Thursday, 7 June 2007

Lingkungan: Penguasa Versus Pengusaha

Oleh : Paul E. Wally*

WALHI, organisasi lingkungan terkemuka di Indonesia, berhasil menang di pengadilan melawan pertambangan tembaga dan emas PT Freeport, operator pertambangan raksasa Grasberg di Papua Barat. Sementara itu, militerisasi ditingkatkan di daerah pertambangan setelah adanya keputusan pihak keamanan untuk memberikan perlindungan terhadap segala ancaman dari para 'kelompok separatis' yang diduga akan terjadi!

Pada tanggal 28 Agustus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa Freeport bersalah telah melanggar Undang-undang Lingkungan Hidup (No.23 Tahun 1997).

Perusahaan raksasa ini diperintahkan untuk memperbaiki pengaturan sistem pembuangan limbahnya. Putusan pengadilan, bahwa Freeport telah dengan sengaja menyembunyikan informasi dan memberikan penjelasan palsu dan tidak akurat, sehingga menyesatkan masyarakat.

Kasus WALHI diluncurkan tahun lalu setelah terjadinya batu longsor pada tanggal 4 Mei di waduk Wanagon. Freeport membuang sampah batu yang berlebihan dari daerah pertambangan ke danau buatan ini. Longsoran tersebut menyebabkan gelombang air, endapan lumpur dan batu yang berlebihan melimpah ke lembah Wanagon dan menyebabkan banjir di kampung Waa dan Banti, beberapa kilometer dari waduk. Empat buruh bangunan terbawa arus, diperkirakan mati.

Dalam siaran pers Freeport menjelaskan seolah-olah insiden ini disebabkan oleh tingginya curah hujan Manajemen perusahaan mengklaim, kecelakaan tersebut tidak membahayakan kesehatan maupun berdampak lingkungan. Namun Badan Pengawas Dampak Lingkungan (Bapedal), melaporkan bahwa perusahaan menggunakan danau untuk pembuangan ampas asam, dan ketika insiden terjadi, endapan di dalam danau mengandung bahan yang beracun dan berbahaya.

Kasus serupa juga terjadi sebelumnya. Tahun 1999 terjadi tranah longsor. Tapi Freeport tetap menganggap itu dikarenakan tingginya curah hujan. Padahal, menurut penyelidikan Bapedal, salah satu penyebabnya adalah pembuangan limbah secara berlebihan yang dilakukan perusahaan sehari sebelum terjadinya insiden. Perusahaan melakukan pembuangan dua kali lipat jumlah yang diijinkan.

Pengadilan memerintahkan Freeport untuk meminimalisasi resiko batu longsor berikutnya di Wanagon. Perusahaan juga harus mengurangi produksi limbah beracunnya agar kualitas air dapat memenuhi standar.

Walhi menuntut agar perusahaan diberi hukuman harus mengeluarkan permohonan maaf kepada masyarakat melalui media nasional dan internasional, tapi ditolak pihak pengadilan.

Freeport, menolak keputusan pengadilan dan akan naik banding. WALHI juga akan naik banding melawan pengadilan yang menolak tuntutannya terhadap Freeport untuk menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat.

Direktur Advokasi Walhi, Longgena Ginting menggambarkan keputusan pengadilan tersebut sebagai 'kemenangan kecil', namun mengakui dampak positifnya terhadap pegiat lingkungan yang berkampanye melawan pengrusakan lingkungan oleh perusahaan pertambangan. Bagi Direktur Walhi, Emmy Hafid, kemenangan di pengadilan itu hanyalah sebuah langkah pertama karena masih banyak perusahaan lain yang memperdayakan masyarakat.

Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim pada waktu itu menyambut baik keputusan pengadilan. ‘‘Ini adalah untuk pertama kalinya pengadilan menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat…,’ ujarnya kala itu.

Diantara para pejabat Jakarta, Menteri sebelum Nabiel, Sonny Keraf adalah kritikus yang paling gencar mengkritik Freeport.

Menanggapi tudingan Walhi, pengamat maupun masyarakat, James Moffet, Direktur Utama perusahaan induk, Freeport McMoran, mengatakan, bahwa 'Freeport Indonesia' memberikan dan akan selalu memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam segala aspek yang menyangkut operasi PT FI.

Bukan rahasia lagi, Freeport tidak pernah mau mengakui bahwa ekses dari usaha mereka telah mengakibatkan terpolusinya sungai. Ironisnya, Freeport tetap menolak anggapan bahwa buangan batu atau limbah yang dibuang ke aliran sungai setempat itu beracun.

Setelah bencana Wanagon, perusahaan tersebut diperintahkan untuk mengurangi pembuangan tambangnya dari 230.000 ton per hari menjadi 200.000 ton. Pada bulan Januari perusahaan diijinkan untuk memulai operasi dengan tingkat produksi yang lebih tinggi.

Limbah yang diangkut oleh aliran air ke 'daerah pembuangan' seluas 130 km2 terletak di dataran tepi laut sebelah selatan pertambangan, diduga telah mengakibatkan Laut Arafura terpolusi dan mengakibatkan banjir perkebunan sagu dan hutan yang merupakan sumber kehidupan rakyat setempat.

Pada awal tahun ini, Walhi memberikan estimasi polusi berdasarkan data satelit bahwa daerah daratan seluas 35,820 hektar dan 84,158 hektar lepas pantai telah terkena dampaknya, terutama di muara sungai Mawati dan Kamoro. Walhi kemudian menghimbau perusahaan untuk menghentikan pembuangan limbah di sungai-sungai.

Dampak Sosial dan keamanan
Dampak sosial pertambangan terhadap masyarakat adat setempat, Amungme dan Kamoro, memang sangat terasa –termasuk usaha terlambat pihak perusahaan untuk mengatasi kritik dengan menawarkan uang untuk 'pengembangan masyarakat' serta lapangan kerja di pertambangan.

Permasalahan sosial termasuk kurang memadainya sarana perumahan dan permasalahan kesehatan sehubungan dengan in-migrasi dan alkohol serta penyalahgunaan obat bius –dan baru-baru saja – infeksi HIV.

Pada tahun 1996 Freeport mengambil keputusan untuk masyarakat setempat, yakni kucuran dana 1 persen. Itu pun setelah masyarakat melakukan protes terhadap Freeport. Gelombang aksi protes waktu itu memang tergolong pertama kali karena belum terjadi sebelumnya dari masyarakat setempat, nasional dan internasional terhadap penyalahgunaan hak-asasi manusia dan pengrusakan lingkungan.

Namun dana hibah itu pun akhirnya menuai kritikan, bahkan membawa korban di pihak masyarakat. Kritikan datang dari Komisi Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tokoh masyarakat adat serta para pemimpin agama. Bahwa, dana tersebut tidak didistribusikan secara adil, disalahgunakan dan menyebabkan terjadinya konflik diantara masyarakat adat setempat.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh sebuah LSM yang berkantor pusat di Amerika, tahun lalu, menyebutkan adanya tindakan-tindakan korupsi, kurangnya pertanggungjawaban serta adanya saling iri diantara penerima dana. Para pemimpin masyarakat suku Kamoro –satu dari enam suku yang mendiami areal konsesi PT Freeport— memprotes tentang biasnya manajemen pendanaan itu.

Persetujuan lebih lanjut telah ditandatangani antara perusahaan dan para pemimpin Amungme dan Kamoro, pada bulan September tahun ini. Mereka diterbangkan ke kantor pusat perusahaan di New Orleans. Dalam persetujuan, Freeport akan membayar 500.000 dollar Amerika per tahun ke dana yayasan dengan suntikan awal sejumlah 2,5 juta dollar Amerika. Persetujuan awalnya dibuat tahun 1996 dan didisain untuk menepati janji Freeport untuk mengakui kepemilikan tanah adat atas daerah pertambangan. Menurut laporan The Jakarta Post, koran berbahasa Inggris, para pemimpin Amungme dan Kamoro ingin menggunakan sebagian dari uang itu untuk membeli saham perusahaan.

Pada April 2002, salah seorang kritikus yang paling blak-blakan dan sekaligus korban penyalahgunaan hak asasi manusia, Mama Yosepha Alomang, mendapat penghargaan Goldman Environmental Prize sehubungan dengan kerjanya di bidang lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Pada 1999, Mama Yosepha mendirikan sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia, Yahamak, di Timika.

Baru-baru Mama Yosepha menolak sumbangan sebesar 248.000 dollar Amerika dari Freeport. Sudah beberapa kali Mama Yosepha menuntut Freeport untuk menghentikan operasinya.

Sejarah panjang dari penyalahgunaan hak asasi manusia di Timika sangat erat hubungannya dengan peran pihak kemananan Indonesia dalam melindungi pertambangan, yang dikategorikan oleh pemerintah Indonesia sebagai 'proyek nasional yang vital.'

Pada tahun 1997, sebagai kelanjutan dari meningginya konflik dan tekanan, 6000 tentara menurut laporan ditempatkan di daerah dekat pertambangan. Penjaga keamanan Freeport terlibat dalam beberapa kasus kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan dan orang-orang hilang. Di daerah terdekat lainnya, pihak keamanan terlibat dalam operasi pemusnahan gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka), yang melibatkan pembakaran kampung-kampung dan pembunuhan masyarakat sipil.

Timika dan Ilaga daerah terdekat di Puncak Jaya pada bulan Oktober dianggap sebagai daerah 'pusat kekerasan' yang timbul sebagai akibat dari meningkatnya tingkat kegiatan militer di seluruh Papua.

Tahun ini terdapat indikasi yang kuat bahwa pihak keamanan ingin melanjutkan kebijaksanaan militerisasi. Pada bulan Mei, Komandan Daerah Militer Sorong, Kol M R Saragih mengatakan, komando militer Indonesia setempat telah siap untuk mengamankan Freeport dari segala ancaman keamanan terutama dari OPM. Pada bulan Juli, harian Suara Karya melaporkan, keamanan sedang ditingkatkan di daerah pertambangan. Kepala Polisi Timika Sumarjiyo menyatakan bahwa polisi bekerja sama dengan militer untuk mengantisipasi serangan yang diperkirakan akan dilakukan oleh OPM. Pangdam dan Kapolda juga menyatakan bahwa kelompok 'separatis' berencana untuk melakukan serangan.

Freeport Menemukan Lebih Banyak Emas
Pada bulan Mei Freeport melaporkan penemuan sebuah 'sumber' dengan nama Ertsberg East Surface yang kandungannya mencapai 1,1 milyar pon tembaga dan 2,5 juta ons emas. Katanya Freeport sedang mempelajari kemungkinan untuk membuat lubang terbuka skala besar dan komplek pertambangan bawah tanah yang mengandung 500 juta ton biji besi. Itu berarti pengembangan Ertsberg East Surface sehubungan dengan kandungan lainnya yang dikenal sebagai IOZ, DOZ, Dom, dan ESZ.


Otonomi Khusus
Sejumlah tokoh elite Papua yakin bahwa pengaturan pembagian pendapatan menurut Undang-undang Otonomi Khusus akan memecahkan banyak masalah sosial yang disebabkan oleh pertambangan. Berdasarkan UU Otsus, Papua akan menerima 70% pendapatan dari proyek minyak dan gas -sepuluh persen lebih rendah daripada yang diperkirakan banyak orang- dan 80% dari proyek pertambangan.

Setelah persitiwa 11 September dan sesudahnya, gelombang sentimen Amerika di Indonesia yang dipimpin oleh unjuk rasa Islam fundamentalis memperluas kabar burung bahwa semua investasi Amerika di Indonesia akan ditarik. Hal ini memancing reaksi keras dari anggota DPRD Jayapura, Sam Resoeboen, yang memperingatkan politisi Jakarta untuk tidak membuat pernyataan yang mengganggu operasi perusahaan itu. Karena, kata dia, ''keberadaannya membantu kemakmuran rakyat Papua."

Namun bagi pembela hak asasi manusia, berapa banyakpun uang yang mengalir ke Papua sebagai hasil dari Otonomi Khusus, dampak negatif akan terus berlanjut selama kehadiran militer masih dipertahankan. Dan militer mempunyai reputasi sebagai pemancing kerusuhan untuk mensahkan kehadiran mereka.

Sehubungan dengan itu, sentimen anti Amerika baru-baru ini digunakan oleh pasukan keamanan untuk memberikan pembenaran lebih lanjut dalam peran perlindungan mereka. Sebuah pernyataan Freepot baru-baru ini mengungkapkan keyakinannya bahwa operasi mereka tidak akan terpengaruh oleh unjuk rasa karena ‘aparat keamanan Indonesia’ yang digambarkan sebagai "amat professional dan berdedikasi dalam melindungi aset dan sarana perusahaan serta semua penduduk di kawasan tersebut."

Ini sebenarnya amat berlawanan dengan tuntutan rakyat Papua yang menyerukan demiliterisasi di Timika dan di tempat-tempat lainnya; untuk mengakhiri impunitas dan agar orang-orang yang bertanggung-jawab dalam kekejaman di masa lalu bisa dibawa ke pengadilan. (Pernyataan seperti dikutip Petromindo, 17 Oktober 2001)

85,9 Freeport Indonesia dimiliki Freeeport McMoRan Copper and Gold Inc.
Raksasa pertambangan Inggris Rio Tinto menguasai 14,6 % saham di perusahaan ini dan 40% saham di perluasan Grasberg serta produksi pertambangan berikutnya dalam kontrak kerja kedua Freeport. Keuntungan yang diraih Freeport pada tahun sebesar 136 juga dollar Amerika dan itu merupakan pembayar pajak terbesar di Indonesia. Freeport adalah produsen tembaga dengan biaya termurah di dunia.


Kita diperhadapkan pada kenyataan bahwa lingkungan hidup merupakan warisan yang kita lestarikan dan sudah tentu patut diwariskan pula bagi anak cucu kita. Bila lingkungan tempat anak-anak negeri yang mewarisi bumi Papua tidak dapat mewariskan lagi lingkungan yang nyaman bagi generasi yang kemudian, maka barang tentu akan timbul pertanyaan bagi anak cucu kita nantinya. Seperti sepatah kata yang pernah dilontarkan oleh penduduk pribumi Indian setelah negerinya di ekspansi: ”Jika pohon terakhir dicabut, sungai terakhir telah tercemar, ikan terakhir telah ditangkap, maka kita akan sadar bahwa manusia tidak dapat memakan uang.”

*Kontributor Artikel ini adalah Mahasiswa Pasca Sarjana pada Program Studi Ilmu Lingkungan di Universitas Udayana Denpasar, Bali, dan kini sudah bekerja di Papua.
*Artikel ini di edit kembali oleh: Diary Papua

No comments: