Ditulis Oleh: Diary Papua*
PAPUA dapat dilambangkan sebagai bara yang sedang membara dalam sekam, ia menyimpan begitu banyak masalah yang harus diurai satu per satu dengan bijaksana. Benang kusut masalah Papua yang demikian sukar telah menyebabkan banyak tafsir berbeda yang dimunculkan dalam rangka mengurai kembali kekusutan permasalahan Papua yang pelik itu. Sebab jika tidak, kekusutan masalah itu justru menjadi bumerang bagi para pihak yang terkait dengan masalah Papua.
TELAH lama muncul dua ekstrim yang berbeda dalam memandang masalah Papua dari sudut pandang masing-masing. Satu ekstrim menghendaki adanya perbaikan manajemen negara yang selama 44 tahun ‘integrasi’ Papua kedalam NKRI, dijalankan dengan kombinasi politik yang eksploitatif, represif, korup, anti-HAM dan setengah hati oleh berbagai regime yang pernah memimpin Indonesia. Sementara ekstrim lainnya menghendaki permasalahan Papua diselesaikan berdasarkan fakta-fakta sejarah manipulatif yang melatarbelakangi integrasi Papua kedalam NKRI.
Sejak munculnya gerakan reformasi di Indonesia, pertarungan dua ekstrim ini semakin jelas dan meruncing. Sampai kapan pertarungan ini akan berakhir?
Sikap Jakarta Yang Egois dan Otsus Yang Bermasalah
Sebenarnya untuk meredam aspirasi gerakan kemerdekaan Papua yang meluas pasca reformasi 1998 telah dicapai beberapa keputusan politik untuk mencari jalan tengah penyelesaian politik Papua. Salah satu jalan tengah itu adalah pemberian Otonomi Khusus bagi Papua yang ditetapkan pada tanggal 21 November 2001 oleh Megawati Soekarno Putri, namun tidak dijalankan dengan konsukuen bahkan keputusan politik Jakarta itu dibiarkan mengambang
Pemerintahan Mega yang ultra-nasionalis tidak menghendaki adanya kompromi dengan memberikan kebijakan politik yang menguntungkan Papua dan bahkan dalam beberapa hal mendekati ideal ‘merdeka’ penuh karena ada beberapa pasal dalam UU Otsus yang mengatur dan mengakomodir simbol-imbol perjuangan Papua merdeka. Karena hal itu maka UU Otsus yang telah ditetapkan tidak dijalankan dengan baik. Padahal banyak kalangan yang lebih moderat, baik di Jakarta maupun Papua, menghendaki Otsus dijalankan sebagai alasan untuk meredam aspirasi merdeka rakyat Papua dan juga mengobati luka politik yang telah lama dibuat Jakarta terhadap Papua.
Tidak sampai disitu, kelompok ultra-nasionalis di Jakarta mempraktekkan pula politik devide it empera bagi rakyat Papua dengan mendorong pembentukan povinsi Irian Jaya Barat (sekarang disebut Papua Barat) dengan dipaksakannya pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999 Mengenai Pembentukan Povinsi Irjabar, Irjateng, Kota Sorong, Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Mimika. Produk politik itu dikeluarkan pada jaman pemerintahan sebelumnya tetapi tidak dijalankan oleh karena bertentangan dengan semangat rekonsiliasi yang hendak diambil sebagai jalan tengah penyelesaian sengketa politik Jakarta – Papua yang memanas pada saat itu.
Komitmen Jakarta terhadap Papua sedikit berubah ketika SBY menjadi presiden RI. Pada tanggal 24 Desember 2004, bertempat di Jayapura, presiden SBY mengumumkan PP No.54 Tentang MRP. Seperti diketahui, MRP adalah salah satu perangkat penting yang harus dibuat sebagai prasyarat dijalankannya Otsus Papua.
Banyak kalangan menilai langkah politik SBY tersebut dapat meredam aspirasi rakyat Papua dan meredam gejolak politik yang terus menggeliat di Papua. Ternyata tidak sama sekali. Sikap dua muka yang masih dijalankan SBY dan kabinet Indonesia bersatu dalam penyelesaian masalah Papua berbuntut konflik yang tidak mampu diredam. Harapan banyak kalangan agar pemerintahan SBY mampu mencari jalan baru penyelesaian masalah Papua masih jauh dari harapan dan boleh dikatakan stagnan.
Pembiaran terhadap pembentukan Povinsi Irian Jaya Barat yang bertabrakan dengan semangat rekonsiliasi yang hendak dibangun Jakarta terhadap Papua melalui pemberlakuan Otsus sekali lagi diciderai dengan kelahiran povinsi IJB yang prematur. Anak haram bernama IJB itu kini telah mendapat pengakuan legal dari Jakarta walaupun kelegalan hukum itu terkesan dipaksakan dan jauh dari semangat UU Otsus Papua.
Barangkali banyak kalangan di Jakarta beranggapan, pemberian Otsus sudah merupakan solusi final penyelesaian masalah Papua dalam bingkai NKRI. Tetapi barangkali mereka lupa, proses historis dan proses politik Papua yang sudah bermasalah sejak ‘integrasi 63’ hingga pelaksanaan ‘pepera 69’. Faktor ‘integrasi 63’ dan ‘pepera 69’ adalah dua faktor penting yang musti diuraikan permasalahannya dengan jelas sehingga benar-benar dicapai sebuah jalan baru yang paling efektif dalam penyelesaian masalah politik Papua.
Sikap Jakarta yang egois dalam menyelesaikan masalah Papua berdasarkan cara-cara Jakarta, tidak banyak menghasilkan sebuah produk politik yang positif bagi Papua. Egoisme itu terlihat jelas ketika rakyat Papua menolak pembentukan povinsi IJB dan menuntut supaya anak haram itu tidak disahkan keberadaannnya di Papua.
Walaupun kehadiran IJB bertolak belakang dengan Otsus Papua, tetapi Jakarta yang sudah terlanjur menjalankan politik dua muka, tetap memaksakan agenda politiknya. Semula benturan politik akibat kebijakan politik Jakarta banyak ditentang oleh grass-root, tetapi ketika IJB terbentuk, konflik itu menjadi arena konflik antar elit Papua versus IJB maupun Papua versus Jakarta.
Secara hukum, keputusan MK, di satu pihak menyatakan UU 45/1999 batal demi hukum sejak diundangkan UU 21/2001 (21/11/ 2001) tentang Otsus Papua, tapi di lain pihak MK tetap mengakui keberadaan Irian Jaya Barat.
Keputusan MK yang banci itu sungguh mengherankan bahkan diskursus tentang hal ini terasa tidak memperoleh sorotan publik. Publik Indonesia seakan-akan tidak melihat persoalan Papua sebagai masalah penting. Padahal kompleksitas masalah Papua selama 44 tahun lebih integrasi, tidak pernah mau diselesaikan secara baik dan benar oleh Jakarta.
Kini IJB telah menjadi status quo. Gerilya politik masih saja dilakukan oleh pihak yang berkepentingan agar Otsus dijalankan dengan pihak yang mempertahankan status quo Irian Jaya Barat. Pada saat ini episode baru memasuki konflik Papua. Semula Papua vs Jakarta, kini Papua vs Papua.
Suatu tanda keberhasilan intiligen memainkan perannya dalam politik Papua? Jawabnya pasti ya, karena pengkondisian konflik yang telah mengarah menjadi Papua vs Papua adalah bukti dari keberhasilan itu. Walau konflik itu terjadi ditingkat elit yang memiliki kepentingan langsung terhadap Otsus dan pemekaran, tetapi interest itu sejak awal sudah masuk kedalam wilayah kesadaran politik rakyat, dan barangkali saja kemungkinan terbuka konflik horizontal antara rakyat bakal terjadi.
Kita berharap, kesadaran semu elit politik Papua itu tidak menghegemoni kesadaran sejati rakyat yang benar-benar menginginkan perubahan situasi politik Papua kearah yang lebih baik dan adil. Rakyat tetap harus kritis dan harus menjaga diri agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan antara elit birokrasi Papua maupun Irian Jaya Barat yang hidup bergelimang duit Otsus diatas penderitaan rakyat itu.
Konflik Otsus versus pemekaran Irian Jaya Barat juga menjadi tanda yang nyata bahwa sikap politik Jakarta memang tidak jelas sama sekali dalam menyelesaikan masalah Papua. Jakarta membuat aturan, Jakarta pula yang melanggarnya. Jakarta pula yang telah menciptakan konflik tak berkesudahan. Inilah suatu model egoisme politik Jakarta yang, dalam masa tertentu, akan menjadi bumerang bagi dirinya jika tidak cepat-cepat keluar dari ambiguitas politik tersebut.
Demoralisasi dan Ketamakan Elit Papua
Banyak kalangan elit Papua yang melihat pertarungan politik Jakarta - Papua sebagai lahan yang subur bagi bargaining politik yang menguntungkan. Dengan menggunakan simbol-simbol dan sentimen merdeka yang disuarakan rakyat, mereka mampu memberikan tekanan kepada elit Jakarta untuk mengikuti kemauan mereka.
Oportunisme elit Papua yang demikian tidak bertepuk sebelah tangan sebab kelompok ultra-nasionalis di Jakarta juga melihat isyu pemekaran sebagai suatu media untuk mempersempit ruang konflik politik di Papua. Jika konflik yang selama ini terjadi adalah antara Papua versus Jakarta maka dalam taktik ini, konflik hendak diubah menjadi konflik antara Papua versus Papua, yang dalam beberapa hal telah berhasil dilakukan.
Sikap-sikap oprtunisme politik yang ditunjukkan oleh elit-elit Papua sangat bertentangan dengan kemauan rakyatnya. Mereka bahkan bersukacita ditengah kemiskinan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Golongan ini bahkan tidak mampu mengilhami suatu perspektif baru penyelesaian Papua yang lebih komprehensif, bermartabat dan adil berdasarkan apa yang dikehendaki rakyat.
Oportunisme politik yang melanda jiwa-jiwa haus kekuasaan yang bergentayangan diseluruh Papua itu, disatu sisi mampu mereduksi makna dari tuntutan rakyat yang sebenarnya untuk menyelesaikan masalah Papua dan disisi yang lain memberikan sebuah keuntungan ekonomis yang tidak sedikit. Mereka hidup mewah diantara kemiskinan yang dialami mayoritas rakyat.
Munculnya Irian Jaya Barat dan beberapa kabupaten yang baru dimekarkan merupakan contoh yang dapat dilihat mengenai mentalitas oportunis dan korup dari para elit Papua yang bermental budak ini. Sebuah gambaran jelas tentang mentalitas budak ini dapat dilihat dari apa yang mereka lakukan selama ini. Tidak dapat disangkal, mentalitas budak elit Papua itu berujung pada korupsi besar-besaran yang melanda berbagai jenjang birokrasi diseluruh Tanah Papua. Mentalitas yang demikian berakhir dengan penghambaan membabibuta terhadap elit pusat di Jakarta dan modal asing.
Mungkin dapat dikatakan, kampiun sejati dari korupsi saat ini adalah elit birokrat dan anggota legislatif di Papua. Birokrat dan anggota legislatif saat ini adalah birokrat dan anggota legislatif yang dihasilkan dimana bangunan konstitusional RI sedang dilawan oleh rakyat Papua. Kita semua tahu, perlawanan rakyat itu telah menghasilkan sebuah paket politik Otsus Papua. Otsus menjadi sumber uang yang tidak kecil bagi elit birokrat dan legislatif ini. Dengan dalih mengerjakan tugas-tugas rutin pemerintahan, mereka berhasil mengkorupsi milyaran rupiah uang rakyat.
Sebagai contoh. Hasil temuan BPK dalam laporannya mengenai penggunaan APBD oleh beberapa kabupaten baru hasil pemekaran menunjukan penggunaan dana-dana APBD yang tidak jelas. Temuan BPK dalam pemeriksaan APBD tahun anggaran 2004-2005 itu melaporkan, pengeluaran diluar penghasilan bupati dan jajarannya serta pimpinan dan anggota DPRD –misalnya untuk dana operasional, kelancaran tugas dan uang sidang– nyata sekali merugikan dan tidak menyentuh kepentingan rakyat.
Dana-dana rakyat yang dikorupsi itu terjadi meluas diseluruh Papua. Sebut misalnya Kab. Tolikara dengan jumlah dana yang diselewengkan berjumlah Rp. 2,56 miliar, Kab. Mappi Rp. 1,51 miliar, Kab. Boven Digul Rp. 1,50 miliar dan Kab. Keerom Rp. 1,86 miliar. Itu baru permulaan, belum lagi kolaborasi raja-raja lokal ini dengan pemilik modal yang langsung akan berurusan dengan mereka dimasa-masa akan datang jika hendak melakukan investasi ekonomi. Tentu korupsi mereka akan semakin menggila.
Dapat dibayangkan, ditengah jerit rakyat, mereka berpesta pora. Otsus dengan dana yang 6 trilyun rupiah itu semakin menjadikan mereka lupa daratan. Rakyat lapar, korupsi jalan terus, mungkin realitas ini tepat untuk digambarkan.
Jadilah rakyat kini tidak saja harus bersikap tegas terhadap Jakarta yang egois, tapi juga harus bersikap keras terhadap anak-anak adat-nya yang sekarang telah menjadi guru besar koruptor. Benar juga pepatah katakan ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari.’ Pepatah ini tepat untuk melukiskan betapa buruknya mental birokrat Papua yang korup dan bermental budak itu.
Dulu Soeharto dan kroni-kroni mengajarkan mereka korupsi, kini mereka bahkan mengalahkan Soeharto dan kroni-kroninya dalam hal korupsi, inilah paradoks lain yang sedang menggeliat di Papua. Sebuah paradoks keserakahan elit birokrat Papua ditengah kemiskinan dan penindasan yang terjadi pada rakyat Papua.
Provokasi Modal Asing dan Kepentingan Eksploitasi Mereka
Kehadiran raksasa tambang seperti Freeport dan British Petroleum di Papua juga memberikan ruang bagi pengkondisian konflik politik Papua. Seperti diketahui, Freeport adalah salah satu pemodal asing yang membuka jalannya politik liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tumbangnya kekuasaan orde lama Soekarno yang anti Barat.
Freeport McMoran Gold & Copper, yang kontrak karyanya diteken pada tanggal 7 April 1967, adalah merupakan sebuah perusahaan tambang yang berhasil masuk ke Papua disaat masalah Papua masih belum selesai status politiknya. Pada saat itu rakyat Papua belum menyatakan sikap apakah bergabung dengan NKRI atau tidak. Bolehlah dikatakan kehadiran Freeport merupakan bukti langsung intervensi modal asing –imperialisme– dalam konflik politik di Papua.
Sampai saat ini Freeport masih dipersoalkan keberadaannya oleh rakyat Papua karena beberapa aspek. Pertama, Freeport adalah raksasa tambang yang menandatangani kontrak karya dengan pemerintah Indonesia disaat status politik Papua belum final, dalam arti apakah Papua sudah berada dalam NKRI atau belum?
Dapat dibayangkan betapa kalkulasi politik Papua dipertaruhkan dan dihitung oleh karena kepentingan modal asing ini. Kedua, dalam menjalankan eksplorasi dan eksploitasi tambangnya, berbagai praktek pelanggaran HAM dengan sistematis dilakukan terhadap penduduk asli Papua yang mendiami areal konsesi tambang Freeport. Ketiga, kerusakan lingkugan yang demikian parah telah terjadi diwilayah tambang Freeport, suatu reklame buruk dengan jelas telah disampaikan Freeport.
Keempat, kontrak karya generasi kedua baru saja dikukuhkan Freeport pada tahun 1997 dimana masa kontrak tambang tersebut akan berlangsung untuk jangka waktu empat puluh tahun dan baru berakhir pada tahun 2027.
Sebagai suatu multi nationals dengan sumber dana yang melimpah, Freeport berkolaborasi dengan birokrat dan militer Indonesia. Bagi birokrat sipil dengan mentalitas korup, Freeport menjadi ladang uang yang tiada habisnya dan oleh karenanya dengan berbagai cara harus dijaga keberadaan dan proses eksploitasinya. Bagi militer, Freeport menyediakan segalanya bagi operasional mereka. Tidak sedikit elit Papua yang larut dalam iming-iming kekayaan Freeport dan mereka telah menjadi budak paling setia yang selalu meluluskan keinginan raksasa tambang itu tanpa peduli nasib rakyat.
Munculnya provokasi pembentukan povinsi Irian Jaya Barat disebabkan oleh kehadiran raksasa tambang gas alam cair (LNG) British Petroleum di Bintuni. Kehadiran BP di Tanah Papua adalah merupakan sebuah proyek bagi-bagi keuntungan antara pihak imperialis. AS telah memiliki Freeport yang menambang selama hampir 40 tahun di Papua, dan untuk menjaga pengaruh dan kepentingan eksploitasinya, AS memberi peluang bagi Inggris, sebagai sekutu terdekatnya, untuk juga mengambil untung dibalik konflik politik Tanah Papua yang belum tuntas.
Selain memang untuk melakukan sharing ekspolitasi tetapi juga politik imperialisme AS yang demikian adalah untuk membendung pengaruh kekuatan ekonomi dunia baru seperti China dan Jepang, dan juga negara industri baru seperti Korea Selatan yang juga berminat dalam penambangan gas alam cair (LNG) di Papua. BP memang belum beroperasi tetapi keuntungannya yang milyaran dollar sudah dapat dihitung jika mereka mulai melakukan eksploitasi yang nanti akan eksis pada tahun 2008 - 2009 nanti.
Kunjungan PM Inggris, Tonny Blair, ke Indonesia pada akhir Maret 2006 –tidak lama setelah kedatangan Menlu Amerika Serikat Condoleeza Rice– yang kebetulan bersamaan dengan menguatnya perlawanan rakyat Papua atas keberadaan Freeport pada awal tahun 2006, jelas bukan tanpa alasan dan kepentingan. Bukan pula melulu suatu kebetulan kalau Papua belum dieksplorasi secara menyeluruh. Potensi kekayaan Papua yang melimpah dibidang tambang menguatkan dugaan keberadaan uranium. Sebagai bahan baku pembuatan nuklir, uranium nampaknya juga dimiliki Papua.
Beberapa teori geologi pecahan lempeng mengatakan benua Australia, Pulau Papua (Papua Nugini dan Papua), dan Timor Leste adalah satu daratan. Bukan mustahil Papua adalah sumber potensial uranium bagi Amerika Serikat dimasa depan. Uranium terbentuk dalam supernova, jauh sebelum zaman Pangaea. Berlanjut dengan terpisahnya lempeng Australia yang sekarang dikenal sebagai benua Australia dan Pulau Papua, endapan mineral yang terkandung dalam lempeng tersebut kemungkinan besar sama.
Australia dikenal sebagai salah satu produsen Uranium. Data terakhir tahun 2004 menyebutkan negara produsen uranium terbesar tercatat Kanada (11.597 metrik ton (t) = 1000 kg) dan Australia (8.982t). Disusul Kazakhstan (3.719t), Nigeria (3.282t), Namibia (3.038t), Rusia (3.200t), Uzbekistan (2.016t), Amerika Serikat (878t), Ukraina (800t), Afrika Selatan (755t), Cina (750t), dan Cekoslovakia (412t) (lihat: http://www.wise-uranium.org/umaps.html).
Bukan tidak mungkin, Papua yang memiliki formasi geologis yang sama dengan Australia itu memiliki cadangan deposit uranium sehingga perlu sejak awal dipagari AS untuk memperkuat pengaruhnya diwilayah ini. Pertarungan negara-negara nuklir ditingkat global menunjukan sebuah babak baru peta politik global yang harus dicermati secara sadar. Negosiasi AS dan UE yang berlarut-larut dengan Iran dan Korea Utara dalam hal pengayaan nuklir kedua negara, nampaknya tidak akan berhasil.
Hal tersebut menyebabkan AS kebakaran jenggot. Sebagai negara konsumen uranium terbesar didunia, AS sudah harus melirik daerah potensial lain yang konfliknya bisa diminimalisir dan bahkan diredam serta mudah untuk dikuasai dan Papua menjadi menjadi lahan yang ideal dalam hal ini.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik politik yang terjadi di Papua, tidak terjadi secara terpisah, konflik itu muncul disertai kuatnya pengaruh modal asing atau imperialisme global didalamnya. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri ditengah masa imperialisme global yang tengah menggurita dengan paket ekonomi politik neo-liberalnya dewasa ini.
Seperti Freeport, kehadiran BP yang menjanjikan fulus menggiurkan telah membuat ngiler elit Papua yang tamak dan koruptor-koruptor di Jakarta yang haus kekayaan. Tindakan logis, menurut pandangan mereka, untuk mempermudah pengerukan fulus dari BP adalah dengan jalan membagi dua Papua. Maka terbitlah UU No. 45 Tahun 1999 yang mengatur pemekaran povinsi Irjabar, Irjateng, Kota Sorong, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai dan Kabupaten Puncak Jaya. Untuk mempercepat rekayasa pemekaran diterbitkanlah Inpres Nomor 1 Tahun 2003 Tentang percepatan pembentukan povinsi Irian Jaya Barat.
Bukan suatu kebetulan jika Irian Jaya Barat akhirnya harus dibuat menjadi status quo oleh Jakarta, karena Irian Jaya Barat, dalam pandangan elit Jakarta, akan menjadi pion yang dimainkan dalam dinamika percaturan politik Papua yang semakin meruncing. Dilain pihak, Irian Jaya Barat juga menjadi ladang baru sumber ekonomi dengan kehadiran British Petroleum.
Rupanya ekonomi menjadi determinan pokok yang menyebabkan konflik politik yang berlarut-larut di Papua dan jelas sekali modal asing memiliki investasi politik kotor dalam penciptaan situasi konflik itu.
Mengapa Rakyat Lakukan Perlawanan?
Sudah biasa dalam sejarah, jika rakyat ditindas dan hidup dalam kemiskinan, pastilah akan lahir perlawanan dari rakyat itu sendiri, bahkan perlawanan itu bisa melahirkan suatu revolusi sosial dan politik. Hukum sejarah ini tidak dapat dibantah. Secara politik, perlawanan yang terjadi di Papua dilatarbelakangi oleh cita-cita perjuangan kemerdekaan yang sudah dimulai sejak awal 1960-an pada saat terjadinya konflik kepentingan antara Indonesia dan Belanda dalam hal Papua.
Selain itu, perlawanan rakyat di Papua, juga didasari oleh fakta-fakta sejarah yang melatarbelakangi bergabungnya Papua kedalam NKRI. Ketika United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan Papua ke dalam kendali administrasi Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 banyak pihak di Jakarta beranggapan bahwa Papua telah menjadi bagian integral NKRI.
Tetapi sesungguhnya proses tersebut hanyalah untuk menjalankan aturan-aturan dalam New York Agreement dimana diatur penyerahan Papua kedalam tangan PBB oleh Belanda dan selanjutnya kedalam administrasi pemerintahan Indonesia, tetapi masih dalam pengawasan PBB, sampai dilaksanakannya suatu plebisit atau jajak pendapat untuk menanyakan pendapat rakyat Papua apakah ingin bergabung dengan NKRI atau memilih merdeka.
Pelaksanaan Act of Free Choice sebagaimana diatur pasal XVIII New York Agreement dengan metoda demokrasi yang berlaku secara universal, seperti diketahui, ternyata dijalankan dengan metoda-metoda demokrasi feudal Indonesia, yang berhasil dilakukan dengan kombinasi operasi militer dan intiligen. Proses ‘penentuan pendapat rakyat’ (PEPERA) yang manipulatif dan curang itu juga menjadi suatu dasar mengapa rakyat Papua bangkit dan melawan berbagai pihak yang telah menggadaikan hak-hak politik rakyat berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional yang telah mereka buat sendiri. Dalam hal ini bukan saja Indonesia tetapi Belanda, USA dan PBB juga turut andil.
Masuknya imperium modal asing di Papua setelah kontrak karya generasi pertama yang dilakukan Indonesia dan Freeport McMoran Copper & Gold Inc, salah satu multi nationals yang dimiliki AS, pada awal April 1967 juga bermasalah karena dilakukan dua tahun sebelum dilangsungkannya Act of Free Choice pada tahun 1969.
Pelaksanaan administrasi pemerintahan yang sentralistik, militeristik dan korup sepanjang 30 tahun kekuasaan orde baru, meninggalkan jejak kekejaman negara atas wilayah Papua. Operasi militer selama 20 tahun –terhitung sejak 1978 hingga 5 Oktober 1998– yang diberlakukan pasca gejolak berdarah pada tahun 1977 didaerah pegunungan tengah Papua, terutama di Wamena, juga menjadi andil dalam perlawanan rakyat Papua saat ini.
Dua dekade operasi militer menghasilkan reklame buruk pelanggaran HAM Indonesia di Papua. Terjadinya eksodus ke wilayah negara tetangga (Papua Nieuw Guinea) oleh kurang lebih 30.000 jiwa penduduk asli Papua yang terjadi pada tahun 1984 diseluruh wilayah Papua dengan jelas dapat digambarkan sebagai satu bentuk nyata betapa kejamnya tindakkan represi pemerintah Indonesia atas Papua.
Dibidang ekonomi, Papua dapat dikatakan sebagai lumbung uang yang tiada habisnya. Selama tiga decade ini, Papua menyumbang tidak kurang dari 24 trilyun rupiah setiap tahunnya kedalam pundi-pundi kekayaan NKRI, sumbangan devisa itu terus meningkat dan kini mencapai nilai 30 trilyun rupiah setelah masuknya raksasa tambang gas alam cair British Petroleum dengan proyek Tangguh-nya di Teluk Berau, Bintuni, Tanah Papua. Sumber devisa itu berasal dari bidang pertambang 56,10 persen, sektor pertanian 16,09 persen dan sektor lainnya dibawah 10 persen.
Sumbangan devisa yang demikian besar dalam APBN Indonesia tidak seimbang dengan pembangunan dan kesejahteraan yang didapatkan rakyat Papua selama ini. Sebagai contoh, pada tahun 1996-1997, pendapatan asli daerah yang masuk ke kas APBD Papua hanya sebesar Rp. 21 miliar. Bahkan ditengah perlakuan Otsus saat ini, Papua semula hanya kebagian 1,3 trilyun rupiah –sekarang bertambah menjadi 6 trilyun rupiah, suatu ketamakan nampaknya masih diperlihatkan Jakarta. Sampai saat ini 40 persen penduduk asli Papua hidup dalam kemiskinan struktural. Sebuah paradoks yang menyakitkan hati ditengah bergelimangnya kekayaan alam Tanah Papua yang begitu melimpah.
Kombinasi antara represi negara, kemiskinan structural rakyat, ketidakadilan dan sikap acuh tak acuh Jakarta yang masih ada sampai saat ini dengan pelaksanaan Otsus yang jalan ditempat semakin menyadarkan rakyat untuk melakukan perlawanan atas berbagai bentuk kemunafikan politik dan ketidakadilan yang terjadi selama ini dalam kehidupan rakyat Papua.
Nampaknya pertarungan dua ekstrim yang selama ini terjadi di Papua tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Sikap politik Jakarta yang ambigu dan malpraktek pemerintahan yang semakin parah di tengah pertarungan Pemerintahan Otsus Papua Vs Provinsi IJB dan konsistensi perlawanan rakyat yang semakin meruncing akan berakhir dimana? Tentu sejarah akan menjawabnya. Jika pendulum politik yang berpendar secara tidak terkontrol di Tanah Papua itu dibiarkan saja oleh Jakarta, bukan tidak mungkin revolusi sosial akan muncul di Papua untuk mengakhiri penindasan yang tak kunjung berakhir. ***
Monday, 18 June 2007
Malpraktek Manajemen Pemerintahan Atas Papua
Posted by Papuan Diary at Monday, June 18, 2007
Labels: demokrasi dan hak asasi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment