, sesaat setelah mengikuti pertemuan menteri keuangan se-Asia yang digelar di Kyoto, Jepang, kini menuai beragam tanggapan, baik dari rekan sekerjanya dalam tim ekonomi kabinet Indonesia bersatu, maupun praktisi dan pengamat ekonomi.

Dr. Budiono, Menteri Koordinator Ekonomi, rekan sekerja Mulyani, menampik secara tegas pernyataan menteri keuangan itu dengan mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih stabil, sektor real ekonomi tetap bergairah, defisit anggaran yang minim dan adanya surplus dalam cadangan devisa sehingga rakyat tidak perlu khawatir akan munculnya kembali krisis ekonomi jilid kedua. Factor positif fundamental ekonomi yang ditampilkan Budiono untuk menyanggah pernyataan Menteri Keuangan itu patut dipertanyakan.

Fuad Bawasir, mantan menteri keuangan pada jaman orde baru, mengatakan sinyalemen krisis ekonomi kedua, jika benar-benar terjadi akan berimbas lebih parah. Pada masa-masa terakhir orde baru, situasi ekonomi rakyat saat itu boleh dibilang baik dan stabil, rakyat masih bisa makan sehari tiga kali, pengangguran ada tapi jumlahnya kecil dan fundamental ekonomi Indonesia saat itu sangat stabil. Sehingga pada saat terjadi krisis ekonomi, memang terjadi anarki tetapi tidak terlalu parah.

Kondisi sebaliknya bisa saja terjadi jika krisis ekonomi jilid kedua benar-benar terjadi. Dapat dibayangkan, rakyat miskin yang digusur tiap hari dari gubuk-gubuk mereka, pedagang kecil yang diamputasi prospek usahanya oleh operasi pasar, pengangguran yang membludak, kemiskinan yang akut di Indonesia saat ini akan menyebabkan anarki yang lebih parah dari krismon 1997. Untuk menghindari kemungkinan krisis ekonomi ini, Fuad Bawasir mengatakan pemerintah SBY-Kalla harus melakukan reformasi APBN. Hal ini diungkapkan Fuad Bawasir pada saat diwawancarai RRI Pro 3 FM (14/05/2007).

Sinyalemen krisis ekonomi jilid kedua yang mulai ramai dibicarakan itu, bukan tidak mungkin menjadi suatu kenyataan. Barangkali juga harus diingat, Indonesia pernah memasuki krisis ekonomi mini ketika menguatnya nilai tukar dollar terhadap rupiah yang menembus angka 12 ribu pada bulan desember 2006 lalu. Suatu pesan akan kemungkinan muncul krisis ekonomi sudah jelas terbaca.

Pertarungan Hegemoni Internal Imperialis

Krisis ekonomi jilid pertama pada tahun 1995, ketika menguatnya nilai tukar yen Jepang atas nilai tukar dollar AS, berimbas secara langsung atas kondisi ekonomi Indonesia. Melemahnya nilai tukar rupiah menghantam sektor real ekonomi Indonesia. Seperti diketahui, Jepang adalah salah satu negara kapitalis yang menyumbang sebagian besar hutang luar negeri Indonesia disamping itu booming produk Jepang di Indonesia pada masa orde baru menyebabkan menguatnya nilai tukar yen atas dollar berimbas secara langsung terhadap melemahnya nilai tukar rupiah dan fundamental ekonomi Indonesia.

Pertarungan hegemoni internal dua induk kapitalis tadi (AS-Jepang) melalui nilai tukar mata uang mereka menyebabkan melemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi menghantam sektor real ekonomi menyebabkan terjadinya capital out-flow (penarikan atau pelarian modal keluar) besar-besaran dari para pemilik modal asing dan secara telak menghajar sistem moneter Indonesia dan menghadirkan badai krismon.

Menguatnya nilai tukar euro terhadap dollar beberapa pekan terakhir mengindikasikan pertarungan internal imperialisme (AS-Uni Eropa) yang pasti akan berimbas dan menghadirkan krisis ekonomi global seperti yang terjadi pada saat menguatnya nilai tukar yen terhadap dollar pada tahun 1995.

Apresiasi negatif terhadap nilai tukar rupee (India) dan bath (Thailand) yang mulai melemah terhadap euro dan dollar beberapa pekan terakhir bukan tidak mungkin akan berimbas pada terpuruknya nilai tukar rupiah yang pasti akan terjun bebas lagi seperti krisis moneter tahun 1997.

Intervensi Asing Terhadap RUU Penanaman Modal

Peran badan-badan multilateral seperti International Monetary Fund, World Bank dan Asian Development Bank, juga oligarki finansial kapitalis seperti Japan Bank for International Cooperation dalam mengintervensi pembuatan aturan baru penanaman modal di Indonesia menunjukkan betapa gencarnya asing mempengaruhi pemerintahan SBY-Kalla beberapa saat terakhir.

Kedatangan mantan PM Inggris Tonny Blair pada bulan maret 2006 -- beberapa saat setelah kedatangan Condoleeza Rice, Menlu AS -- pada saat menguatnya perlawanan rakyat terhadap keberadaan Freeport di Papua, Exxon-Mobil di Cepu dan Newmont, jelas bukan tanpa kepentingan. Kehadiran dua tokoh imperialis itu jelas sekali untuk mengigatkan pemerintahan SBY-Kalla akan komitmen mereka untuk menjaga kepentingan modal asing tetap beroperasi dengan aman. Perlawanan rakyat terhadap multi nationals corperation (MNC) dan trans national corporation (TNC) milik imperialis itu jelas mengganggu capital in-flow dalam bentuk export capital yang hendak dilakukan negara-negara kapitalis induk seperti AS, Inggris, Jepang dan juga Uni Eropa (UE) yang merupakan blok dagang negara-negara kapitalis Eropa.

Juga patut dicatat, pertemuan yang terjadi antara Jusuf Kalla dengan Lord Powell, utusan khusus PM Inggris, pada tanggal 13 Maret 2007 lalu di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Lord Powell mendesak pemerintah Indonesia segera menyelesaikan RUU Penanaman Modal. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut, diharapkan menjadi jalan keluar dari segala ganjalan investasi modal asing di tingkat pusat dan maupun daerah.

Alih-alih mensejahterakan rakyat, lewat kebijakan ekonomi yang demikian, pemerintahan SBY-Kalla justru membuat blunder dengan memudahkan semakin gencarnya investasi modal asing yang masuk tanpa bisa dikontrol dan pada akhirnya akan mengakibatkan capital out-flow jika benar-benar terjadi krisis ekonomi yang pasti akan semakin membuat susah kehidupan rakyat.

Prakondisi Krisis

Penerapan paket-paket politik neoliberal (neoliberal policy) sebagai akibat perjanjian-perjanjian bilateral maupun multilateral yang dilakukan pemerintahan SBY-Kalla dengan negara-negara kapitalis induk, disatu sisi memantapkan posisi negara-negara kapitalis induk melakukan ekspor modal mereka dalam bentuk investasi besar-besaran di Indonesia dan di sisi lain melemahkan fondasi ekonomi Indonesia.

Mengapa? Restrukturisasi ekonomi yang dianjurkan IMF selama ini hanya menyentuh reformasi ekonomi dibidang perbankan saja yang merupakan sektor tidak real dalam ekonomi. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah memulihkan serta menstabilkan sektor ekonomi real dan memasifkan proses industrialisasi yang secara pasti akan membuka peluang kerja bagi pengangguran terbuka yang masih banyak saat ini akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia 10 tahun lalu. Akibatnya Indonesia sulit menyembuhkan luka krisis ekonomi telah diderita dan semakin memperbanyak pengangguran terbuka yang pada akhirnya semakin banyaknya jumlah rakyat miskin.

Kepentingan IMF merestrukturisasi kebijakan moneter Indonesia adalah untuk memudahkan monopoli oligarki capital finance dalam menginvestasikan modal-modal pasif yang mereka miliki untuk diaktifkan dalam sistem perbankan Indonesia. Dengan begitu akan mengurangi factor over produksi modal negara-negara kapitalis induk dalam rangka meminimalisasi krisis internal didalam negara mereka sendiri sambil menarik keuntungan berlipat akibat aktivasi modal mereka melalui sistem perbankan Indonesia tadi. Metode yang sama juga dipakai oleh negara-negara kapitalis induk dalam kebijakan ekonomi mereka terhadap dunia ketiga.

Mengapa selama 10 tahun terakhir lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank atau juga oligarki capital finance seperti Japan Bank for International Cooperation hanya memperhatikan dan memberikan support bagi pemulihan ekonomi dibidang moneter saja? Jawabannya sederhana. Modal yang diinvestasikan oleh negara-negara kapitalis induk melalui sistem perbankan Indonesia, suatu saat jika terjadi krisis ekonomi akan mudah ditarik kembali dalam bentuk capital out-flow.

Capital out-flow sangat mudah dilakukan, karena tidak ada modal yang digerakkan dalam sektor ekonomi real dan juga tidak ada modal real dalam bentuk mesin-mesin industri yang diinvestasikan selama terjadinya booming investasi modal asing beberapa waktu terakhir di Indonesia. Selain mudah, export capital yang dilakukan melalui investasi modal dibidang perbankan itu mendatangkan untung yang tidak sedikit bagi pundi-pundi ologarki capital finance negara-negara kapitalis induk.

Inilah suatu prakondisi krisis ekonomi yang memang sudah diatur secara optimal oleh negara-negara kapitalis induk untuk diterapkan pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Prakondisi ini juga diciptakan untuk meminimalisir kemungkinan krisis yang akan timbul didalam negara-negara kapitalis induk sendiri akibat over produksi modal kapitalis.

Dengan demikian, berbagai krisis ekonomi yang terjadi dunia akhir-akhir ini adalah merupakan krisis ekonomi yang di eksport oleh negara-negara kapitalis induk.

*Penulis adalah: Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat [Front PEPERA PB], Anggota Dewan Penasehat Aliansi Mahasiswa Papua [AMP], penulis lepas dan columnist pada beberapa media.

Sumber: http://www.parasindonesia.com/read.php?gid=558

Read More...

Tuesday 19 June 2007

Mereka Menyebut Saya Dingo?

Selamat pagi Ibu, saya sudah menulis kemarin, tidak banyak, hanya beberapa hal saja yang saya tulis. Saya baru saja menulis tentang Mohammad Atthar atau orang biasa menyebutnya Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Ibu tahu tentang dia kan? Ya, dia itu negarawan yang bijak, dia itu pendiri Republik Indonesia, ingat Bu, bukan NKRI ya, hanya RI. Hatta itu orangnya luwes, sederhana, tekun, displin, demokratis dan tentu saja orang yang bertakwa didalam agamanya. Saya menulis tentang pandangannya mengenai masa depan Papua yang bertolak belakang dengan Bung Karno. Saya harap Ibu bisa juga membacanya.

Wah...banyak yang menyerang tulisan saya dengan tindakan-tindakan yang tidak normal, irasional, dan bahkan sampai harus menyertakan propaganda salah satu partai dari negara boneka Neo-Kolonial hasil kunjungan partai mereka menghadap tuan besarnya, Uncle Sam! Mereka bilang saya harus minum susu lagi, biar tambah pintar. Mereka juga menyebut saya Dingo. Ibu tau Dingo tidak? Dingo itu sejenis anjing liar. Nasionalis Indonesia memanggil Australia dengan julukan itu. Whatever lah, kita tidak boleh terjebak dengan argumentasi dangkal mereka. Ibu tau kan? Saya ini Diary Papua, saya anak Papua asli, saya bukan Dingo seperti yang mereka katakan dan saya bukan budak Dingo atau budak Republik Baru Bisa Mimpi alias Republik BBM dan juga bukan Budak Uncle Sam yang mereka sembah-sembah itu.

Saya tidak tahu kenapa mereka menyerang saya dengan argumentasi dangkal semacam itu? Tapi biasalah, ini tindakan kelompok reaksioner, kawan-kawan saya digerakkan prodemokrasi Indonesia menyebut mereka “kelompok reaksioner kanan!” Ada juga yang menyebut mereka ini “reformis gadungan,” ya mereka itu Ibu, mereka itu yang menyerang saya dan menyebut saya Dingo.

Hehehehe…..Forgot than, let we talking about our future Mom, this is better than making a debate with crazy people like them! They are nothing! They are empty people! Mereka manusia robot yang tak mampu berpikir rasional.

Ibu ingat tahun 1996? Waktu itu anak-anak muda idealis yang menginginkan perubahan di Republik BBM, mendorong sebuah radikalisasi massa. Waktu itu Jendral Soeharto, pemimpin Fasis Militeristik Republik BBM merepresi salah satu partai yang disebut PDI, Harto takut jika Megawati menjadi pimpinan partai ini. Ibu tau kan? Megawati itu anak Soekarno pendiri NKRI, banyak rakyat kecil tidak sadar politik, mereka mudah diperdayai oleh simbol-simbol, dan Megawati, dalam konteks ini, dapat dianggap sebagai Ratu Adil yang nanti akan membebaskan rakyat dari segala malapetaka yang diciptakan oleh Regime Fasis-Militeristik Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Besar Soeharto, ini budaya Jawa, rakyat di Jawa memaknai pesan melalui simbol-simbol yang demikian, beda dengan kita Ibu, kita masih agak rasional.

Soeharto mengerti benar falsafah Jawa yang demikian, karena dia orang Jawa. Ibu, ingat ya, kita tidak sedang mendiskusikan prasangka ras disini, kita hanya sedang mendiskusikan falsafah dibalik budaya yang menjadi iman para pemimpin Republik BBM.

Kita kembali ke masalah semula. PDI bikin kongres di Medan [Sumut] sekitar tahun 1994 [?], maaf Ibu, saya agak lupa. Pada saat itu Mega diangkat menjadi pemimpin partai ini. Soeharto paham, kalau ini dibiarkan maka pamornya sebagai raja lalim penguasa tunggal Republik BBM pasti akan pudar, jalan satu-satunya adalah membuat kacau PDI. Caranya? Dia tidak merestui kongres partai tersebut dan bahkan menunjuk orang lain untuk menjadi pimpinan partai ini. Akibatnya? Rakyat yang sudah terlanjur berharap banyak pada Megawati sebagai titisan Ratu Adil memberontak dimana-mana.

Ibu tau tidak tentang Budiman Sujatmiko? Dia itu mantan pimpinan Persatuan Rakyat Demokratik [PRD], kemudian hari berganti nama menjadi Partai Rakyat Demokratik. Dia dan kawan-kawan lain masuk dalam situasi politik yang demikian dengan maksud meradikalisasi massa, mereka menyebutnya insurrection? Ya, barangkali begitu. Tujuannya jelas untuk membentuk kesadaran massa kearah yang lebih politis. Maklumlah di Republik BBM rakyat sudah tidak peduli lagi dengan politik, mereka apatis, mereka takut karena direpresi oleh penguasa Fasis. Mirip-mirip dengan kita di Papua sini Ibu, sama, cuming [meminjam istilah Bung Togog] masalah kita waktu itu terlewatkan dari pantauan rakyat lain di Republik BBM, karena kita jauh, kita ini ada di ujung Bumi, maka masalah kita waktu itu tidak terlihat dengan jelas oleh mereka yang lain.

Nah, pada waktu itu Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari, Andi Arief, Nezar Patria, Agus Jabo [sekarang Ketua Papernas], Wiji Thukul, Yoko [dulu kuliah di UII Jogja], Prabowo [bukan mantunya Harto loh, ini Bowo yang dulu kuliah di UGM ituloh Bu], Pius Lustrilanang dan banyak pemuda-mahasiswa lain yang bergerak secara clandestein maju ke depan public dan melakukan agitasi massa dengan tujuan supaya terbangun kesadaran untuk menghajar penguasa tunggal orde baru. Gerakan itu tidak berhasil penuh.

Kawan-kawan saya itu dihajar oleh orde baru dengan antek setianya, ABRI [TNI/Polri]. Banyak diantara mereka yang diculik, dibunuh dan hilang sampai hari ini, jasadnya tidak ditemukan, salah satu diantaranya adalah Wiji Thukul. Ibu belum mengenal tokoh kita ini kan? Saya akan menulis mengenai dia lain waktu.

Pada masa-masa itu, boleh dibilang, mereka yang sekarang saya sebut reaksioner kanan dan reformis gadungan ini, masih bergandeng tangan dengan pemuda-mahasiswa diatas dengan tujuan taktis menghajar orde baru. Tetapi, ketika kawan-kawan tadi dihajar oleh orde baru. Diculik, disiksa, dibunuh dan dihilangkan secara paksa oleh TNI/Polri, partai ini dan Megawati tidak berbuat banyak, bahkan menyaksikan kekejaman politik itu berlangsung didepan mata mereka.

Kini banyak pemuda-mahasiswa itu berpindah pilihan politik, masih ada yang tetap bertahan diarena perjuangan, sebut misalnya Dita Indah Sari, Agus Jabo, Yoko, Prabowo dan beberapa lain, sementara yang lain memilih berdamai dengan musuh, satu diantaranya Pius Lustrilanang, lainnya Budiman Sujatmiko, atau hanya ini merupakan taktik untuk tetap bertahan dipanggung politik? Saya kurang tau. Ibu Tau kan mengenai Budiman Sujatmiko? Dia kini memimpin sebuah institusi bikinan PDI-Perjuangan, yaitu Res Publica, itulah dia Ibu-ku. Bagaimana dengan Dita Sari? Dia masih tetap Ibu, masih dijalan yang dia pilih. Agus Jabo malah makin heboh sekarang, dia itu pemimpin Partai Persatuan Perjuangan Pembebasan Nasional [Papernas], keren kan Bu? Namanya keren, sama, tapi tidak sama persis seperti nama Front kita, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat [Front PEPERA PB]. Lalu bagaimana dengan yang lain? Mereka juga sedang bergerak, ya, bergerak menggapai matahari yang belum terjamah!

Hmmm….sudah terlalu panjang hari ini kita berdiskusi Ibu, biarkan saya kembali menulis artikel lain, biar saya menghajar batok kepala kelompok reaksioner kanan yang kini menjadi kaki tangan imperialis global itu! Biar rongsok batok kepala mereka dengan tajam kata-kata saya!

Ibu masih mau dengar soal Megawati? Nanti ya, besok akan saya buatkan tulisan khusus mengenai dia. Tentang semua hal. Terutama masa kepemimpinannya di PDI-P, dan bagaimana perannya dalam politik praksis di Papua setelah dia menjadi presiden Republik BBM.

Cukup dulu Ibu, sampai ketemu besok!

Read More...

Ibu, Saya Musti Menulis Sekarang!

Aku Menulis….Aku Penulis terus menulis….Sekalipun Teror Mengepung!
[Wiji Thukul, Puisi Di Kamar]


Penggalan puisi karya Wiji Thukul diatas menggambarkan gundah jiwa saya, ya, disini, saya hanya bisa menulis, kebebasan saya dipasung oleh sebuah sistim yang tiran. Saya tidak lagi bisa melakukan aktivitas saya sebagaimana biasanya. Kemerdekaan saya dibatasi! Ya, saya tidak hidup sebagai manusia merdeka, saya tidak dapat berdiskusi seperti biasa dengan kawan-kawan yang saya rindukan, bahkan untuk sekedar menyebut nama, saya harus menggunakan nama ini: Diary Papua!

Lalu apakah saya harus tenggelam dalam hempasan sejarah yang terus menggelora? Tentu tidak, saya musti menulis, ya, saya musti menulis, sebab dengan menulis, pesan saya tersampaikan kepada kawan dimedan juang, sebab dengan menulis, saya berharap bia memberikan pencerahan dibalik kemunafikan tiranik dan tamak yang sedang menghinggapi jiwa-jiwa haus kekuasaan dan sistem yang sedang menghisap Tanah Papua.

Siapa yang hendak membuat saya patuh? Tidak, jangan harapkan kepatuhan saya, saya tidak diijinkan untuk mematuhi orang-orang dan juga sistem yang menindas, nurani saya memberontak dan mengatakan “Kau tidak boleh surut dalam langkahmu, ikuti matahari, teruslah ikuti mataharimu, songsong pagi di Timur, kau akan melihat Cahaya Bintang Fajar [Kejora/Sampari] memberikan sinar harapan bagi kebebasan rakyatmu!”

Barangkali kalian sadar, bahwa dengan memasung kebebasan saya sebagai manusia, maka sampai disitu keberanian saya untuk tetap berjuang hilang lenyap? Tidak, anda salah, saya tidak terbiasa patuh kepada mereka yang menindas, kecuali pada rakyat dan kepada Ibu yang melahirkan saya!

Setelah belasan tahun tidak bertemu, suara yang merdu, berwibawa dan menyejukkan itu, akhirnya kembali menggelitik gendang telinga saya. Ibu, terima kasih, kau telah memberikan harapan lebih besar bagi saya untuk tetap melanjutkan cita-cita yang belum tercapai, saya tetap disini, saya masih tetap anakmu, seperti yang kau besarkan dengan penuh kasih sayang, hanya karena system yang rusak seperti inilah, saya harus berpisah dengan Ibu, tidak lama, sebentar lagi pasti kita bertemu, ketika waktu kemengan sudah kita capai. Banyak kawan, banyak orang lain seperti Ibu berharap pada saya, dan saya akan menepati janji yang sudah terikhtiar direlung jiwa saya untuk tetap mematuhi panggilan nurani saya dan bertahan hidup serta berjuang walaupun ditengah badai sekalipun!

Saya sedang giat menulis hari ini Ibu, biar saya kabarkan pesan ini untukmu. Saya hanya bisa menulis untuk masa-masa ini, suatu waktu saya akan bergerak seperti biasa lagi, pada waktu itu, Ibu akan tahu, anak masih tetap dijalan yang Ibu harapkan. Ya, begitulah. Saya masih menyimpan gumpalan tanah yang Ibu berikan waktu saya akan berangkat ke luar dari Tanah dimana kita hidup bersama Ibu. Saya masih menyimpannya. Tanah itu memberikan harapan lain bagi saya untuk punya alaan tetap hidup. Ya, sebab disitu Ibu sudah berikan pesan yang jelas.

“Nak, kau boleh saja menimbah ilmu setinggi langit, bahkan sampai harus menyeberang pulau dan benua, tetapi kau harus ingat, dari material ini kau ada, dari Tanah kau dibentuk menjadi manusia, kembalilah suatu masa untuk membangun Tanah ini, kembalilah suatu saat untuk bersama-sama Ibu dan rakyat bebaskan Tanah ini dari tirani, dari mereka yang merampas Tanah ini dari, kembalilah suatu waktu untuk bersama Ibu menghancurkan system yang menindas dan menghisap ini!”

Mungkin itu maksud Ibu memberikan segumpal Tanah yang kau bungkus rapi dengan kresek kecil disamping rumah paman 12 tahun lalu? Itu makna yang saya dapat Ibu dan saya hanya berharap akan bertemu Ibu lagi, disamping tumah itu, biar Ibu bisa membuka kembali kresek itu dan letakkan kembali Tanah yang kau bungkus rapi di kresek itu, untuk dikembalikan ke tempatnya semula.

Wah…Ibu, cukup dulu ya, saya sudah banyak curhat hari ini dengan Ibu, tetapi saya akan lanjutkan lagi. Saya musti bilang ke mereka bahwa saya tidak takut, saya menolak patuh, saya menolak disebut pengecut dan saya juga menolak dikatakan menghianati kawan dan Tanah yang Ibu berikan. Tidak, saya masih tetap setia dengan Tanah itu dan juga tetap setia kepada kawan-kawan yang telah mengajarkan banyak hal lain kepada saya untuk tetap punya alasan hidup dan berjuang.

Napoleon Bonaparte, pemimpin besar Prancis abad 18 mengatakan “Mata pena jauh lebih tajam dari ujung bayonet sekalipun!” Setajam apa? Setajam tulisan yang dibuat. Saya membuat tulisan untuk alasan itu. Saya harus menusuk musuh-musuh saya dengan setiap tulisan yang saya buat. Saya harus menghabisi setiap musuh kita dengan tulisan-tulisan yang tajam. Hanya dengan pena dan tulisan yang dibuat, saya yakin dapat mematahkan batok kepala paling keras sekalipun di dunia ini. Hanya dengan pena dan tulisan yang dibuat, saya yakin dapat meruntuhkan system yang menindas. Itu keyakinan saya.

Kini saya musti menulis, terima kasih Ibu!

Read More...

Monday 18 June 2007

Malpraktek Manajemen Pemerintahan Atas Papua

Ditulis Oleh: Diary Papua*

PAPUA dapat dilambangkan sebagai bara yang sedang membara dalam sekam, ia menyimpan begitu banyak masalah yang harus diurai satu per satu dengan bijaksana. Benang kusut masalah Papua yang demikian sukar telah menyebabkan banyak tafsir berbeda yang dimunculkan dalam rangka mengurai kembali kekusutan permasalahan Papua yang pelik itu. Sebab jika tidak, kekusutan masalah itu justru menjadi bumerang bagi para pihak yang terkait dengan masalah Papua.

TELAH lama muncul dua ekstrim yang berbeda dalam memandang masalah Papua dari sudut pandang masing-masing. Satu ekstrim menghendaki adanya perbaikan manajemen negara yang selama 44 tahun ‘integrasi’ Papua kedalam NKRI, dijalankan dengan kombinasi politik yang eksploitatif, represif, korup, anti-HAM dan setengah hati oleh berbagai regime yang pernah memimpin Indonesia. Sementara ekstrim lainnya menghendaki permasalahan Papua diselesaikan berdasarkan fakta-fakta sejarah manipulatif yang melatarbelakangi integrasi Papua kedalam NKRI.

Sejak munculnya gerakan reformasi di Indonesia, pertarungan dua ekstrim ini semakin jelas dan meruncing. Sampai kapan pertarungan ini akan berakhir?

Sikap Jakarta Yang Egois dan Otsus Yang Bermasalah

Sebenarnya untuk meredam aspirasi gerakan kemerdekaan Papua yang meluas pasca reformasi 1998 telah dicapai beberapa keputusan politik untuk mencari jalan tengah penyelesaian politik Papua. Salah satu jalan tengah itu adalah pemberian Otonomi Khusus bagi Papua yang ditetapkan pada tanggal 21 November 2001 oleh Megawati Soekarno Putri, namun tidak dijalankan dengan konsukuen bahkan keputusan politik Jakarta itu dibiarkan mengambang

Pemerintahan Mega yang ultra-nasionalis tidak menghendaki adanya kompromi dengan memberikan kebijakan politik yang menguntungkan Papua dan bahkan dalam beberapa hal mendekati ideal ‘merdeka’ penuh karena ada beberapa pasal dalam UU Otsus yang mengatur dan mengakomodir simbol-imbol perjuangan Papua merdeka. Karena hal itu maka UU Otsus yang telah ditetapkan tidak dijalankan dengan baik. Padahal banyak kalangan yang lebih moderat, baik di Jakarta maupun Papua, menghendaki Otsus dijalankan sebagai alasan untuk meredam aspirasi merdeka rakyat Papua dan juga mengobati luka politik yang telah lama dibuat Jakarta terhadap Papua.

Tidak sampai disitu, kelompok ultra-nasionalis di Jakarta mempraktekkan pula politik devide it empera bagi rakyat Papua dengan mendorong pembentukan povinsi Irian Jaya Barat (sekarang disebut Papua Barat) dengan dipaksakannya pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999 Mengenai Pembentukan Povinsi Irjabar, Irjateng, Kota Sorong, Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Mimika. Produk politik itu dikeluarkan pada jaman pemerintahan sebelumnya tetapi tidak dijalankan oleh karena bertentangan dengan semangat rekonsiliasi yang hendak diambil sebagai jalan tengah penyelesaian sengketa politik Jakarta – Papua yang memanas pada saat itu.

Komitmen Jakarta terhadap Papua sedikit berubah ketika SBY menjadi presiden RI. Pada tanggal 24 Desember 2004, bertempat di Jayapura, presiden SBY mengumumkan PP No.54 Tentang MRP. Seperti diketahui, MRP adalah salah satu perangkat penting yang harus dibuat sebagai prasyarat dijalankannya Otsus Papua.

Banyak kalangan menilai langkah politik SBY tersebut dapat meredam aspirasi rakyat Papua dan meredam gejolak politik yang terus menggeliat di Papua. Ternyata tidak sama sekali. Sikap dua muka yang masih dijalankan SBY dan kabinet Indonesia bersatu dalam penyelesaian masalah Papua berbuntut konflik yang tidak mampu diredam. Harapan banyak kalangan agar pemerintahan SBY mampu mencari jalan baru penyelesaian masalah Papua masih jauh dari harapan dan boleh dikatakan stagnan.

Pembiaran terhadap pembentukan Povinsi Irian Jaya Barat yang bertabrakan dengan semangat rekonsiliasi yang hendak dibangun Jakarta terhadap Papua melalui pemberlakuan Otsus sekali lagi diciderai dengan kelahiran povinsi IJB yang prematur. Anak haram bernama IJB itu kini telah mendapat pengakuan legal dari Jakarta walaupun kelegalan hukum itu terkesan dipaksakan dan jauh dari semangat UU Otsus Papua.

Barangkali banyak kalangan di Jakarta beranggapan, pemberian Otsus sudah merupakan solusi final penyelesaian masalah Papua dalam bingkai NKRI. Tetapi barangkali mereka lupa, proses historis dan proses politik Papua yang sudah bermasalah sejak ‘integrasi 63’ hingga pelaksanaan ‘pepera 69’. Faktor ‘integrasi 63’ dan ‘pepera 69’ adalah dua faktor penting yang musti diuraikan permasalahannya dengan jelas sehingga benar-benar dicapai sebuah jalan baru yang paling efektif dalam penyelesaian masalah politik Papua.


Sikap Jakarta yang egois dalam menyelesaikan masalah Papua berdasarkan cara-cara Jakarta, tidak banyak menghasilkan sebuah produk politik yang positif bagi Papua. Egoisme itu terlihat jelas ketika rakyat Papua menolak pembentukan povinsi IJB dan menuntut supaya anak haram itu tidak disahkan keberadaannnya di Papua.

Walaupun kehadiran IJB bertolak belakang dengan Otsus Papua, tetapi Jakarta yang sudah terlanjur menjalankan politik dua muka, tetap memaksakan agenda politiknya. Semula benturan politik akibat kebijakan politik Jakarta banyak ditentang oleh grass-root, tetapi ketika IJB terbentuk, konflik itu menjadi arena konflik antar elit Papua versus IJB maupun Papua versus Jakarta.

Secara hukum, keputusan MK, di satu pihak menyatakan UU 45/1999 batal demi hukum sejak diundangkan UU 21/2001 (21/11/ 2001) tentang Otsus Papua, tapi di lain pihak MK tetap mengakui keberadaan Irian Jaya Barat.

Keputusan MK yang banci itu sungguh mengherankan bahkan diskursus tentang hal ini terasa tidak memperoleh sorotan publik. Publik Indonesia seakan-akan tidak melihat persoalan Papua sebagai masalah penting. Padahal kompleksitas masalah Papua selama 44 tahun lebih integrasi, tidak pernah mau diselesaikan secara baik dan benar oleh Jakarta.

Kini IJB telah menjadi status quo. Gerilya politik masih saja dilakukan oleh pihak yang berkepentingan agar Otsus dijalankan dengan pihak yang mempertahankan status quo Irian Jaya Barat. Pada saat ini episode baru memasuki konflik Papua. Semula Papua vs Jakarta, kini Papua vs Papua.

Suatu tanda keberhasilan intiligen memainkan perannya dalam politik Papua? Jawabnya pasti ya, karena pengkondisian konflik yang telah mengarah menjadi Papua vs Papua adalah bukti dari keberhasilan itu. Walau konflik itu terjadi ditingkat elit yang memiliki kepentingan langsung terhadap Otsus dan pemekaran, tetapi interest itu sejak awal sudah masuk kedalam wilayah kesadaran politik rakyat, dan barangkali saja kemungkinan terbuka konflik horizontal antara rakyat bakal terjadi.

Kita berharap, kesadaran semu elit politik Papua itu tidak menghegemoni kesadaran sejati rakyat yang benar-benar menginginkan perubahan situasi politik Papua kearah yang lebih baik dan adil. Rakyat tetap harus kritis dan harus menjaga diri agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan antara elit birokrasi Papua maupun Irian Jaya Barat yang hidup bergelimang duit Otsus diatas penderitaan rakyat itu.

Konflik Otsus versus pemekaran Irian Jaya Barat juga menjadi tanda yang nyata bahwa sikap politik Jakarta memang tidak jelas sama sekali dalam menyelesaikan masalah Papua. Jakarta membuat aturan, Jakarta pula yang melanggarnya. Jakarta pula yang telah menciptakan konflik tak berkesudahan. Inilah suatu model egoisme politik Jakarta yang, dalam masa tertentu, akan menjadi bumerang bagi dirinya jika tidak cepat-cepat keluar dari ambiguitas politik tersebut.

Demoralisasi dan Ketamakan Elit Papua
Banyak kalangan elit Papua yang melihat pertarungan politik Jakarta - Papua sebagai lahan yang subur bagi bargaining politik yang menguntungkan. Dengan menggunakan simbol-simbol dan sentimen merdeka yang disuarakan rakyat, mereka mampu memberikan tekanan kepada elit Jakarta untuk mengikuti kemauan mereka.

Oportunisme elit Papua yang demikian tidak bertepuk sebelah tangan sebab kelompok ultra-nasionalis di Jakarta juga melihat isyu pemekaran sebagai suatu media untuk mempersempit ruang konflik politik di Papua. Jika konflik yang selama ini terjadi adalah antara Papua versus Jakarta maka dalam taktik ini, konflik hendak diubah menjadi konflik antara Papua versus Papua, yang dalam beberapa hal telah berhasil dilakukan.

Sikap-sikap oprtunisme politik yang ditunjukkan oleh elit-elit Papua sangat bertentangan dengan kemauan rakyatnya. Mereka bahkan bersukacita ditengah kemiskinan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Golongan ini bahkan tidak mampu mengilhami suatu perspektif baru penyelesaian Papua yang lebih komprehensif, bermartabat dan adil berdasarkan apa yang dikehendaki rakyat.

Oportunisme politik yang melanda jiwa-jiwa haus kekuasaan yang bergentayangan diseluruh Papua itu, disatu sisi mampu mereduksi makna dari tuntutan rakyat yang sebenarnya untuk menyelesaikan masalah Papua dan disisi yang lain memberikan sebuah keuntungan ekonomis yang tidak sedikit. Mereka hidup mewah diantara kemiskinan yang dialami mayoritas rakyat.

Munculnya Irian Jaya Barat dan beberapa kabupaten yang baru dimekarkan merupakan contoh yang dapat dilihat mengenai mentalitas oportunis dan korup dari para elit Papua yang bermental budak ini. Sebuah gambaran jelas tentang mentalitas budak ini dapat dilihat dari apa yang mereka lakukan selama ini. Tidak dapat disangkal, mentalitas budak elit Papua itu berujung pada korupsi besar-besaran yang melanda berbagai jenjang birokrasi diseluruh Tanah Papua. Mentalitas yang demikian berakhir dengan penghambaan membabibuta terhadap elit pusat di Jakarta dan modal asing.

Mungkin dapat dikatakan, kampiun sejati dari korupsi saat ini adalah elit birokrat dan anggota legislatif di Papua. Birokrat dan anggota legislatif saat ini adalah birokrat dan anggota legislatif yang dihasilkan dimana bangunan konstitusional RI sedang dilawan oleh rakyat Papua. Kita semua tahu, perlawanan rakyat itu telah menghasilkan sebuah paket politik Otsus Papua. Otsus menjadi sumber uang yang tidak kecil bagi elit birokrat dan legislatif ini. Dengan dalih mengerjakan tugas-tugas rutin pemerintahan, mereka berhasil mengkorupsi milyaran rupiah uang rakyat.

Sebagai contoh. Hasil temuan BPK dalam laporannya mengenai penggunaan APBD oleh beberapa kabupaten baru hasil pemekaran menunjukan penggunaan dana-dana APBD yang tidak jelas. Temuan BPK dalam pemeriksaan APBD tahun anggaran 2004-2005 itu melaporkan, pengeluaran diluar penghasilan bupati dan jajarannya serta pimpinan dan anggota DPRD –misalnya untuk dana operasional, kelancaran tugas dan uang sidang– nyata sekali merugikan dan tidak menyentuh kepentingan rakyat.

Dana-dana rakyat yang dikorupsi itu terjadi meluas diseluruh Papua. Sebut misalnya Kab. Tolikara dengan jumlah dana yang diselewengkan berjumlah Rp. 2,56 miliar, Kab. Mappi Rp. 1,51 miliar, Kab. Boven Digul Rp. 1,50 miliar dan Kab. Keerom Rp. 1,86 miliar. Itu baru permulaan, belum lagi kolaborasi raja-raja lokal ini dengan pemilik modal yang langsung akan berurusan dengan mereka dimasa-masa akan datang jika hendak melakukan investasi ekonomi. Tentu korupsi mereka akan semakin menggila.

Dapat dibayangkan, ditengah jerit rakyat, mereka berpesta pora. Otsus dengan dana yang 6 trilyun rupiah itu semakin menjadikan mereka lupa daratan. Rakyat lapar, korupsi jalan terus, mungkin realitas ini tepat untuk digambarkan.

Jadilah rakyat kini tidak saja harus bersikap tegas terhadap Jakarta yang egois, tapi juga harus bersikap keras terhadap anak-anak adat-nya yang sekarang telah menjadi guru besar koruptor. Benar juga pepatah katakan ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari.’ Pepatah ini tepat untuk melukiskan betapa buruknya mental birokrat Papua yang korup dan bermental budak itu.

Dulu Soeharto dan kroni-kroni mengajarkan mereka korupsi, kini mereka bahkan mengalahkan Soeharto dan kroni-kroninya dalam hal korupsi, inilah paradoks lain yang sedang menggeliat di Papua. Sebuah paradoks keserakahan elit birokrat Papua ditengah kemiskinan dan penindasan yang terjadi pada rakyat Papua.

Provokasi Modal Asing dan Kepentingan Eksploitasi Mereka
Kehadiran raksasa tambang seperti Freeport dan British Petroleum di Papua juga memberikan ruang bagi pengkondisian konflik politik Papua. Seperti diketahui, Freeport adalah salah satu pemodal asing yang membuka jalannya politik liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tumbangnya kekuasaan orde lama Soekarno yang anti Barat.

Freeport McMoran Gold & Copper, yang kontrak karyanya diteken pada tanggal 7 April 1967, adalah merupakan sebuah perusahaan tambang yang berhasil masuk ke Papua disaat masalah Papua masih belum selesai status politiknya. Pada saat itu rakyat Papua belum menyatakan sikap apakah bergabung dengan NKRI atau tidak. Bolehlah dikatakan kehadiran Freeport merupakan bukti langsung intervensi modal asing –imperialisme– dalam konflik politik di Papua.

Sampai saat ini Freeport masih dipersoalkan keberadaannya oleh rakyat Papua karena beberapa aspek. Pertama, Freeport adalah raksasa tambang yang menandatangani kontrak karya dengan pemerintah Indonesia disaat status politik Papua belum final, dalam arti apakah Papua sudah berada dalam NKRI atau belum?

Dapat dibayangkan betapa kalkulasi politik Papua dipertaruhkan dan dihitung oleh karena kepentingan modal asing ini. Kedua, dalam menjalankan eksplorasi dan eksploitasi tambangnya, berbagai praktek pelanggaran HAM dengan sistematis dilakukan terhadap penduduk asli Papua yang mendiami areal konsesi tambang Freeport. Ketiga, kerusakan lingkugan yang demikian parah telah terjadi diwilayah tambang Freeport, suatu reklame buruk dengan jelas telah disampaikan Freeport.

Keempat, kontrak karya generasi kedua baru saja dikukuhkan Freeport pada tahun 1997 dimana masa kontrak tambang tersebut akan berlangsung untuk jangka waktu empat puluh tahun dan baru berakhir pada tahun 2027.

Sebagai suatu multi nationals dengan sumber dana yang melimpah, Freeport berkolaborasi dengan birokrat dan militer Indonesia. Bagi birokrat sipil dengan mentalitas korup, Freeport menjadi ladang uang yang tiada habisnya dan oleh karenanya dengan berbagai cara harus dijaga keberadaan dan proses eksploitasinya. Bagi militer, Freeport menyediakan segalanya bagi operasional mereka. Tidak sedikit elit Papua yang larut dalam iming-iming kekayaan Freeport dan mereka telah menjadi budak paling setia yang selalu meluluskan keinginan raksasa tambang itu tanpa peduli nasib rakyat.

Munculnya provokasi pembentukan povinsi Irian Jaya Barat disebabkan oleh kehadiran raksasa tambang gas alam cair (LNG) British Petroleum di Bintuni. Kehadiran BP di Tanah Papua adalah merupakan sebuah proyek bagi-bagi keuntungan antara pihak imperialis. AS telah memiliki Freeport yang menambang selama hampir 40 tahun di Papua, dan untuk menjaga pengaruh dan kepentingan eksploitasinya, AS memberi peluang bagi Inggris, sebagai sekutu terdekatnya, untuk juga mengambil untung dibalik konflik politik Tanah Papua yang belum tuntas.

Selain memang untuk melakukan sharing ekspolitasi tetapi juga politik imperialisme AS yang demikian adalah untuk membendung pengaruh kekuatan ekonomi dunia baru seperti China dan Jepang, dan juga negara industri baru seperti Korea Selatan yang juga berminat dalam penambangan gas alam cair (LNG) di Papua. BP memang belum beroperasi tetapi keuntungannya yang milyaran dollar sudah dapat dihitung jika mereka mulai melakukan eksploitasi yang nanti akan eksis pada tahun 2008 - 2009 nanti.

Kunjungan PM Inggris, Tonny Blair, ke Indonesia pada akhir Maret 2006 –tidak lama setelah kedatangan Menlu Amerika Serikat Condoleeza Rice– yang kebetulan bersamaan dengan menguatnya perlawanan rakyat Papua atas keberadaan Freeport pada awal tahun 2006, jelas bukan tanpa alasan dan kepentingan. Bukan pula melulu suatu kebetulan kalau Papua belum dieksplorasi secara menyeluruh. Potensi kekayaan Papua yang melimpah dibidang tambang menguatkan dugaan keberadaan uranium. Sebagai bahan baku pembuatan nuklir, uranium nampaknya juga dimiliki Papua.

Beberapa teori geologi pecahan lempeng mengatakan benua Australia, Pulau Papua (Papua Nugini dan Papua), dan Timor Leste adalah satu daratan. Bukan mustahil Papua adalah sumber potensial uranium bagi Amerika Serikat dimasa depan. Uranium terbentuk dalam supernova, jauh sebelum zaman Pangaea. Berlanjut dengan terpisahnya lempeng Australia yang sekarang dikenal sebagai benua Australia dan Pulau Papua, endapan mineral yang terkandung dalam lempeng tersebut kemungkinan besar sama.

Australia dikenal sebagai salah satu produsen Uranium. Data terakhir tahun 2004 menyebutkan negara produsen uranium terbesar tercatat Kanada (11.597 metrik ton (t) = 1000 kg) dan Australia (8.982t). Disusul Kazakhstan (3.719t), Nigeria (3.282t), Namibia (3.038t), Rusia (3.200t), Uzbekistan (2.016t), Amerika Serikat (878t), Ukraina (800t), Afrika Selatan (755t), Cina (750t), dan Cekoslovakia (412t) (lihat: http://www.wise-uranium.org/umaps.html).

Bukan tidak mungkin, Papua yang memiliki formasi geologis yang sama dengan Australia itu memiliki cadangan deposit uranium sehingga perlu sejak awal dipagari AS untuk memperkuat pengaruhnya diwilayah ini. Pertarungan negara-negara nuklir ditingkat global menunjukan sebuah babak baru peta politik global yang harus dicermati secara sadar. Negosiasi AS dan UE yang berlarut-larut dengan Iran dan Korea Utara dalam hal pengayaan nuklir kedua negara, nampaknya tidak akan berhasil.

Hal tersebut menyebabkan AS kebakaran jenggot. Sebagai negara konsumen uranium terbesar didunia, AS sudah harus melirik daerah potensial lain yang konfliknya bisa diminimalisir dan bahkan diredam serta mudah untuk dikuasai dan Papua menjadi menjadi lahan yang ideal dalam hal ini.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik politik yang terjadi di Papua, tidak terjadi secara terpisah, konflik itu muncul disertai kuatnya pengaruh modal asing atau imperialisme global didalamnya. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri ditengah masa imperialisme global yang tengah menggurita dengan paket ekonomi politik neo-liberalnya dewasa ini.

Seperti Freeport, kehadiran BP yang menjanjikan fulus menggiurkan telah membuat ngiler elit Papua yang tamak dan koruptor-koruptor di Jakarta yang haus kekayaan. Tindakan logis, menurut pandangan mereka, untuk mempermudah pengerukan fulus dari BP adalah dengan jalan membagi dua Papua. Maka terbitlah UU No. 45 Tahun 1999 yang mengatur pemekaran povinsi Irjabar, Irjateng, Kota Sorong, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai dan Kabupaten Puncak Jaya. Untuk mempercepat rekayasa pemekaran diterbitkanlah Inpres Nomor 1 Tahun 2003 Tentang percepatan pembentukan povinsi Irian Jaya Barat.

Bukan suatu kebetulan jika Irian Jaya Barat akhirnya harus dibuat menjadi status quo oleh Jakarta, karena Irian Jaya Barat, dalam pandangan elit Jakarta, akan menjadi pion yang dimainkan dalam dinamika percaturan politik Papua yang semakin meruncing. Dilain pihak, Irian Jaya Barat juga menjadi ladang baru sumber ekonomi dengan kehadiran British Petroleum.

Rupanya ekonomi menjadi determinan pokok yang menyebabkan konflik politik yang berlarut-larut di Papua dan jelas sekali modal asing memiliki investasi politik kotor dalam penciptaan situasi konflik itu.

Mengapa Rakyat Lakukan Perlawanan?
Sudah biasa dalam sejarah, jika rakyat ditindas dan hidup dalam kemiskinan, pastilah akan lahir perlawanan dari rakyat itu sendiri, bahkan perlawanan itu bisa melahirkan suatu revolusi sosial dan politik. Hukum sejarah ini tidak dapat dibantah. Secara politik, perlawanan yang terjadi di Papua dilatarbelakangi oleh cita-cita perjuangan kemerdekaan yang sudah dimulai sejak awal 1960-an pada saat terjadinya konflik kepentingan antara Indonesia dan Belanda dalam hal Papua.

Selain itu, perlawanan rakyat di Papua, juga didasari oleh fakta-fakta sejarah yang melatarbelakangi bergabungnya Papua kedalam NKRI. Ketika United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan Papua ke dalam kendali administrasi Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 banyak pihak di Jakarta beranggapan bahwa Papua telah menjadi bagian integral NKRI.

Tetapi sesungguhnya proses tersebut hanyalah untuk menjalankan aturan-aturan dalam New York Agreement dimana diatur penyerahan Papua kedalam tangan PBB oleh Belanda dan selanjutnya kedalam administrasi pemerintahan Indonesia, tetapi masih dalam pengawasan PBB, sampai dilaksanakannya suatu plebisit atau jajak pendapat untuk menanyakan pendapat rakyat Papua apakah ingin bergabung dengan NKRI atau memilih merdeka.

Pelaksanaan Act of Free Choice sebagaimana diatur pasal XVIII New York Agreement dengan metoda demokrasi yang berlaku secara universal, seperti diketahui, ternyata dijalankan dengan metoda-metoda demokrasi feudal Indonesia, yang berhasil dilakukan dengan kombinasi operasi militer dan intiligen. Proses ‘penentuan pendapat rakyat’ (PEPERA) yang manipulatif dan curang itu juga menjadi suatu dasar mengapa rakyat Papua bangkit dan melawan berbagai pihak yang telah menggadaikan hak-hak politik rakyat berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional yang telah mereka buat sendiri. Dalam hal ini bukan saja Indonesia tetapi Belanda, USA dan PBB juga turut andil.

Masuknya imperium modal asing di Papua setelah kontrak karya generasi pertama yang dilakukan Indonesia dan Freeport McMoran Copper & Gold Inc, salah satu multi nationals yang dimiliki AS, pada awal April 1967 juga bermasalah karena dilakukan dua tahun sebelum dilangsungkannya Act of Free Choice pada tahun 1969.

Pelaksanaan administrasi pemerintahan yang sentralistik, militeristik dan korup sepanjang 30 tahun kekuasaan orde baru, meninggalkan jejak kekejaman negara atas wilayah Papua. Operasi militer selama 20 tahun –terhitung sejak 1978 hingga 5 Oktober 1998– yang diberlakukan pasca gejolak berdarah pada tahun 1977 didaerah pegunungan tengah Papua, terutama di Wamena, juga menjadi andil dalam perlawanan rakyat Papua saat ini.

Dua dekade operasi militer menghasilkan reklame buruk pelanggaran HAM Indonesia di Papua. Terjadinya eksodus ke wilayah negara tetangga (Papua Nieuw Guinea) oleh kurang lebih 30.000 jiwa penduduk asli Papua yang terjadi pada tahun 1984 diseluruh wilayah Papua dengan jelas dapat digambarkan sebagai satu bentuk nyata betapa kejamnya tindakkan represi pemerintah Indonesia atas Papua.

Dibidang ekonomi, Papua dapat dikatakan sebagai lumbung uang yang tiada habisnya. Selama tiga decade ini, Papua menyumbang tidak kurang dari 24 trilyun rupiah setiap tahunnya kedalam pundi-pundi kekayaan NKRI, sumbangan devisa itu terus meningkat dan kini mencapai nilai 30 trilyun rupiah setelah masuknya raksasa tambang gas alam cair British Petroleum dengan proyek Tangguh-nya di Teluk Berau, Bintuni, Tanah Papua. Sumber devisa itu berasal dari bidang pertambang 56,10 persen, sektor pertanian 16,09 persen dan sektor lainnya dibawah 10 persen.

Sumbangan devisa yang demikian besar dalam APBN Indonesia tidak seimbang dengan pembangunan dan kesejahteraan yang didapatkan rakyat Papua selama ini. Sebagai contoh, pada tahun 1996-1997, pendapatan asli daerah yang masuk ke kas APBD Papua hanya sebesar Rp. 21 miliar. Bahkan ditengah perlakuan Otsus saat ini, Papua semula hanya kebagian 1,3 trilyun rupiah –sekarang bertambah menjadi 6 trilyun rupiah, suatu ketamakan nampaknya masih diperlihatkan Jakarta. Sampai saat ini 40 persen penduduk asli Papua hidup dalam kemiskinan struktural. Sebuah paradoks yang menyakitkan hati ditengah bergelimangnya kekayaan alam Tanah Papua yang begitu melimpah.

Kombinasi antara represi negara, kemiskinan structural rakyat, ketidakadilan dan sikap acuh tak acuh Jakarta yang masih ada sampai saat ini dengan pelaksanaan Otsus yang jalan ditempat semakin menyadarkan rakyat untuk melakukan perlawanan atas berbagai bentuk kemunafikan politik dan ketidakadilan yang terjadi selama ini dalam kehidupan rakyat Papua.

Nampaknya pertarungan dua ekstrim yang selama ini terjadi di Papua tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Sikap politik Jakarta yang ambigu dan malpraktek pemerintahan yang semakin parah di tengah pertarungan Pemerintahan Otsus Papua Vs Provinsi IJB dan konsistensi perlawanan rakyat yang semakin meruncing akan berakhir dimana? Tentu sejarah akan menjawabnya. Jika pendulum politik yang berpendar secara tidak terkontrol di Tanah Papua itu dibiarkan saja oleh Jakarta, bukan tidak mungkin revolusi sosial akan muncul di Papua untuk mengakhiri penindasan yang tak kunjung berakhir. ***

Read More...