Selamat pagi Ibu, saya sudah menulis kemarin, tidak banyak, hanya beberapa hal saja yang saya tulis. Saya baru saja menulis tentang Mohammad Atthar atau orang biasa menyebutnya Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Ibu tahu tentang dia kan? Ya, dia itu negarawan yang bijak, dia itu pendiri Republik Indonesia, ingat Bu, bukan NKRI ya, hanya RI. Hatta itu orangnya luwes, sederhana, tekun, displin, demokratis dan tentu saja orang yang bertakwa didalam agamanya. Saya menulis tentang pandangannya mengenai masa depan Papua yang bertolak belakang dengan Bung Karno. Saya harap Ibu bisa juga membacanya.
Wah...banyak yang menyerang tulisan saya dengan tindakan-tindakan yang tidak normal, irasional, dan bahkan sampai harus menyertakan propaganda salah satu partai dari negara boneka Neo-Kolonial hasil kunjungan partai mereka menghadap tuan besarnya, Uncle Sam! Mereka bilang saya harus minum susu lagi, biar tambah pintar. Mereka juga menyebut saya Dingo. Ibu tau Dingo tidak? Dingo itu sejenis anjing liar. Nasionalis Indonesia memanggil Australia dengan julukan itu. Whatever lah, kita tidak boleh terjebak dengan argumentasi dangkal mereka. Ibu tau kan? Saya ini Diary Papua, saya anak Papua asli, saya bukan Dingo seperti yang mereka katakan dan saya bukan budak Dingo atau budak Republik Baru Bisa Mimpi alias Republik BBM dan juga bukan Budak Uncle Sam yang mereka sembah-sembah itu.
Saya tidak tahu kenapa mereka menyerang saya dengan argumentasi dangkal semacam itu? Tapi biasalah, ini tindakan kelompok reaksioner, kawan-kawan saya digerakkan prodemokrasi Indonesia menyebut mereka “kelompok reaksioner kanan!” Ada juga yang menyebut mereka ini “reformis gadungan,” ya mereka itu Ibu, mereka itu yang menyerang saya dan menyebut saya Dingo.
Hehehehe…..Forgot than, let we talking about our future Mom, this is better than making a debate with crazy people like them! They are nothing! They are empty people! Mereka manusia robot yang tak mampu berpikir rasional.
Ibu ingat tahun 1996? Waktu itu anak-anak muda idealis yang menginginkan perubahan di Republik BBM, mendorong sebuah radikalisasi massa. Waktu itu Jendral Soeharto, pemimpin Fasis Militeristik Republik BBM merepresi salah satu partai yang disebut PDI, Harto takut jika Megawati menjadi pimpinan partai ini. Ibu tau kan? Megawati itu anak Soekarno pendiri NKRI, banyak rakyat kecil tidak sadar politik, mereka mudah diperdayai oleh simbol-simbol, dan Megawati, dalam konteks ini, dapat dianggap sebagai Ratu Adil yang nanti akan membebaskan rakyat dari segala malapetaka yang diciptakan oleh Regime Fasis-Militeristik Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Besar Soeharto, ini budaya Jawa, rakyat di Jawa memaknai pesan melalui simbol-simbol yang demikian, beda dengan kita Ibu, kita masih agak rasional.
Soeharto mengerti benar falsafah Jawa yang demikian, karena dia orang Jawa. Ibu, ingat ya, kita tidak sedang mendiskusikan prasangka ras disini, kita hanya sedang mendiskusikan falsafah dibalik budaya yang menjadi iman para pemimpin Republik BBM.
Kita kembali ke masalah semula. PDI bikin kongres di Medan [Sumut] sekitar tahun 1994 [?], maaf Ibu, saya agak lupa. Pada saat itu Mega diangkat menjadi pemimpin partai ini. Soeharto paham, kalau ini dibiarkan maka pamornya sebagai raja lalim penguasa tunggal Republik BBM pasti akan pudar, jalan satu-satunya adalah membuat kacau PDI. Caranya? Dia tidak merestui kongres partai tersebut dan bahkan menunjuk orang lain untuk menjadi pimpinan partai ini. Akibatnya? Rakyat yang sudah terlanjur berharap banyak pada Megawati sebagai titisan Ratu Adil memberontak dimana-mana.
Ibu tau tidak tentang Budiman Sujatmiko? Dia itu mantan pimpinan Persatuan Rakyat Demokratik [PRD], kemudian hari berganti nama menjadi Partai Rakyat Demokratik. Dia dan kawan-kawan lain masuk dalam situasi politik yang demikian dengan maksud meradikalisasi massa, mereka menyebutnya insurrection? Ya, barangkali begitu. Tujuannya jelas untuk membentuk kesadaran massa kearah yang lebih politis. Maklumlah di Republik BBM rakyat sudah tidak peduli lagi dengan politik, mereka apatis, mereka takut karena direpresi oleh penguasa Fasis. Mirip-mirip dengan kita di Papua sini Ibu, sama, cuming [meminjam istilah Bung Togog] masalah kita waktu itu terlewatkan dari pantauan rakyat lain di Republik BBM, karena kita jauh, kita ini ada di ujung Bumi, maka masalah kita waktu itu tidak terlihat dengan jelas oleh mereka yang lain.
Nah, pada waktu itu Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari, Andi Arief, Nezar Patria, Agus Jabo [sekarang Ketua Papernas], Wiji Thukul, Yoko [dulu kuliah di UII Jogja], Prabowo [bukan mantunya Harto loh, ini Bowo yang dulu kuliah di UGM ituloh Bu], Pius Lustrilanang dan banyak pemuda-mahasiswa lain yang bergerak secara clandestein maju ke depan public dan melakukan agitasi massa dengan tujuan supaya terbangun kesadaran untuk menghajar penguasa tunggal orde baru. Gerakan itu tidak berhasil penuh.
Kawan-kawan saya itu dihajar oleh orde baru dengan antek setianya, ABRI [TNI/Polri]. Banyak diantara mereka yang diculik, dibunuh dan hilang sampai hari ini, jasadnya tidak ditemukan, salah satu diantaranya adalah Wiji Thukul. Ibu belum mengenal tokoh kita ini kan? Saya akan menulis mengenai dia lain waktu.
Pada masa-masa itu, boleh dibilang, mereka yang sekarang saya sebut reaksioner kanan dan reformis gadungan ini, masih bergandeng tangan dengan pemuda-mahasiswa diatas dengan tujuan taktis menghajar orde baru. Tetapi, ketika kawan-kawan tadi dihajar oleh orde baru. Diculik, disiksa, dibunuh dan dihilangkan secara paksa oleh TNI/Polri, partai ini dan Megawati tidak berbuat banyak, bahkan menyaksikan kekejaman politik itu berlangsung didepan mata mereka.
Kini banyak pemuda-mahasiswa itu berpindah pilihan politik, masih ada yang tetap bertahan diarena perjuangan, sebut misalnya Dita Indah Sari, Agus Jabo, Yoko, Prabowo dan beberapa lain, sementara yang lain memilih berdamai dengan musuh, satu diantaranya Pius Lustrilanang, lainnya Budiman Sujatmiko, atau hanya ini merupakan taktik untuk tetap bertahan dipanggung politik? Saya kurang tau. Ibu Tau kan mengenai Budiman Sujatmiko? Dia kini memimpin sebuah institusi bikinan PDI-Perjuangan, yaitu Res Publica, itulah dia Ibu-ku. Bagaimana dengan Dita Sari? Dia masih tetap Ibu, masih dijalan yang dia pilih. Agus Jabo malah makin heboh sekarang, dia itu pemimpin Partai Persatuan Perjuangan Pembebasan Nasional [Papernas], keren kan Bu? Namanya keren, sama, tapi tidak sama persis seperti nama Front kita, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat [Front PEPERA PB]. Lalu bagaimana dengan yang lain? Mereka juga sedang bergerak, ya, bergerak menggapai matahari yang belum terjamah!
Hmmm….sudah terlalu panjang hari ini kita berdiskusi Ibu, biarkan saya kembali menulis artikel lain, biar saya menghajar batok kepala kelompok reaksioner kanan yang kini menjadi kaki tangan imperialis global itu! Biar rongsok batok kepala mereka dengan tajam kata-kata saya!
Ibu masih mau dengar soal Megawati? Nanti ya, besok akan saya buatkan tulisan khusus mengenai dia. Tentang semua hal. Terutama masa kepemimpinannya di PDI-P, dan bagaimana perannya dalam politik praksis di Papua setelah dia menjadi presiden Republik BBM.
Cukup dulu Ibu, sampai ketemu besok!
Tuesday, 19 June 2007
Mereka Menyebut Saya Dingo?
Posted by Papuan Diary at Tuesday, June 19, 2007 0 comments
Labels: editorial
Ibu, Saya Musti Menulis Sekarang!
Aku Menulis….Aku Penulis terus menulis….Sekalipun Teror Mengepung!
[Wiji Thukul, Puisi Di Kamar]
Penggalan puisi karya Wiji Thukul diatas menggambarkan gundah jiwa saya, ya, disini, saya hanya bisa menulis, kebebasan saya dipasung oleh sebuah sistim yang tiran. Saya tidak lagi bisa melakukan aktivitas saya sebagaimana biasanya. Kemerdekaan saya dibatasi! Ya, saya tidak hidup sebagai manusia merdeka, saya tidak dapat berdiskusi seperti biasa dengan kawan-kawan yang saya rindukan, bahkan untuk sekedar menyebut nama, saya harus menggunakan nama ini: Diary Papua!
Lalu apakah saya harus tenggelam dalam hempasan sejarah yang terus menggelora? Tentu tidak, saya musti menulis, ya, saya musti menulis, sebab dengan menulis, pesan saya tersampaikan kepada kawan dimedan juang, sebab dengan menulis, saya berharap bia memberikan pencerahan dibalik kemunafikan tiranik dan tamak yang sedang menghinggapi jiwa-jiwa haus kekuasaan dan sistem yang sedang menghisap Tanah Papua.
Siapa yang hendak membuat saya patuh? Tidak, jangan harapkan kepatuhan saya, saya tidak diijinkan untuk mematuhi orang-orang dan juga sistem yang menindas, nurani saya memberontak dan mengatakan “Kau tidak boleh surut dalam langkahmu, ikuti matahari, teruslah ikuti mataharimu, songsong pagi di Timur, kau akan melihat Cahaya Bintang Fajar [Kejora/Sampari] memberikan sinar harapan bagi kebebasan rakyatmu!”
Barangkali kalian sadar, bahwa dengan memasung kebebasan saya sebagai manusia, maka sampai disitu keberanian saya untuk tetap berjuang hilang lenyap? Tidak, anda salah, saya tidak terbiasa patuh kepada mereka yang menindas, kecuali pada rakyat dan kepada Ibu yang melahirkan saya!
Setelah belasan tahun tidak bertemu, suara yang merdu, berwibawa dan menyejukkan itu, akhirnya kembali menggelitik gendang telinga saya. Ibu, terima kasih, kau telah memberikan harapan lebih besar bagi saya untuk tetap melanjutkan cita-cita yang belum tercapai, saya tetap disini, saya masih tetap anakmu, seperti yang kau besarkan dengan penuh kasih sayang, hanya karena system yang rusak seperti inilah, saya harus berpisah dengan Ibu, tidak lama, sebentar lagi pasti kita bertemu, ketika waktu kemengan sudah kita capai. Banyak kawan, banyak orang lain seperti Ibu berharap pada saya, dan saya akan menepati janji yang sudah terikhtiar direlung jiwa saya untuk tetap mematuhi panggilan nurani saya dan bertahan hidup serta berjuang walaupun ditengah badai sekalipun!
Saya sedang giat menulis hari ini Ibu, biar saya kabarkan pesan ini untukmu. Saya hanya bisa menulis untuk masa-masa ini, suatu waktu saya akan bergerak seperti biasa lagi, pada waktu itu, Ibu akan tahu, anak masih tetap dijalan yang Ibu harapkan. Ya, begitulah. Saya masih menyimpan gumpalan tanah yang Ibu berikan waktu saya akan berangkat ke luar dari Tanah dimana kita hidup bersama Ibu. Saya masih menyimpannya. Tanah itu memberikan harapan lain bagi saya untuk punya alaan tetap hidup. Ya, sebab disitu Ibu sudah berikan pesan yang jelas.
“Nak, kau boleh saja menimbah ilmu setinggi langit, bahkan sampai harus menyeberang pulau dan benua, tetapi kau harus ingat, dari material ini kau ada, dari Tanah kau dibentuk menjadi manusia, kembalilah suatu masa untuk membangun Tanah ini, kembalilah suatu saat untuk bersama-sama Ibu dan rakyat bebaskan Tanah ini dari tirani, dari mereka yang merampas Tanah ini dari, kembalilah suatu waktu untuk bersama Ibu menghancurkan system yang menindas dan menghisap ini!”
Mungkin itu maksud Ibu memberikan segumpal Tanah yang kau bungkus rapi dengan kresek kecil disamping rumah paman 12 tahun lalu? Itu makna yang saya dapat Ibu dan saya hanya berharap akan bertemu Ibu lagi, disamping tumah itu, biar Ibu bisa membuka kembali kresek itu dan letakkan kembali Tanah yang kau bungkus rapi di kresek itu, untuk dikembalikan ke tempatnya semula.
Wah…Ibu, cukup dulu ya, saya sudah banyak curhat hari ini dengan Ibu, tetapi saya akan lanjutkan lagi. Saya musti bilang ke mereka bahwa saya tidak takut, saya menolak patuh, saya menolak disebut pengecut dan saya juga menolak dikatakan menghianati kawan dan Tanah yang Ibu berikan. Tidak, saya masih tetap setia dengan Tanah itu dan juga tetap setia kepada kawan-kawan yang telah mengajarkan banyak hal lain kepada saya untuk tetap punya alasan hidup dan berjuang.
Napoleon Bonaparte, pemimpin besar Prancis abad 18 mengatakan “Mata pena jauh lebih tajam dari ujung bayonet sekalipun!” Setajam apa? Setajam tulisan yang dibuat. Saya membuat tulisan untuk alasan itu. Saya harus menusuk musuh-musuh saya dengan setiap tulisan yang saya buat. Saya harus menghabisi setiap musuh kita dengan tulisan-tulisan yang tajam. Hanya dengan pena dan tulisan yang dibuat, saya yakin dapat mematahkan batok kepala paling keras sekalipun di dunia ini. Hanya dengan pena dan tulisan yang dibuat, saya yakin dapat meruntuhkan system yang menindas. Itu keyakinan saya.
Kini saya musti menulis, terima kasih Ibu!
Posted by Papuan Diary at Tuesday, June 19, 2007 0 comments
Labels: editorial