Sebuah Catatan Perjuangan Penegakkan Nilai-Nilai Adat dan Budaya Tanah Papua, Yang Mulai Lekang Dikikis Dominasi Budaya Barat dan Melayu!
Fenomena yang menarik minat! Itu kesan pertama yang timbul dalam benak saya, melihat begitu asyiknya media massa mengulas aksi-aksi budaya yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dari Asmat. Bukan nilai baru, bukan pula nama baru. Asmat sudah dikenal dunia Internasional jauh sebelum perhelatan "Eksebisi Budaya Asmat" yang digelar di Lokasi Karnaval, Ancol, Jakarta, sejak tanggal 12 dan berakhir tanggal 19 Agustus nanti.
Mengurai Kejayaan Mambesak
Eksebisi Budaya Asmat ini dipimpin oleh Bupati Asmat, Bung Juven Biakai. Jauh sebelum menjabat Bupati, Juven adalah seorang pekerja seni, yang antara lain bersama Donatus Moiwend [dari suku Marind Anim, suku yang tinggal di Kota Maroke dan sekitarnya] mendorong laju maju budaya Selatan Papua dipanggung Budaya Papua pada tahun 1980-an.
Donatus sebagai seniman mural, hasil karya tokoh ini dapat dilihat di katedral Jayapura. Sementara pada masa-masa itu, Juven Biakai bekerja sebagai staff kurator museum seni dan antropologi Universitas Cenderawasih, dibawah kepemimpinan budayawan Papua, Alm. Arnold Ap.
Bukanlah sebuah kisah baru. Sebagai anak muda yang ambil peran aktif dalam kampanye-kampanye penguatan Budaya Papua dibawah koordinasi Alm. Arnold Ap pada awal 1980-an, Bung Juven Biakai tentu memiliki wawasan yang sama dengan Arnold Ap. Keutamaan gagasan dan wawasan itu adalah mempertahankan dan menyelamatkan eksistensi ke-melanesia-an Budaya Asmat dan Papua secara keseluruhan.
Saya memaknai Eksebisi Budaya Asmat kali ini dalam pandangan yang demikian. Ia bukan melulu menjadi sebuah upaya cita-cita kosong yang diletakkan begitu saja dalam kerangka semantis bahasa yang sederhana, tetapi sudah menjurus ke aras sosiologis yang dalam, sedalam saya memaknai Asmat sebagai Papua dan sedalam saya memaknai Papua sebagai Melanesia!
Menggugat Kebinekaan Yang Tak Berbineka!
Nuansa politis terlihat jelas dalam Eksebisi Budaya Asmat ini, hal ini terbaca karena bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia, tetapi secara terhormat, pemimpin-pemimpin Suku Asmat secara terbuka sudah katakan bahwa Eksebisi Budaya Asmat kali ini tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai upaya mensejajarkan relevansi kearifan tradional Asmat yang agung dengan budaya-budaya lain di nusantara. Dengan kata lain, Asmat hendak menampilkan ciri khususnya sebagai Suku besar di Papua yang sejak jaman dulu sudah membangun peradaban yang luar biasa eksotis, sebagai alternatif untuk orang luar memandang Asmat dan Tanah Papua.
Asmat hendak bilang bahwa Anda sekalian tidak boleh memandang Asmat atau Papua dalam stereotipe "primitif", "kanibal", "terbelakang", "pemabuk", "suka akan kekerasan", "tertinggal", "bodoh" dan sejumlah stereotipe lain yang sudah tertanam pada seluruh benak orang-orang Indonesia.
Asmat hendak bilang bahwa kalau Anda menjunjung Bhineka Tunggal Ika, maka Anda harus benar-benar hayati makna itu, jangan sekedar slogan kosong yang nyaring bunyi bagai tong kosong! Ini fenomena sosial yang sedang terjadi dan secara jujur saya harus katakan bahwa telah terjadi dominasi berlebihan oleh budaya-budaya tertentu di Indonesia yang itu menghambat laju maju budaya-budaya Papua.
Itulah yang ditawarkan Asmat dan itulah yang harus diterima dengan terbuka oleh semua pihak. Sudah banyak benar yang dikorbankan Masyarakat Adat Papua pada tatanan nilai luar dan kisruh ekonomi-politik yang menjadikan kita [orang Papua] sebagai korban paling empuk dari sistem imperialisme yang kejam dan yang dibantu oleh komprador paling setianya, yaitu pemerintah RI dan TNI/Polri.
Bagaimana Mbalim?
Apa yang berlangsung di Lembah Agung Mbalim [Wamena] hari ini adalah sebuah upaya kamuflase politik dengan target tertentu. Saya melihat upaya dikumpulkannya 40 Suku didaerah Pegungungan Tengah Papua untuk mendorong eksebisi budaya diwilayah ini adalah semata-mata untuk membalikkan opini, seakan-akan di Mbalim tidak terjadi pelanggaran HAM, seakan-akan di Mbaliem tidak terjadi penambahan pasukan yang berlebihan, seakan-akan di Mbalim Anda dapat menemukan kedamaian. Omong kosong! Ini muslihat, itu pembohongan terhadappublik.
Seperti sebuah fenomena politik domino, apa yang terjadi di Mbalim, Jayapura dan Ancol, adalah sebuah taktik tertentu untuk pura-pura mengakomodir Melanesia kedalam semangat NKRI. Bukankah ini mendekati HUT RI? Wajar begitu, tetapi yang tidak wajar adalah: NKRI dan aparatusnya tidak pernah mau jujur katakan bahwa mereka gagal membangun Papua.
Kita diadu oleh logika politik yang dibolak-balik. Rakyat kecil tidak mampu memahami ini secara benar, maka adalah wajar jika kritik harus secara terbuka saya letakkan disini sebagai upaya menetralisasi politisasi budaya Melanesia yang sedang berlangsung hari-hari ini dan entah sampai kapan? [Bersambung]
Tuesday, 14 August 2007
Antara Juven Biakai dan Arnold Ap [Bagian I]
Posted by Papuan Diary at Tuesday, August 14, 2007
Labels: editorial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment