Jalur Adat dan Agama dalam wacana perjuangan pembebasan nasional Papua Barat kini menjadi penting untuk dibicarakan, tidak saja menarik minat sejumlah aktivis Papua Merdeka tetapi telah menjadi kebutuhan bagi Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat [GPNPB] untuk memasifkannya sebagai sebuah diskursus pembanding bagi IDEOLOGI pembebasan nasional Papua Barat.
Saya tidak banyak memahami tentang Agama lain, tetapi dari perspektif Kristiani, saya hendak mengulas beberapa prinsip dasar Agama, yang kemudian oleh aliran Filsafat Materialisme Dialektika Historis [MDH] dianggap sebagai candu! Sampai disini, saya hendak menerjemahkan kembali konsukuensi logis dari pernyataan Karl Marx dalam bukunya "Das Capital" yang menganggap Agama sebagai "candu!"
Marx menganggap Agama sebagai candu rakyat ketika "Gereja" yang teleh dilembagakan menjadi alat mencari untung segolongan pimpinan gereja yang menjadikan umat bukan sebagai domba-domba pilihan untuk penebusan sang bayi natal, Yesus Kristus, tetapi umat dijadikan domba-domba perahan, yang kapan saja diambil keuntungan dari kaum papa yang menjadi anggota gereja, misalnya dengan menarik uang persepuluhan atau perembahan yang dalam kebiasaan gereja Kristen disebut "uang persembahan!"
Uang persembahan oleh orang yang menyebut dirinya "Hamba Allah" atau "Hamba Tuhan" yaitu golongan pendeta atau pastor kemudian biasanya memanfaatkan persembahan tersebut untuk memperkaya diri sendiri, dan ini masih terjadi di Gereja Modern hari ini. Apa yang dibayangkan Karl Marx, seorang keturunan Yahudi Jerman, dalam filsafatnya MDH, kemudian menjadi pembenaran bagi golongan umat kristen terpelajar untuk menjadi Atheys atau tak beragama lalu dikaitkan pula dengan Ideologi Komunis atau Sosialisme yang dianggap tidak menganggap keberadaan Tuhan sebagai sang pencipta.
Ulasan singkat saya diatas hendak saya tempatkan dalam pandangan pribadi saya mengenai keberadaan Agama Barat [Kristen] dan Agama Adat yang sesungguhnya telah mengakar kuat ditengah-tengah kehidupan Masyarakat Adat [Indigenous People] seperti misalnya Suku-suku Melanesia di Tanah Papua.
Adat mengajarkan kepada kita [saya sebagai manusia Melanesia] untuk menjaga hak ulayat [Tanah, Sungai, Gunung] dimana saya berada dan menjalani hidup sebagai manusia dalam kehidupan kolektif keluarga, marga dan suku.
Jika saya memiliki hak memakai tanah dalam lingkup keluarga, itu berarti saya juga mewakili marga saya dan atau suku saya sebagai sebuah entitas nilai yang hidup.
Tanah bagi orang Melanesia adalah sakral. Ia merupakan kehormatan dan harga diri yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan, karena pencipta langit dan bumi, menurut pandangan saya sebagai orang Melanesia, telah membagi-bagi Tanah dibumi ini kepada setiap suku-bangsa berdasarkan haknya masing.
Orang Eropa berkuasa atas Tanah mereka di Eropa, Orang Indian di Amerika, Orang Melanesia di Pasifik [termasuk Australia dan Zelandia Baru], orang Arabb di Jazirah Timur Tengah dan Magribi, orang Afrika di Tanah Afrika, orang Tioghoa di China atau katakanlah orang berbudaya oriental berkuasa diatas Tanah mereka dibagian bumi yang disebut Oriental, termasuk Korea dan Jepang.
Agama modern mengajarkan orang untuk saling mengasihi dan memberi serta membagi apa yang dimiliki kepada sesamanya, sementara agama adat mengajarkan kepada kita bahwa apa yang kita miliki [misalnya; Tanah]haruslah kita jaga, sebab itu merupakan hak kesulungan yang diberikan Tuhan untuk masing-masing suku-bangsa sesuai peruntukkan masing-masing.
Ketika terjadi perang salib, manifestasi untuk menghargai hak kesulungan sudah tidak berlaku maka muncullah apa yang kita kenal dewasa ini sebagai Imperialisme / Kolonialisme. Negara-negara Eropa Barat yang tamak mulai membagi bumi dan menguasainya dengan tiga tema suci: gold, glory and gospel.
Inilah kekeliruan awal manusia yang mulai saling menguasai dan menjajah dan mulai saat inilah rusaklah wajah bumi yang indah yang telah diciptakan Tuhan bagi manusia untuk dipakai bagi kehidupannya.
Ulasan singkat diatas, akan saya lanjutkan dengan memperbandingkan Budaya Oriental, Barat, Timur Tengah dan budaya-budaya "kelas dua" misalnya Melanesia, untuk memperkaya tulisan ini dari sisi Budaya Melanesia.
Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat [GPNPB] sedang memulai menggerakan semangat Adat dalam perspektif perjuangan pembebasan nasional kita, oleh karena itu hal ini menjadi penting untuk didiskusikan dan diperdebatkan sehingga kita bisa mengambil nilai-nilai yang baik dari Komunisme/Sosialisme, Agama Samawi, Kebudayaan Oriental, dan Agama Adat Melanesia sendiri.
----Bersambung----
Thursday, 29 January 2009
Agama Adat dan Agama Samawi [Pengantar]
Posted by Papuan Diary at Thursday, January 29, 2009
Labels: demokrasi dan hak asasi, editorial, tokoh politik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment