Sunday, 10 June 2007

Membedah Politik Teritorial TNI Di Tanah Papua

Oleh: Diary Papua

Dalam sejarah TNI, Komando Teritorial (selanjutnya disingkat Koter) adalah merupakan suatu taktik yang dipraktekkan penerapannya dalam perang gerilya melawan Belanda. Keberadaan TNI yang masih bayi dan tidak memiliki peralatan tempur yang lengkap dalam menghadapi tentara Belanda yang modern dan memiliki alat tempur modern, meyulitkan TNI berhadapan secara langsung dalam perang terbuka.


Taktik untuk menghadapi perang terbuka adalah perang gerilya dan pembentukkan sistem komando teritorial sampai pada tingkat desa merupakan pilihan tepat saat itu untuk berperang melawan Belanda.

Dalam prakteknya, Koter warisan perang gerilya yang sudah usang itu, masih dipertahankan oleh TNI ketika negara ini sudah merdeka. Penggunaan sistem koter menghasilkan sejumlah masalah. Mobilisasi Dwikora untuk mengganyang Malaysia dan mobilisasi Trikora dalam rangka pendudukkan Tanah Papua adalah merupakan dua diantara sejumlah masalah fundamen lainnya dimana peran Koter TNI dalam mengupayakan suatu taktik perang aneksasi dan pendudukan wilayah berhasil dikombinasikan dengan agresifitas politik pemimpin Indonesia.

Koter menjadi semakin stabil penerapannya dibawah kendali pemerintahan fasis militeristik orde baru pimpinan jendral Soeharto. Pada masa ini Koter dijadikan alat represi yang efektif oleh Soeharto untuk menghabisi semua lawan-lawan politiknya termasuk mengupayakan operasi militer yang sistematis diwilayah-wilayah konflik seperti Tanah Papua dan Acheh.

Seperti diketahui, operasi militer di Tanah Papua dimulai secara de facto pada waktu bermulanya pendudukan Indonesia atas Tanah Papua pada tahun 1963 dan berlaku makin represif ketika secara de jure operasi militer dijalankan pada tahun 1978 hingga tanggal 5 Oktober 1998 (20 tahun) ketika dicabut akibat desakan reformasi yang kuat, sementara di Acheh operasi militer dilakukan sejak tahun 1989 hingga 1998. Dalam praktek operasi militer di dua wilayahj konflik ini, TNI mampu merepresi rakyat secara sistematis dan menghasilkan praktek pelanggaran HAM yang luar biasa kejam dan brutal.

Kini Koter diperkuat kembali oleh TNI dengan alasan untuk meredam potensi terorisme di Indonesia. Alasan kedua yang tidak tersirat dari kebijakan TNI mempertahankan koter adalah untuk merepresi kekuatan kritis rakyat diwilayah konflik seperti Tanah Papua. Dalam jawaban tertulisnya kepada Komisi I, saat digelar rapat dengar pendapat dengan pihak DPR-RI (27/2/2007), KSAD Jendral Djoko Santoso menekankan upaya mengoptimalkan keberadaan bintara pembina desa (Babinsa) sebagai "mata dan telinga" dalam mengumpulkan keterangan, khususnya dalam penanganan ancaman terorisme (Kompas, 28/2/2007).

Di tingkat nasional ada Markas Besar TNI. Pada tingkat propinsi dikenal Komando Daerah Militer (Kodam). Di bawah Kodam ada Komando Resort Militer (Korem) yang membawahi beberapa Komando Distrik Militer (Kodim) pada tingkat kabupaten.

Selanjutnya Kodim membawahi Komando Rayon Militer (Koramil) di tingkat distrik dan pada tingkat desa dikenal Bintara Pembina Desa (Babinsa). Dipertahankannya struktur teritorial, penambahan Kodam dan masuknya tugas pembinaan teritorial dalam RUU TNI menunjukkan bahwa strategi perang gerilya berbasiskan komando teritorial masih menjadi pilihan pimpinan TNI untuk dijalankan. Letnan Jenderal Agus Widjojo pernah melontarkan gagasan likuidasi struktur teritorial dalam waktu 10 - 12 tahun ketika dia menjabat sebagai Asisten Teritorial. Alih-alih gagasannya terlaksana, Agus Widjojo justru dicopot dari jabatannya.

Kini keberadaan Koter dipermasalahkan oleh sejumlah pihak di Indonesia terutama sekali dari kalangan prodemokrasi (LSM dan gerakan mahasiswa) yang mengkhawatirkan keberadaan Koter akan dimanfaatkan untuk kembali merepresi rakyat dan diselewengkan menjadi alat mobilisasi politik bagi kekuatan politik tertentu seperti pada masa orde baru bahkan Koter juga dicurigai akan "memata-matai" rakyat seperti yang dikuatirkan oleh sebagian anggota Komisi I DPR (Kompas, 28/2/2007).

Dalam konteks Papua, keberadaan Koter akan semakin memperburuk situasi politik di Tanah Papua, bahkan akan semakin memperkuat posisi TNI untuk melakukan kekejaman politik mereka diwilayah ini.

Pemekaran Wilayah Dan Keberadaan Komando Teritorial di Tanah Papua

Dalam Rencana Strategi (Renstra) TNI untuk jangka waktu 25 tahun, politik pemekaran wilayah menjadi isu strategis untuk dijalankan di Tanah Papua dengan tujuan melikuidasi dan membendung laju gerakan pembebasan nasional (kemerdekaan ) Papua yang semakin kuat dan meluas. Renstra mengisyaratkan pendekatan politik pemekaran wilayah Tanah Papua akan menjadi efek domino politik yang menguntungkan TNI dalam menjalankan pembesaran struktur komando teritorial TNI diwilayah ini.

Jauh sebelum politik pemekaran menjadi isu strategis di Tanah Papua, TNI dengan struktur teritorial yang boleh dikatakan belum maksimal, mampu mengembangkan suatu praktek operasi militer yang, bisa dibilang, manjur dalam hal merepresi rakyat sipil dan kekuatan politik Papua yang sedang melakukan perlawanan.

Pada jaman orde baru, TNI hanya memiliki satu komando daerah militer (kodam), dua komando resort militer (korem), sembilan komando distrik militer (kodim), dan sejumlah komando rayon militer (koramil) yang tersebar diberbagai distrik diseluruh wilayah Papua. Sekedar catatan, hanya dengan kekuatan teritorial yang demikian, TNI mampu melakukan kombinasi operasi intiligen dan operasi militer yang sangat mengerikan di Tanah Papua selama 32 tahun kekuasaan regime fasis-militeristik orde baru.

Barangkali tidak banyak pihak di Tanah Papua, terutama elit birokrasi dan legislatif, yang menyadari bahwa isu pemekaran yang sedang menjadi mode dalam kancah politik local Papua dewasa ini adalah merupakan suatu produk intiligen untuk memuluskan rencana pembesaran komando teritorial TNI diwilayah ini. Keserakahan yang telah membakar ego politisi local Papua yang haus kekuasaan, berhasil dimanfaatkan secara kualitatif oleh TNI melalui operasi intiligennya untuk mensukseskan rencana pemekaran wilayah Papua yang secara otomatis melegalkan pembentukan dan perluasan komando teritorial TNI pada masa-masa yang akan datang.

Saat ini di Tanah Papua sudah bermunculan banyak sekali kabupaten baru hasil pemekaran. Sebut misalnya di Maroke kini telah bertambah tiga kabupaten baru (Asmat, Boven Digul dan Mappi), di Jayawilaya kini bertambah tiga kabupaten baru (Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, dan sedang diupayakan pembentukan kabupaten Mamberamo Tengah, Lani Jaya dan Mapnduma), di Jayapura kini bertambah dua kabupaten baru (Keerom dan Sarmi dan sedang dalam upaya pembentukan kabupaten Mamberamo Raya), di Yapen Waropen telah muncul kabupaten Waropen, di Paniai sedang digalang pembentukan kabupaten Dogiai, di Puncak Jaya sedang digalang pembentukan kabupaten Ilaga, di Manokwari kini bertambah dua kabupaten baru (Teluk Wondama dan Teluk Bintuni[?]), di Sorong kini bertambah dua kabupaten baru (Raja Ampat dan Sorong Selatan), dan di Biak-Numfor kini bertambah dua kabupaten baru (Numfor dan Biak Utara).

Paling tidak di Tanah Papua kini berjumlah dua puluh satu kabupaten -- jumlah ini belum ditambah rencana pembentukan beberapa kabupaten baru yang sedang digarap -- dan ditambah puluhan distrik sebagai efek domino langsung dari pembentukan kabupaten baru serta ditambah lagi satu propinsi baru.

Secara kuantitatif dapat dihitung berapa jumlah komando distrik militer (kodim) yang akan terbentuk ditingkat kabupaten? Hitung pula berapa jumlah komando rayon militer (koramil) yang akan terberntuk ditingkat distrik dan hitung pula berapa ribu bintara pembina desa (babinsa) yang pasti akan ditempatkan ditingkat desa? Serta sudah pasti satu komando daerah militer (kodam) baru akan dibentuk di propinsi Irian Jaya Barat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik pemekaran wilayah yang selama ini gencar diusung oleh berbagai kalangan elit politik local Papua akan menjadi bumerang bagi prospek demokrasi dan masa depan HAM di Papua yang akan semakin buram. Tidak ada pendapat obyektif yang dapat dibenarkan dalam pendekatan politik pemekaran Papua saat ini. Alasan untuk memajukan kesejahteraan rakyat, memperluas efektivitas kerja birokrasi, dan mendorong proses pembangunan diwilayah-wilayah yang masih belum maju secara ekonomi adalah merupakan alasan-alasan klise yang hendak dibenarkan dihadapan publik oleh pihak-pihak yang haus jabatan dan yang ingin memperluas struktur komado territorial ini di Tanah Papua.

Pendulum politik pemekaran kini telah bergerak semakin dekat dengan tujuan dengan scenario TNI dalam rencana strategi (renstra) mereka mengenai masa depan politik Tanah Papua. Opini publik yang terus dimanipulasi dan digiring secara sistematis kearah pendukungan politik pemekaran wilayah mengisyaratkan pembenaran analisis ini. Pertanyaan sekarang, bagaimana rakyat Papua menyikapi penyesatan opini publik dan mobilisasi massa dalam mensukseskan agenda politik pemekaran yang diboncengi rencana pembesaran struktur komando teritorial TNI di Tanah Papua ini? Bagaimana pula masa depan demokrasi dan HAM jika politik pemekaran sukses dan agenda perluasan struktur Koter TNI berhasil dijalankan di Tanah Papua?

No comments: