Tuesday, 9 December 2008

Mendung masih menggantung di langit HAM

Oleh : Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM
Edisi : Rabu, 10 Desember 2008 , Hal.4

UUD 1945 memberikan jaminan bagi setiap orang untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan dasarnya. Bahwa negara, terutama pemerintah mempunyai kewajiban sebagaimana dimandatkan di dalam konstitusi untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).

Tulisan ini merupakan catatan reflektif atas kondisi HAM di Indonesia sepanjang 2008, sebagai bagian dari merayakan 60 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Hak sipil & politik

Dalam konteks hak sipil dan politik, jaminan perlindungan dan pemajuan HAM khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Menyangkut hak-hak dan kebebasan sipil warga diperkuat dengan diundangkannya UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Namun demikian, sejumlah peraturan perundang-undangan justru mengurangi kebebasan dan penghormatan hak-hak warga negara seperti UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Komnas HAM mencermati bahwa munculnya ketentuan-ketentuan yang multi tafsir dan kontroversial justru dikhawatirkan merupakan bentuk intervensi negara atas kehidupan dan hak asasi manusia, terutama yang berdampak langsung pada hak dan kebebasan dasar kelompok-kelompok minoritas, terutama kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). UU itu berpeluang mengakibatkan terjadinya pelanggaran kewajiban negara untuk menghormati hak asasi manusia.

Reformasi institusional juga terjadi pada lembaga-lembaga yudisial berupa penguatan peran sejumlah lembaga state auxiliaries seperti Ombudsman RI melalui UU No 37/2008 dan mulai bekerjanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dapat menjadi mekanisme penegakan hak asasi. Berbagai kemajuan ini tampak membawa implikasi positif pada administrasi keadilan kebebasan politik, dan pelayanan publik.

Sepanjang 2008, berbagai kemajuan di bidang HAM dan kebebasan dasar itu diadang oleh perilaku kekerasan mayoritas terhadap kelompok minoritas agama maupun politik. Para pemeluk agama minoritas maupun aliran kepercayaan berikut kelompok-kelompok yang mendukungnya diperlakukan bukan saja secara diskriminatif, namun juga mengalami kekerasan fisik dan serangan terhadap sekolah-sekolah dan rumah ibadah, seperti yang masih dialami oleh Jemaah Ahmadiyah, Jemaah Al-Qiyadah Al Islamiyah Siroj Jaziroh, Gereja Tani Mulya, dan Gereja Kristen Pasundan Dayeuh Kolot.

Selain itu, diskriminasi ini juga terjadi dalam bentuk peraturan-peraturan daerah berlandaskan syariat yang berdampak langsung terhadap penghormatan dan kebebasan dasar dari berbagai kelompok minoritas dalam masyarakat. Ironisnya, dalam menghadapi masalah demikian, negara cenderung melakukan pembiaran bahkan mengkriminalkan korban. Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah di mana terdapat jurang yang lebar antara yang landasan normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain terutama di tempat-tempat di mana orang dirampas kebebasannya.

Selain itu, Komnas HAM juga mengamati sejumlah kasus salah tangkap (seperti pada kasus Imam Hambali alias Kemat dan David Eko Priyanto), dan berbagai kekerasan yang dilakukan dalam operasi preman. Selama 2008 ini, Komnas HAM mencatat bahwa sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya belum mampu mengungkap dan menjawab kasus pembunuhan Munir, aktivis HAM.

Kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diundangkannya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM masih menumpuk di tangan penyidik. Sampai akhir 2008 ini, setidaknya tujuh hasil penyelidikan Komnas HAM masih macet di Kejaksaan untuk kasus Penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Mei 1998, kasus Semanggi I, kasus Semanggi II, kasus Wamena, kasus Wasior dan kasus penculikan aktivis 1997-1998.

Hak Ekosob

Pelaksanaan hukuman mati selama 2008 masih menunjukkan angka yang tinggi. Pada periode Januari-Juli 2008, sebanyak enam terpidana mati dieksekusi dan diikuti dengan tiga orang terpidana mati bom Bali dan rencana eksekusi dua orang terpidana mati lainnya pada akhir tahun ini.

Dalam konteks hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak Ekosob), masih ada pandangan yang melihat hak Ekosob bukan sebagai hak asasi, baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat sipil, dan terutama sektor bisnis. HAM terutama hak Ekosob tidak digunakan sebagai paradigma dalam penyusunan kebijakan pembangunan (rights-based approach).

Akibatnya, meskipun berbagai kebijakan pembangunan dibuat, namun hak warga negara tetap tidak terlindungi dan terpenuhi dan korban-korban pelanggaran terus menerus berjatuhan, seperti pada kasus-kasus penggusuran, kurang gizi/gizi buruk, pemutusan hubungan kerja secara massal, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar justru dilindungi dan pada gilirannya meniadakan hak asasi terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Sepanjang 2008, Komnas HAM mencatat masih tingginya tindakan penggusuran rumah-rumah dan permukiman rakyat. Bahkan tindakan-tindakan tersebut didukung dengan legislasi daerah dan anggaran yang cukup besar. Sebagian besar, penggusuran tersebut dilakukan tanpa memberikan solusi nyata kepada rakyat mengenai tempat tinggal yang baru yang semakin menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan pemukiman bagi rakyat miskin.

Komnas HAM mengamati secara serius permasalahan gizi buruk serta tingginya kematian ibu dan anak Balita yang seperti fenomena gunung es karena jumlah anak Balita yang mengalami gizi buruk lebih dari asumsi yang sudah diperkirakan berbagai pihak, terutama untuk wilayah-wilayah terpencil. Kasus-kasus itu meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kebutuhan pokok lainnya. Sebenarnya, ada pemerintah berupaya menanggulanginya melalui program bantuan langsung tunai (BLT) dan program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Komnas HAM mencermati bahwa program BLT yang telah dilakukan, alih-alih mengurangi jumlah orang miskin tapi justru membuat orang miskin semakin tergantung.

Persoalan semburan lumpur panas Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, telah mengakibatkan masalah pelik dari aspek teknis dan sosial. Keputusan Presiden Nomor 14/2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo, warga mendapat ganti rugi secara bertahap.

Namun penyelesaian ganti rugi itu pun masih berlarut-larut dan korban masih belum juga mendapatkan hak-haknya. Lambannya sikap Pemerintah, ditambah lagi dengan masih dilakukannya negosiasi ulang untuk pembayaran ganti rugi tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah, tidak saja abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak-korban, namun juga lemah dalam berhadapan dengan korporasi.

Berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh, Komnas HAM mencermati bahwa jaminan terhadap hak atas pekerjaan, hak-hak pekerja termasuk di dalamnya untuk mendapatkan upah yang adil, hak-hak untuk berserikat, terhalang oleh dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global.

Dengan berbagai potret kondisi di atas, Komnas HAM memandang bahwa hak asasi manusia dan kebebasan dasar belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh warga negara. Boleh dikatakan mendung masih menggantung di langit HAM di Indonesia sepanjang tahun 2008 ini. -

Sumber:
http://www.solopos.net/zindex_menu.asp?kodehalaman=h04&id=251977

1 comment:

joe said...

Jika kita baca buku “Kenapa Berbikini Tak LAnggar UU Pornografi,” (ada di gramedia) maka yang menolak UU POrn seharusnya mendukung, sebalilknya yang mendukung seharusnya menolak. Kenapa bisa begitu? Dunia memang sudah terbolak-balik. Biar kita tidak terbolak-balik juga, maka buku di atas sangat penting tuk dibaca.