Salam,
Terima kasih, saya mendapat feed back yang baik dari beberapa rekan. Saya kira usulan Mas Stepanus dan Bung Patrick relevan untuk dipertimbangkan oleh sebuah harian berita sekaliber Kompas ini. Saya kira, teman-teman di Kompas juga masih memiliki hati nurani, walaupun kadang-kadang hati nurani itu dihadapkan langsung dengan kepentingan "pasar" dan "pemerintah."
Inilah yang menjadikan Kompas, sebagai salah satu media main stream, saat ini, sudah banyak diprotes, bukan oleh saya, tetapi oleh pembaca maupun oleh rekan-rekan wartawan lain, yang beranggapan bahwa Kompas lebih memihak "pemilik modal" atau Kompas lebih memihak pada mereka yang "memasang iklan" dan bukan kepada pembacanya, apalagi rakyat miskin.
Saya tidak berharap bisa mengubah paradigma itu di Kompas, itu hak yang wajar, sewajarnya sebuah institusi bisa maju diengah pesatnya neo-liberalisme yang makin menggila. Saya kira itu juga pilihan Kompas atau manajeman Kompas untuk menghidupi ribuan karyawan atau buruhnya. Itu wajar. Itu logis.
Tetapi, saya, sejak awal hanya hendak kritik atau kasih teguran buat Kompas, supaya Kompas, paling tidak sebagai sebuah media yang besar, juga bisa menerima masukan atau opini dari orang-orang pinggiran seperti saya dan atau rakyat Papua pada umumnya, yang "JAUH DI MATA, JAUH JUGA DIHATI!"
Kejauhan kami dari hiruk pikuk politik nasional, menenggelamkan kami dipusaran dugaan tak beralasan, yang dengan sengaja dan sadar dibangun oleh mesin-mesin negara [TNI/Polri/BIN/BAIS, Birokrasi Sipil dari Pusat Sampai Daerah] untuk tetap mempertahankan "NKRI Harga Mati!" Untuk tetap mempertahankan sebuah "Pencurian Sumber Daya Alam Papua" tanpa kita sebagai orang Papua pemilik langsung atas sumber-sumber itu dilibatkan, kecenderungan yang terjadi malah sebaliknya: diabaikan, dikucilkan, ditindas, diusir dari Tanah-Tanah Adatnya, ditembaki, dipenjara, dibunuh, dll.
Itu masalah besar sudara2. Ini maslah besar bagi saya dan juga 2,5 juta orang yang hari ini hidup di Tanah Papua. Banyak cerita memilukan, yang jika diungkapkan satu per satu, akan menguak begitu dalam luka jiwa saya. Saya seorang pemuda yang tidak bisa tinggal tenang meilihat situasi ini.
Saya baru berusia 28 Tahun saat ini, dan selama 28 tahun kehidupan saya di Tanah Papua dan atau di Indonesia, saya diajarkan oleh hidup. Saya dibesarkan oleh sebuah nilai yang bernama: PENJAJAHAN! Ketika saya memperolah cukup ilmu untuk melawan sitem yang menindas, maka saya dengan sepenuh jiwa mengambil jalan itu, bahkan saya adalah orang yang paling dicari-cari selama ini oleh Polda Papua karena dituduh terlibat dalam peristiwa Abepura Berdarah, 16 Maret 2006.
Beruntung saya masih memiliki sejumlah kawan, saya masih memiliki sejumlah sahabat yang dengan lapang dada menerima saya dan yang mendengar keluh kesah saya, bisa menerima saya ketika saya sedang bersusah hati, bisa memberi ketika saya meminta, bisa memberi saya harapan untuk hari ini hidup. Untuk mereka, saya tidak bisa berkata apa-apa, saya menyimpan tindakan mereka dalam relung jiwa saya yang paling dalam, ungkapan terima kasih saya, hanya bisa saya katakan lewat hubungan kita yang saya akan tetap abadi, sampai suatu ketika yang punya hidup memanggil saya untuk menghadap hadirat-Nya.
Saya sorang pemuda yang sudah lebih 15 tahun tidak bertemu Ibu kandung saya, hanya karena sebuah cita-cita perjuangan yang belum tuntas saya lakukan. Tapi Ibu yang juga setia itu, yang sudah dua kali saya bicara langsung dengannya melalui telepon, dia-lah yang terus memberi semangat agar saya tetap bertahan hidup dan berjuang untuk menggapai kebebasan sejati: PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA! Ya, berjuang! Berjuang MENGGAPAI MATAHARI YANG BELUM TERGAPAI.
Salam Dari Timur!
Papuan Diary
Aku Akan Tetap Menulis!
-----------------------
Feed Back:
--------------------
Bung Patrick [1]
-------------------
Pak Stephanus Mulyadi Yang Terkasih,
Sebelumnya mohon maaf lho Pak, saya juga sangat sepakat dgn opini Bpk. Percaya atau tidak, saya dibesarkan di luar Jawa, dan ketika berada di Jawa, baru saya saksikan dgn mata kepala sendiri betapa pembangunan di Indonesia terpusat di pulau yg miskin sumber daya alam ini (bila dibandingkan dgn pulau-pulau besar lainnya).
Dan, saya juga sepakat dgn opini Bpk, pendekatan utk mengatasi separatisme yg berorientasi "security first" (menekankan pada stabilisasi politik-keamanan, pertahanan negara, dll) sudah TIDAK ZAMANNYA LAGI!
Jadi, mari kita katakan SONTOLOYO kepada org yg berkata, Mari Tumpas Gerakan Separatisme (dan seruan yg sejenisnya)!!!
Padahal, konsepsi keamanan (security) tidak hanya berkutat kepada aspek militer semata!! Aspek non-militer (kesejahteraan/ekonomi, sosial-budaya, diplomasi, dll) juga merupakan bagian dari keamanan!!!!
Saatnya utk berkata, mari atasi separatisme dgn pendekatan yg berorientasi kpd "human security first"!! "human security"?
Yaa..human security...pendekatan yg jauh melampaui orientasi keamanan (baca: politik & militer)!!!
Salam hangat,
Patrick Hutapea
--------------------
Bung Patrick [2]
--------------------
Pak Mulyadi,
Sepertinya sudah jelas tuhh...ada rakyat di Papua yg ingin merdeka!! Tidak perlu diperjelas lagii...
Kita yg di Jawa ini saja yg masih butuh penjelasan! Bagi mereka, sudah jelas kok!!
Bila memang ingin melihat masalah dari sudut pandang rakyat Papua, pikirkan seperti ini: Kenapa hampir semua pembangunan berpusat di Pulau Jawa? Ya..pulau Jawa....Bayangkan, semua universitas terbaik ada di Jawa...Hampir semua uang yang beredar di Indonesia beredar di Jawa...Jelas bukan??
Sedangkan, sumber-sumber daya alam di Jawa, masih kalah jauh dengan Papua, Kalimantan, dsb...
Sederhana khn? Tidak usah menggunakan penjelasan lagi! Seperti kata Gus Dur, "gitu aja kok repot!"
Salam,
Patrick Hutapea
-----------------------------------
Bung Stephanus Mulyadi [1]
-----------------------------------
Rekan Patrick,
Bagi mereka yang di Papua, di Maluku, di Aceh, di Kalimantan, dan di mana lagi, memang sudah jelas, mengapa mereka ingin merdeka. Bagi mereka memang tidak diperlukan penjelasan lagi. Saya juga tidak bilang bahwa bagi mereka belum jelas, mengapa mereka ingin merdeka, dan karena itu butuh penjelasan.
Saya mendukung rekan Papuan Diary untuk memberikan penjelasan menurut sudut pandang mereka. Dan penjelasan itu ditujukan pada orang-orang yang masih butuh penjelasan: mengapa mereka yang di luar Jawa ingin merdeka. Mungkin sebagian orang-orang yang butuh penjelasan ini berada di Jawa, seperti rekan Patrick katakan. Kepada mereka ini perlu diberikan penjelasan.
Selama ini penjelasan yang ada justru berasal dari orang-orang yang di Jawa, yang, seperti Patrick katakan, masih butuh penjelasan. Orangnya saja masih butuh penjelasan (belum mengerti dengan jelas permasalahannya?), kok malah gaya-gaya kasih penjelasan, kasih opini dan dimuat di koran-koran dan TV. Orang gak ngerti permasalahan malah kasih penjelasan, ya penjelasannya: kalau tidak nagwur ya ngasih opini sesuai dengan isi perutnya saja. Akibatnya permasalahan di daerah tak pernah terselesaikan dengan baik.
Selama ini saya membaca penjelasan mereka yang di Jawa itu sebenarnya bukan memberikan penjelasan, tetapi lebih memberikan PENGADILAN, sepihak, bahwa keinginan merdeka dari rekan-rekan di luar Jawa dinilai sebagai tindakan yang salah dan karena itu harus DITUMPAS! Lihat kata-kata yang dipakai: " DITUMPAS!"
Rekan Papuan Diary berusaha menjelaskan keinginannya untuk merdeka, ya berikan peluang padanya. Mungkin apa yang rekan Patrick katakan itu benar, tapi sekali lagi, itu kan menurut Mas Patrick, yang ada di Jawa.
Ini juga masalah, sering kali orang di Jawa merasa sudah tahu permasalahan di daerah, dan coba merumuskan permasalahannya. Sebagian mereka bisa merumuskannya dengan benar, tapi banyak yang tidak! Masalahnya di mana? Masalahnya terletak pada: mereka ini tidak mampu merasakan seperti apa perasaan orang di luar Jawa ketika menerima perlakuan sebagian orang dari Jawa selama ini terhadap mereka, terutama atas pembangunan dan penikmatan hasil kekayaan alam di luar Jawa.
Untuk rekan Papuan Diary,
bicaralah Papuan Diary. Ungkapkan perasaan Anda. Tuliskan opini Anda. Anda bisa bicara sendiri, tidak perlu diatasnamakan oleh orang yang di Jawa.
Untuk Mas Patrick: mungkin baik Anda baca lagi tulisan dari Papuan Diary, dalam konteks apa dan mengapa dia meminta pada Mas Agus untuk diijinkan menulis opini versi dia di FPK/Kompas.
Marilah kita belajar "mau repot" dengan persoalan yang dihadapi oleh rekan-rekan kita.
Salam dari luar Jawa
Mulyadi
----------------------------------
Bung Stephanus Mulyadi [2]
-----------------------------------
Rekan Papuan Diary,
Saya kira Mas Agus akan menerima opini Anda kalau dituliskan di FPK [Forum Pembaca Kompas]. Tuliskan saja. Memang seharusnya juga juga opini dari sudut pandang teman-teman dari Papua. Terutama mengenai apa yang dimaksud dengan "PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA ADALAH HARGA MATI!" atau "MERDEKA" dari sudut pandang rekan-rekan dari Papua. Dengan demikian masalahnya menjadi jelas.
Dengan masalah yang jelas barangkali kita dapat memikirkan lebih lanjut apa yang terbaik kita lakukan bersama.
Salam
Mulyadi
Tuesday, 17 July 2007
NKRI Harga Mati! [Kritik Untuk Harian Kompas-Bagian I]
Posted by Papuan Diary at Tuesday, July 17, 2007 0 comments
Labels: editorial
Subscribe to:
Posts (Atom)