Sunday, 23 September 2007

Budaya Konsumtif Yang Merusak

Kita sedang berada pada satu masa dimana konsumerisme menjadi budaya yang sedang mengglobal sekaligus merusak manusia dan kemanusiaan itu sendiri!
[Hans Gebze]


Pada pertengahan Juni 2007 lalu bertempat di salah satu kota di Jerman, negara-negara industri maju menggelar sebuah pertemuan penting yang membahas masalah Perubahan Iklim dan fenomena ikutannya yang disebut "Pemanasan Bumi." Jelas bahwa semua dampak perubahan iklim dunia dan pemanasan bumi dihasilkan oleh karena sikap serakah manusia yang konsumtif.

Dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut, kita melihat sikap arogan AS yang diikuti Australia dalam menolak menjalankan agregat Protokol Kyoto yang mengatur tentang penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan. Barangkali kita semua masih ingat apa yang terjadi di Jerman pertengahan Juni lalu.

Satu pesan jelas terlihat, ditengah ujian maha besar bagi umat manusia dalam mengurangi sifat komsumtifnya yang cenderung merusak alam, AS sebagai salah satu konsumen energi terbesar dunia dengan kepongahannya, mengambil sebuah tindakan politik yang tidak mempedulikan manusia dan kemanusiaan.

Padahal, saat ini dunia dihadapkan pada satu pilihan pati: mengurangi ketamakan konsumtif kita dalam penggunaan energi fosil yang merusak Ozon atau tetap menggunakan energi fosil dengan konsukuensi pemanasan bumi menjadi ancaman peradaban umat manusia.

Amerika Serikat dikenal sebagai negara pengguna energi fosil terbesar di dunia. Kurang lebih 40% penggunaan energi dunia dimonopoli oleh Amerika Serikat, dengan demikian terlihat jelas jika pada KTT G8 di Jerman pada Juni 2007 lalu, AS dengan tegas menolak meratifikasi Protokol Kyoto.

Budaya Konsumtif ala Kapitalis

Sejarah perkembangan manusia sebagaimana digambarkan dalam ilmu antropologi dan sosiologi, bermula dari masyarakat komunal, dimana pada masa awal perkembangan peradaban, manusia yang satu dan manusia yang lain melakukan hubungan sosial - ekonomi dengan cara melakukan barter. Pada waktu kita mempelajari ilmu ekonomi di SMP dan atau SMU, kita diperkenalkan akan sebuah teori dasar ekonomi, yaitu: dengan modal sekesil-kecilnya, kita diharapkan mendapat untung yang lebih besar.

Kompetisi dimulai pada waktu manusia sudah tidak lagi memakai cara barter dalam pertukaran barang. Pada masa perbudakan, manusia satu mengeksploitasi manusia lain yang lebih lemah untuk mengambil untung dari situasi ini. Alat tukar yang digunakan sudah bukan lagi barter seperti pada jaman komunal.

Kita beranjak pada masa feodalisme, struktur dagang sudah lebih mapan dengan pola pemberian upeti oleh negara-negara vasal [negara atau wilayah bahawan] kepada induk feodal. Masa feodialisme memunculkan suatu metode baru yang mutakhir dalam proses ekploitasi manusia.

Strata sosial yang mendukung unsur penindasan lebih mapan pada jaman feodal, dimana negara sebagai kehendak Ilahi adalah pengejawantahan dari Tuan Tanah [kaum feodal atau ningrat] yang bertugas menjalankan negara sebagai amanah agung dan karenanya rakyat harus menjadi hamba paling setia yang tidak boleh membantah setaiap aturan yang dikeluarkan negara.

Kecenderungan konsumtif pada masa ini sudah sangat tersistem dengan model eksploitasi melalui metode land rente oleh kaum feodal. Petani dan petani penggarap dihisap melalui metode sewa tanah dan atau pengendalian pasar yang dilakukan oleh kaum feodal.

Pada masa kapitalisme merkantilis berkembang, metode eksploitasi yang digunakan adalah metode eksploitasi feodal yang dikombinasi dengan sedikit pola kapitalis. Pada masa kolonial, Belanda merupakan salah satu negara kapitalis yang menggunakan metode eksploitasi kapitalisme merkantilis.

Pada masanya, Kapitalisme awal dimunculkan oleh penemuan mesin uap di Inggris yang mendorong proses industrialisasi secara besar-besaran. Ketika mesin-mesin industri di Eropa Barat berkembang dengan sangat cepat, terjadilah sebuah proses eksploitasi besar-besaran dalam sejarah peradaban manusia melalui proses kolonisai.

Kolonisasi wilayah baru oleh negara kapitalis [Eropa Barat] pada awal abad ke 17 dan 18 adalah untuk memenuhi selera konsumtifnya para pemilik modal yang berkolaborasi dengan negara dan institusi gereja.

Trilogi 3G yaitu: Gold, Glory dan Gospel adalah trilogi kapitalisme yang dimungkinkan oleh meledaknya proses industrialisasi di Inggris. Trilogi ini muncul, bukan karena kebaikan hati orang barat untuk menyebarkan kebiakan [Injil] kepada manusia dibelahan dunia lain, tetapi hanya dipicu oleh tiga kebutuhan pokok:, yaitu: pertama; eksploitasi sumber daya alam di wilayah-wilayah lain yang lebih kaya, kedua; penyerapan tenaga kerja yang lebih murah [ingat perbudakan modern?] dan ketiaga; penciptaan pasar untuk mengambil keuntungan dari proses industrialisasi yang maju pesat di Eropa Barat.

Pada masa sekarang, metodologi penjajahan atau penghisapan sudah tidak dilakukan dengan menggunakan model fisik seperti pada jaman kolonialisme. Dalam perkembangannya, kapitalisme menggunakan model yang lebih halus dengan didukung oleh institusi atau instrumen eksploitasi yang lebih rapi, tersistem dengan menggunakan aturan hukum yang fleksibel berdasarkan kemauan para kapitalis.

Bank Dunia, WTO dan IMF, sekedar untuk menunjukkan contoh, adalah alat-alat legal yang dimiliki oleh negara-negara industri maju untuk mendikte negara berkembang dan miskin untuk mengamini pola konsumtif mereka yang tidak terkontrol. Proses eksploitasi sumber daya alam yang tak terkontrol dibekingi oleh industrialisasi modern di negara-negara maju menghasilkan fatamorgana kemanusiaan yang paling suram: kemiskinan bagi pemilik sumber daya alam [negara berkembang dan maju] dan kerusakan bumi akibat sikap serakah eksploitasi pemilik modal besar [Multi / Trans Nastional Corporation] yang dimiliki negara-negara industri maju.

Dampaknya jelas, kehancuran Bumi berakibat kehadiran fenomena baru "Pemanasan Bumi" yang oleh banyak ahli diprediksi akan menghancurkan kemapanan sistem sosial yang sudah terbentuk akibat bencana alam seperti badai, gempa bumi, tsunami dan banjir. Pemanasan Bumi akan menghasilkan apa yang disebut "manusia miskin baru." Barangkali kita masih ingat Tsunami Acheh? Jelas bahwa peristiwa alam yang maha dasyat itu telah menghasilakn manusia miskin baru dalam jumlah yang sangat besar. Bagaimana dengan Banjir Bandang yang terus melanda Asia Selatan [Bangladesh dan India]? Jelas juga kita melihat "manusia miskin" dimunculkan oleh bencana alam ini.

Bahkan para ahli memprediksi, akibat pemanasan bumi, proses migrasi akan terjadi. Bencana alam yang merusak bagian lain Bumi akan menghadilkan proses migrasi dari wilayah-wilayah dimana bencana terjadi. Migrasi adalah reaksi alami yang dimiliki manusia untuk menyelamatkan diri ke wilayah yang lebih aman. Tetapi bukan tanpa masalah, proses migrasi kelompok manusia ke wilayah lain yang lebih aman diperkirakan akan memunculkan konflijk perebutan lahan, konflik perebutan lahan memunculkan peristiwa politik yang kita kenal sebagai "perang."

Sejarah mencatat, proses industrialisasi yang maju di Eropa Barat akibat revolusi industri, telah memacu proses migrasi penduduk dari Eropa Barat untuk menduduki wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, selain untuk pemenuhan kebutuhan industrialisasi di Eropa Barat, tetapi juga penciptaan sistem pasar yang efektif dengan menggerakkan masyarakatnya yang sudah lebih maju dalam menjalankan mekanisme pasar di wilayah-wilayah baru. Proses migrasi penduduk Eropa Barat diperkirakan mencapai 66 juta jiwa pada masa-masa awal kolonisasi Asia, Afrika, Amerika Australia dan Pasifik, telah menghasilkan perang dunia pertama dan kedua.

Bukan tidak mungkin, pemanasan bumi yang semakin hebat dan perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi pada masa yang akan datang, akan memunculkan proses migrasi besar-besaran kelompok manusia dari wilayah bencana ke wilayah yang lebih aman yang akan memungkin terciptanya perang dunia. Bukan suatu wacaan baru, ini hanyalah catatan untuk mengingatkan betapa dasyatnya dampak yang dapat timbul akibat keserakahan manusia mengeksploitasi alam.

Fenomena pasar bebas [neo-liberaslisme] saat ini adalah fenomena konsumtif yang sudah tak terbendung lagi. Kemawahan membutuhkan kenyamanan dan "kedamaian semu" yang hanya diperoleh dengan jalan mengkonsumsi hasil produksi barang industri.

Kemewahan membutuhkan biaya yang besar dan hanya diperoleh oleh orang-orang kaya yang hidup mapan di negara-negara industri maju. Kemewahan membutuhkan konsumsi publik yang tidak sedikit. Demikianlah budaya konsumtif telah menjadi fenomena yang mengglobal dan paling merusak dalam sejarah perdaban manusia hari ini.

Amerika Serikat Yang Konsumtif, Bumi yang Merana

Pemenuhan kebutuhan energi AS yang besar membutuhkan pola atau sistem pendukung eksploitasi yang ampuh sesuai kebutuhan jaman. Prosesi perang Irak, kontrol minyak Timur Tengah, penguasaan pasar minyak dunia dan rencana atau kebijakan perang terhadap Iran yang dilakukan Amerika Serikat adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestiknya akan energi fosil [minyak bumi].

Penduduk AS yang konsumtif, tidak menghiraukan dampak sosial dan kemanusiaan yang ditimbulkan pemerintahannya akibat proses eksploitasi Multi National Corporation AS di negara-negara berkembang dan miskin untuk mendapatkan energi fosil.

Tetapi kita masih beruntung dan bisa secara obyektif menilai AS. Proses perlawanan rakyat AS menolak perang Irak misalnya, adalah sebuah gagasan kemanusiaan orisinil yang patut kita hitung sebagai naluri kemanusiaan yang tak bisa dibohongi.

Bahwa perang Irak bukanlah solusi final bagi AS untuk memenuhi kebutuhan energinya. Sebaliknya, Perang Irak, hanyalah merusak moral tentaranya yang bertugas di Irak, sekaligus menciderai peraraan seorang Ibu, yang akibat perang Irak, telah kehilangan anak laki-laki atau perempunnya yang bertugas di Irak, atau juga barangkali, perang Irak justru memisahkan dua pasang manusia yang baru saja merajut kasih untuk menggapai masa depan yang lebih baik.

Apa yang dilakukan the New Yorker [salah satu koran di AS] yang menentang pemberitaan media main-stream [CNN, Reuter, New York Times, Washington Post, dll] yang cenderung pro kebijakan luar negeri pemerintahan G.W Bush, mampu mendorong kesadaran sebagian rakyat AS untuk menolak perang.

Apapun yang terjadi di AS adalah wajar untuk dicermati sebagai kilas balik yang penting akan betapa pentingnya mendahulukan kemanudiaan daripada sekedar mengejar pemenuhan konsumsi minyak bumi [energi fosil] semata. [Bersambung....]

No comments: