Oleh : Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM
Edisi : Rabu, 10 Desember 2008 , Hal.4
UUD 1945 memberikan jaminan bagi setiap orang untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan dasarnya. Bahwa negara, terutama pemerintah mempunyai kewajiban sebagaimana dimandatkan di dalam konstitusi untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
Tulisan ini merupakan catatan reflektif atas kondisi HAM di Indonesia sepanjang 2008, sebagai bagian dari merayakan 60 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Hak sipil & politik
Dalam konteks hak sipil dan politik, jaminan perlindungan dan pemajuan HAM khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Menyangkut hak-hak dan kebebasan sipil warga diperkuat dengan diundangkannya UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Namun demikian, sejumlah peraturan perundang-undangan justru mengurangi kebebasan dan penghormatan hak-hak warga negara seperti UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Komnas HAM mencermati bahwa munculnya ketentuan-ketentuan yang multi tafsir dan kontroversial justru dikhawatirkan merupakan bentuk intervensi negara atas kehidupan dan hak asasi manusia, terutama yang berdampak langsung pada hak dan kebebasan dasar kelompok-kelompok minoritas, terutama kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). UU itu berpeluang mengakibatkan terjadinya pelanggaran kewajiban negara untuk menghormati hak asasi manusia.
Reformasi institusional juga terjadi pada lembaga-lembaga yudisial berupa penguatan peran sejumlah lembaga state auxiliaries seperti Ombudsman RI melalui UU No 37/2008 dan mulai bekerjanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dapat menjadi mekanisme penegakan hak asasi. Berbagai kemajuan ini tampak membawa implikasi positif pada administrasi keadilan kebebasan politik, dan pelayanan publik.
Sepanjang 2008, berbagai kemajuan di bidang HAM dan kebebasan dasar itu diadang oleh perilaku kekerasan mayoritas terhadap kelompok minoritas agama maupun politik. Para pemeluk agama minoritas maupun aliran kepercayaan berikut kelompok-kelompok yang mendukungnya diperlakukan bukan saja secara diskriminatif, namun juga mengalami kekerasan fisik dan serangan terhadap sekolah-sekolah dan rumah ibadah, seperti yang masih dialami oleh Jemaah Ahmadiyah, Jemaah Al-Qiyadah Al Islamiyah Siroj Jaziroh, Gereja Tani Mulya, dan Gereja Kristen Pasundan Dayeuh Kolot.
Selain itu, diskriminasi ini juga terjadi dalam bentuk peraturan-peraturan daerah berlandaskan syariat yang berdampak langsung terhadap penghormatan dan kebebasan dasar dari berbagai kelompok minoritas dalam masyarakat. Ironisnya, dalam menghadapi masalah demikian, negara cenderung melakukan pembiaran bahkan mengkriminalkan korban. Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah di mana terdapat jurang yang lebar antara yang landasan normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain terutama di tempat-tempat di mana orang dirampas kebebasannya.
Selain itu, Komnas HAM juga mengamati sejumlah kasus salah tangkap (seperti pada kasus Imam Hambali alias Kemat dan David Eko Priyanto), dan berbagai kekerasan yang dilakukan dalam operasi preman. Selama 2008 ini, Komnas HAM mencatat bahwa sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya belum mampu mengungkap dan menjawab kasus pembunuhan Munir, aktivis HAM.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diundangkannya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM masih menumpuk di tangan penyidik. Sampai akhir 2008 ini, setidaknya tujuh hasil penyelidikan Komnas HAM masih macet di Kejaksaan untuk kasus Penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Mei 1998, kasus Semanggi I, kasus Semanggi II, kasus Wamena, kasus Wasior dan kasus penculikan aktivis 1997-1998.
Hak Ekosob
Pelaksanaan hukuman mati selama 2008 masih menunjukkan angka yang tinggi. Pada periode Januari-Juli 2008, sebanyak enam terpidana mati dieksekusi dan diikuti dengan tiga orang terpidana mati bom Bali dan rencana eksekusi dua orang terpidana mati lainnya pada akhir tahun ini.
Dalam konteks hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak Ekosob), masih ada pandangan yang melihat hak Ekosob bukan sebagai hak asasi, baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat sipil, dan terutama sektor bisnis. HAM terutama hak Ekosob tidak digunakan sebagai paradigma dalam penyusunan kebijakan pembangunan (rights-based approach).
Akibatnya, meskipun berbagai kebijakan pembangunan dibuat, namun hak warga negara tetap tidak terlindungi dan terpenuhi dan korban-korban pelanggaran terus menerus berjatuhan, seperti pada kasus-kasus penggusuran, kurang gizi/gizi buruk, pemutusan hubungan kerja secara massal, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar justru dilindungi dan pada gilirannya meniadakan hak asasi terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Sepanjang 2008, Komnas HAM mencatat masih tingginya tindakan penggusuran rumah-rumah dan permukiman rakyat. Bahkan tindakan-tindakan tersebut didukung dengan legislasi daerah dan anggaran yang cukup besar. Sebagian besar, penggusuran tersebut dilakukan tanpa memberikan solusi nyata kepada rakyat mengenai tempat tinggal yang baru yang semakin menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan pemukiman bagi rakyat miskin.
Komnas HAM mengamati secara serius permasalahan gizi buruk serta tingginya kematian ibu dan anak Balita yang seperti fenomena gunung es karena jumlah anak Balita yang mengalami gizi buruk lebih dari asumsi yang sudah diperkirakan berbagai pihak, terutama untuk wilayah-wilayah terpencil. Kasus-kasus itu meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kebutuhan pokok lainnya. Sebenarnya, ada pemerintah berupaya menanggulanginya melalui program bantuan langsung tunai (BLT) dan program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Komnas HAM mencermati bahwa program BLT yang telah dilakukan, alih-alih mengurangi jumlah orang miskin tapi justru membuat orang miskin semakin tergantung.
Persoalan semburan lumpur panas Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, telah mengakibatkan masalah pelik dari aspek teknis dan sosial. Keputusan Presiden Nomor 14/2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo, warga mendapat ganti rugi secara bertahap.
Namun penyelesaian ganti rugi itu pun masih berlarut-larut dan korban masih belum juga mendapatkan hak-haknya. Lambannya sikap Pemerintah, ditambah lagi dengan masih dilakukannya negosiasi ulang untuk pembayaran ganti rugi tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah, tidak saja abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak-korban, namun juga lemah dalam berhadapan dengan korporasi.
Berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh, Komnas HAM mencermati bahwa jaminan terhadap hak atas pekerjaan, hak-hak pekerja termasuk di dalamnya untuk mendapatkan upah yang adil, hak-hak untuk berserikat, terhalang oleh dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global.
Dengan berbagai potret kondisi di atas, Komnas HAM memandang bahwa hak asasi manusia dan kebebasan dasar belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh warga negara. Boleh dikatakan mendung masih menggantung di langit HAM di Indonesia sepanjang tahun 2008 ini. -
Sumber:
http://www.solopos.net/zindex_menu.asp?kodehalaman=h04&id=251977
Tuesday, 9 December 2008
Mendung masih menggantung di langit HAM
Posted by Papuan Diary at Tuesday, December 09, 2008 1 comments
A Joint Press Conference: The Indonesian Legal Aid and Human Rights Association (PBHI) Papua Desk and Front PEPERA West Papua
Declaration “West Papuan Land: AN EMERGENZY ZONE!”
Thousands of West Papuans have been staging regular demonstrations in West Papua since the beginning of 2008. The demonstrations have caused arrests, intimidations, imprisonments of pro-democracy activists in West Papua.
Various human rights organizations in Jakarta have been receiving reports from human rights activists in West Papua since the end of October this year. The reports stated that a number of West Papuan students and youth activists has been arrested and jailed. There was a real indication that the Indonesian military and police purposively limited the room of democracy in order to limit the West Papuan people’s freedom of expression. The military and the police also have overacted above limit and their actions have caused serious human right abuses.
The killing of Otinus Tabuni [9th August 2008] was the worst case where a peaceful people’s demonstration was responded with Indonesian state police violent gun shootings.
The arrest of 16 West Papuan students and youth activists on the 20th of October 2008, although they were released later, showed that there was not any room for democracy in West Papua.
Repression, intimidation and terror happened continuously, especially after the official launch of International Parliamentarians for West Papua [IPWP] in London, England.
West Papuans living in Java and Bali who had demonstrations on the 15th to 17th of October 2008 were intimidated, repressed and extremely terrorized in their residence in various towns in Java and Bali. The intimidation, repression and terrors continued until 30th of November and 1st of December when the Committee for West Papuan People’s National Action for Java and Bali region held their demonstration.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) and Jusuf Kalla (JK) have again shown the New Order (President Suharto’s style) way to secure their political position and sacrificed the West Papuans. The people of West Papua have long been asking for a review of the 1969 Act of Free Choice which was violated and caused West Papua to be integrated with Indonesia. The Act of Free Choice in West Papua was not conducted in accordance with the New York Agreement.
The historical facts had caused different kinds of serious human rights abuses since Indonesian military operations began in West Papua from 1965 until 1998. During the time West Papua was controlled under military operation zone mechanism. However, after reformation in 1998 the strengthening of democracy in Indonesia was not perfectly implemented and therefore Indonesia returned to a fascist state pattern just like what had happened during the New Order Era (President Suharto’s period).
The Papua police’s arrest of Buchtar Tabuni on the 1st of December 2008 showed that violent patterns were still used in solving vertical conflicts between the people of West Papua versus the government of the Republic of Indonesia.
The Indonesian Legal Aid and Human Rights Association West Papua Desk and Front PEPERA West Papua realized that this situation HAS THREATENED THE WEST PAPUAN PEOPLE’S RIGHTS TO LIVE and therefore feel that it is crucial to have a humanity declaration where unlimited solidarity is sought for saving the West Papuan People’s rights to live.
Therefore, The Indonesian Legal Aid and Human Rights Association West Papua Desk and Front PEPERA West Papua declare that beginning from today, 6th of December 2008, West Papuan Land is in the emergency situation. We declare that West Papua Land is an EMERGENCY ZONE and demand the followings:
1. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to withdraw all non-organic troops and Indonesian State Police from all over West Papuan land.
2. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to eliminate extra military territorial bodies [Kodam (provincial level), Korem (regency level), Kodim (district level), Koramil(sub-distric level) and Babinsa (village level)] that spread out all over West Papuan Land.
3. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to facilitate a review of the ‘History of West Papua’ that has been a central controversy between West Papuan People and the government of the Republic of Indonesia.
4. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to review the implementation of the 1969 Act of Free Choice which was illegal and had violated human rights.
5. Put pressure and demand Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla’s government to seek alternative solution other than Papua Special Autonomy in order to solve West Papuan People’s problem in a comprehensive, humanity, democratic and dignified way.
6. Urge unlimited solidarity of the people of Indonesia to fight together with the people of West Papua to gain the West Papuan people’s rights that have been violated intentionally by the regime.
The West Papua Land in Emergency Zone Declaration is issued in Jakarta, 6th December 2008
Hans Gebze
PBHI West Papua Desk
Wens Edowai
KANRPB Spokesperson
Viktor Kogoya
KANRPB Spokesperson
Posted by Papuan Diary at Tuesday, December 09, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi, ecosoc, Imperialisme, Neo-kolonialisme
Debat PD dan Holy Uncle
Sumber Perdebatan;
Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat [KANRPB] Tuntut Kemerdekaan Papua Barat
Dapat dibaca disini: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/01/17450667/kanrpb.tuntut.kemerdekaan.papua.barat
Tulisan Holy Uncle di Mediacare dan Nasional List;
***Kocak sekali. Mau menuntut kemerdekaan, anggota2 KANRPB harus menanggalkan dulu kewarganegaraan RI. Mereka di Jakarta, sebagai bangsa apa ?
***Untuk menunjukkan Indonesia satu negara demokratik dan menghormati HAM, pemerintah mengatur KANRPB tunjuk rasa di bunderan HI. Apa anda yakin KANRPB bukan satu alat politik NKRI ?
-------
Tanggapan PD Terhadap Holy Uncle;
Paman SUCI,
Ente terlalu yakin dengan argumentasi Anda yang kadang-kadang lucu, sangat lucu dan amat sangat lucu. Ente musti memahami dulu dengan tuntas apa itu sejarah! Apa arti sejarah bagi Anda dan juga pengguna milis ini.
NKRI, bagi orang Papua, hanyalah "simbol" dari suatu keserakahan sepihak golongan elit politik Jawa-Sumatra- Sulawesi- Maluku-Timor, NKRI yang diagung-agungkan melalui Sumpah Pemuda 1928, atau UUD 45 dan Pancasila dan Proklamasi 1945, bagi orang Papua, tidak bermakna sama sekali, karena ia lahir dari suatu proses sejarah dimana Bangsa Papua tidak memberikan sumbangsih sedikit pun! Kecuali memang Papua kemudian menjadi korban karena rekayasa sejarah yang mendasar nafsu serakah elit nasionalis Jawa-Sumatra- Sulawesi yang memandang Papua bukan sebagai suatu kesatuan yang holistik antara isi perut bumi Papua dan manusia Papua yang hidup didalamnya.
NKRI hanya melihat Papua dari isi perut bumi Papua, NKRI melihat emas-tembaga- perak-nikel- gas alam- minyak bumi - kayu - ikan, dll kandungan alam yang ada didalamnya, bukan manusia Papua.
Inilah konteksnya ketika Papua dijadikan budak oleh NKRI! Orang Papua sadar bahwa mereka diperbudak dan oleh karenanya berjuang bagi "PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA BARAT!"
Anda mungkin etnis minoritas juga yang oleh karena terdiskriminasi lalu kemudian membela mati-matian NKRI karena Anda ingin cari selamat dengan bikin harmonisasi palsu dengan bangsa Jawa, Melayu, Ponesia, dll yang hari ini bersatu padu dalam NKRI yang Anda banggakan ini Bung.
**** KANRPB Se Jawa-Bali adalah alat politik taktis mahasiwa dan pemuda Papua Barat yang dari dulu turut aktif memperjuangkan pembebasan nasional Papua Barat, ia bukan alat bentukan NKRI apalagi BIN atau TNI atau Polri.
**** Berdemo di Bundaran HI tidak serta merta mengakui diri sebagai bagian intergral dari NKRI! Kewarganegaraan KTP, it's OK, am i right Holy Uncle?
--------
Tanggapan Holy Uncle terhadap PD;
***Kita tidak perlu memanjang melebar. WNA tidak diizinkan mendemo di tanah air NKRI, maka itu saya nanya anda yang demo di bundaran HI bangsa atau suku Papua ?
***Irian Jaya cuma satu komponen NKRI. Biarlah bangsa Indonesia yang tentukan status Irian Jaya di NKRI.
***Menurut pengetahuan saya, perjuangan anda untuk merdeka perlu ganti kulit. Bukankah kampanyekan Satu Papua jauh lebih mudah ? Kenapa tidak menggabungkan diri sama PNG dulu, kemudian menyembah Australia ?
***Manusia Papua harus buktikan diri mampu di keluarga besar NKRI, baru bisa berharga.
-------
Tanggapan Akhir PD Terhadap Holy Uncle;
**** Ya sudah jelas, itu Bangsa Papua, orang2 yang berdemo di Bundaran HI itu Bangsa Papua, Ok? Bukan Bangsa Indonesia... ...Cm'on uncle, knapa nanya-nanya lagi sih... sudah jelas, gitu aja kok repot!
***** 1,5 juta penduduk asli Papua berbanding 230 juta lainnya? ANDA bilang mau menentukan nasib Bangsa Papua hanya karena Papua merupakan satu komponen dari komponen lain pembentuk NKRI? WELL, baca sejarah baik2 kalaupun mau referendum, hanya orang Asli Papua, yang disebut Bangsa Papua-lah, yang berhak tentukan sikap, bukan 230 juta warga NKRI! Am i clear, holy uncle?
***** Saran ENTE keliru besar Paman Suci, kami bukan budak Australia, dengan demikian saran Anda untuk gabung ke PNG dulu lalu menghamba pada Australia musti dikoreksi ulang, OK? Kami tidak akan pakai saran Anda Tuan Paman Suci. Perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat adalah musrni perjuangan semesta rakyat Papua Barat yang hidup dan tinggal diatas tanah itu sejak puluhan ribu tahun lalu, ini fakta sejarah, ente kok mulai melawak kayak si Tukul Arwana sih....Jangan ngawur dong uncle, cm'on...!
***** Manusia PAPUA itu berharga oleh karenanya Ia berjuang bagi nasib dan masa depannya sendiri yang jauh lebih bermartabat, mulia dan terhormat dari pada gabung dengan NKRI yang hanya ambil isi kekayaan alam Papua. Am I right, Mr. Holy Uncle?
Danke Well!
PD
Posted by Papuan Diary at Tuesday, December 09, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi, Imperialisme, Neo-kolonialisme
KANRPB Tuntut Kemerdekaan Papua Barat
KANRPB Tuntut Kemerdekaan Papua Barat
DHONI SETIAWAN
Ratusan mahasiswa Papua se-Jawa Bali yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat (KANRPB) dengan menggunakan berbagai atribut adat melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Senin (1/12). Dalam aksinya mereka menuntut Pemerintah Pusat untuk membuka ruang dialog dan melaksanakan Referendum bagi kebebasan rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri.
Senin, 1 Desember 2008 | 17:45 WIB
JAKARTA, SENIN - Sebanyak 300 orang yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat atau KANRPB melakukan aksi di Bundaran HI, Jakarta, Senin (1/12). Mereka menuntut kemerdekaan Papua Barat. Sebelumnya mereka juga melakukan aksi serupa di Istana Negara.
"Hari ini kita menyatakan sikap bahwa Papua merdeka merupakan keniscayaan sejarah yang tidak bisa diganggu oleh kekuatan yang dapat menindas," kata Juru Bicara KANRPB, Wenslaus Edowai.
Edowai menjelaskan, otonomi yang selama ini diberikan pemerintah pusat ternyata hanya dinikmati kaum borjuis dengan tidak melibatkan masyarakat akar rumput Papua. Kasus HIV juag semakin meningkat tanpa perhatian pemerintah untuk menangani secara khusus.
Bahkan pemda di Papua, lanjut Edowai, dianggap perpanjangan pemerintah pusat untuk memperlebar kekuasannya. Maka dari itu dalam aksi ini massa menyampaikan deklarasi yang terdiri dari empat butir, yakni pertama, tidak mengakui keberadaan pemerintahan Indonesia di Papua Barat karena kependudukan Indonesia adalah ilegal. Kedua, menolak rekayasa Pemerintah Indonesia lewat Pepera tahun 1969. Ketiga, menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri. Keempat, meminta bantuan serta dukungan dari dunia internasional.
"Kami akan terus memperjuangkan aspirasi rakyat sampai Jakarta memberikan ruang dialog untuk melakukan referendum," kata Edowai.
Setelah satu jam berunjuk rasa sejak pukul 16.30, akhirnya massa bubar dengan tertib. Aparat kepolisian pun terlihat berjaga-jaga di Bundaran HI hingga akhirnya massa membubarkan diri. (C12-08)
Sumber:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/01/17450667/kanrpb.tuntut.kemerdekaan.papua.barat
Posted by Papuan Diary at Tuesday, December 09, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi, ecosoc, Imperialisme
Monday, 8 December 2008
Tanggapan Yanri Untuk Papuan Diary [Standing Up for Human Rights by Restricting Military Assistance to Indonesia]
Oleh: Yanri [yanri@jambiexplorer.com]
Salam,
memang terlalu banyak kesalahan masalalu, termasuk salah satunya memberhalakan apa yang disebut konsepsi NKRI, ujug ujug tanpa penjelasan, ditelan tanpa dikunyah terlebih dahulu, bahkan ada yang dipaksa menelan tanpa tahu apa yang harus ditelan.
Sangat setuju dengan anda bahwa NKRI dihari-hari ini sungguh2 telah direndahkan oleh mereka2 yang mengambil keuntungan pribadi daripadanya hanya sebagai sebuah doktrin belaka.
Pokoknya NKRI harga mati...kata mereka. Entah dimana sangkut pautnya bapak2 dan ibu2 itu hingga podium yang ditonton berjuta rakyat pun kini mereka gunakan untuk mengumbar kata "pokoknya".
Ataukah sudah habis akal mereka.....?
Atau mungkin kata "pokoknya..." sudah dianggap lebih bertuah dibandingkan dengan kalimat........ "Saudara2,mari kita selidiki lebih jauh ......"; sebagaimana Bung Karno selalu menggunakannya untuk mengajak kita semua berfikir.
setuju dengan anda, bahwa apapun itu NKRI, substansi-nya adalah "bangsa maupun sub-bangsa yang dilingkupinya",--- watak antropologis daripada sebuah Negara Bangsa (Negara Bangsa paling tidak sedikit paling cocok untuk diterapkan dalam konteks budaya ke- Asia-an kita)--- sebaliknya, banyak negara yang hadir dalam peta dunia dengan tak perlu diawali dengan adanya kebangsaan, melainkan cukup dengan citizenship.
Mari dalam pembicaraan kita yang singkat dan tak bersuahati ini (karena saya tak bisa menatap mata anda langsung, bahkan untuk soaljawab setinggi ini saya tak cukup berharga untuk mendapat tahu siapa sebenarnya nama anda), kita anggap saja dulu NKRI dalam surat saya kepada John Miller yang lalu itu , adalah sebutan saya untuk masyarakat sukubangsa yang terjebak diantara Samudera Pasifik dan Hindia, sekaligus juga terpencil diujung semenajung benua Asia membentang hingga Pasifik Barat - on God's will (Premis 1),......
.........dan sukubangsa2 ini setelah melewati sejarah panjang pembentukan "narasi imajinatif" yang tersebut dalam Sumpah Pemuda dan hal2 pengikat lainnya (termasuklah hal yang biasa kita sebut sebagai: imperialisme), pada satu tanggal di 17 Agustus 1945 , "sebagian luasan daripada keseluruhan God's Will" itu oleh putra putri daripada sukubangsa2 itu, atas rahmat Tuhan Mereka Yang Maha Esa, berhasil mereka pernyatakan sebagai sebuah sebutan "administratif versi pengambilalihan imperium Belanda" yang bernama Negara Kesatuan berbentuk Republik yang bernama Indonesia (Premis 2).
Tidakkah bertentangan pemandangan saya, bahwa dalam Premis 1 saya mendapatkannya sebuah obyek yang God's Given, sementara pada Premis 2 saya berkerashati pada sesuatu yang Men's Given?
Ya, Indonesia sebagai sebuah kesatuan antropologis pada Premis 1 adalah pemberian Yang Maha Kuasa sebagaimana bersatunya pantai sepanjang pulau Papua mulai dari Papua barat hingga ke timur Papua New Guinea....,sementara pada Premis 2, Indonesia sebagai sebuah kesatuan adalah yang hadir sebagai hasil pengambilalihan kekuasaan manusia dari Sing Maha Londo...Indonesia dalam Premis 2 adalah kesatuan daerah versi utak atik garis batas eksploitir kekayaan alam hasil corat coret Meneer Londo di kantornya yang megah nun sedap di Batavia itu....
Bukankah Premis 2 jelas2 itu yang kita anut selama ini?
Tetapi bukankah pula Premis 1 lebih sejuk terasa dalam hati kita?
Kemudian pasal kalau hendak bersoaljawab, kenapa pula harus disebutkan dalam UUD 1945 bahwa Republik ini adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik?
Kenapa tidak disebut saja Indonesia adalah negara Republik saja?
Atau memang ada negara Republik yang pecah-pecah? Atau memang ada negara Republik yang tidak bersatu? Atau ada Republik yang kapan suka bersatu kapan suka berpisah badan?
Bagaimana pula jalan pikir bapak bapak itu hingga akhirnya mereka perlu menyebutkan dalam UUD 1945 bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik?
Lebih baiklah kita setujui awal dari jabat tangan ini, bahwa yang dimaksud kesatuan dalam hal ini adalah tak lain tak bukan adalah sebuah keluhuran cita2 yang masih berupa pengharapan---(NON-EXISTING HOPE).
----------------------------------------
KESATUAN INDONESIA DALAM RUH PROKLAMASI DAN UUD 1945 ADALAH SEBUAH KELUHURAN CITA CITA YANG BERUJUNG PENGHARAPAN. IT WAS NON-EXISTED. IT WAS.....
----------------------------------------
Tapi bukankah Sumpah Pemuda sudah membentuk Bangsa Indonesia, kata Pak Miller?
Mohon sekali lagi Pak Miller selidiki lagi lebih jauh apakah saat orang2 jawa, sumatera dan ambon itu duduk berapat di 1928 tersebut, terdapat pula diantara mereka Jong Papuan? apa memang disaat itu ada pula diantara mereka saudara2 saya yang separuh keturunan Portugis yang telah dengan damai sejahtera berkawinsanak dengan putra putri Timor itu, juga terwakili sebagai Jong Timorese?
Jadi, kalau Pak Miller tetap mau menyebutkannya bahwa pembentukan Bangsa Indonesia sudah selesai disaat terjadinya Sumpah Pemuda Oktober 1928 itu,maka yakinlah pada saat yang sama Pak Miller sedang melakukan ritual pembunuhan terhadap kelahiran Bangsa yang lebih besar, dan bangsa yang telah dibunuh olehnya itu adalah Bangsa
Indonesia versi Abad 21.
Tetapi tentu saja non-existing hope dari Negara Kesatuan pada waktu itu apabila disandarkan jauh tinggi dalam alam fikiran manusia2 terbaik yang menyatakannya, lalu kemudian kita berkata "ya...Bapak2 pendiri republik kami telah jauh melangkahi zaman..."
Setujukah saya?
Tidak, kata saya!
Kenapa tidak?
Karena kalaulah pemikiran mereka dahulu hanya untuk sekedar melangkahi zaman, percayalah........, zaman akan datang menjemput mereka lebih cepat dari yang mereka perkirakan, dan akhirnya Bapak2 itu satu saat pun akan hilang tergilas masa tertinggal zaman.
Justru sebenarnya Kesatuan itu bukanlah terletak dalam kesesuaiannya dengan zaman, karena zaman boleh berganti, sedangkan kesatuan tidak. Dunia boleh berputar 180 derajat, tetapi orang Papua tetaplah Putra Papua..
Matahari boleh terbit dari barat dan tenggelam di Timur, tetapi Sang Aceh tetaplah perkasa menentang ganasnya ombak Samudera Hindia sebagaimana ia ditakdirkan berdiri megah diujung paling barat sebuah pulau magis bernama Sumatera.
Dan maka itu pula, Kesatuan dari Republik Indonesia, sesungguh-sungguhnya tak akan pernah mencapai kata "final"...apalagi "harga mati", karena kesatuan itu bukan tersandar pada zaman, melainkan seharusnya ia hidup dalam jiwa tiap2 kita yang menyepakatinya. Bahkan ia bisa hidup lebih besar jikalau jiwa-jiwa itu menyepakatinya.
hari ini juga kita bisa hancurkan NKRI, kalau kita mau.Hari ini juga kita bisa memantapkan hati kita bahwa kita tidak perlu lagi alasan untuk bersatu, dan enyah saja itu Kesatuan..Bukankah dengan hilangnya kemauan, akan hilang pula kesatuan itu?
Tetapi hari ini juga NKRI jikalau kita mau, bisa kita hidup besarkan, bahkan jauh melampaui apa2 yang pernah ada dihari ini....Kalau kita mau..!
Maka dari itu, kalaulah kehendak itu ada, sebutkanlah kepadanya bahwa kesatuan itu sesungguhnya terletak didalam jiwa, it is a state of mind...it is a perspective, its a consciousness....but above all, it is a will.
Demikian pula Negara Kesatuan....Kekuatan dalam persatuan itu haruslah sebuah kesadaran, sebuah consciousness, bukan pula hanya sebuah doktrin belaka, dan terlebih penting pula ia haruslah sebuah keinginan...
Kesatuan itu haruslah sebuah keinginan!
(ah,seandainya saja masih ada diantara kita si Bung yang suka mengawali tulisan-tulisannya dengan kalimat begini, " Saudara-saudara, mari kita
selidiki lebih jauh....")
-------------------------------------------
Salam,
Yanri,-
Ujung-ujung senjata tak akan pernah bisa memaksakan keinginan.
Posted by Papuan Diary at Monday, December 08, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi
Tanggapan Untuk Yanri [Standing Up for Human Rights by Restricting Military Assistance to Indonesia]
Oleh: Papuan Diary [papuandiary@gmail.com]
Yanri,
Saya bukan John tapi saya hanya mau katakan saja kepada Anda bahwa Anda dan hampir semua orang yang tinggal diluar wilayah konflik [Timor Leste, Papua, Acheh, Poso, dll] akan selalu memandang "simbol" dan bukan "cita-cita" bersama dalam membangun peradaban sebuah negara-bangsa.
NKRI adalah sebuah simbol, dimana berbagai suku-bangsa yang ada di Nusantara ini berkumpul membentuk suatu nation-state baru yang disebut Indonesia.
Bahwa tujuab pembentukan NKRI adalah untuk melawan dan menghancurkan setiap anasir imperialisme yang masuk bersama kolonialisme dan kemudian berjaya dalam mengeruk dan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia dimana si kolonial bercokol, termasuk pada waktu itu, Belanda terhadap penduduk nusantara.
NKRI muncul sebagai "simbol" untuk menghancurkan nilai-nilai penindasan itu, dan sekaligus menghasilkan suatu cita-cita bersama dari seluruh suku-bangsa yang tergabung membentuk NKRI itu untuk menciptakan tatanan masyarakat yang:
1. ADILI SECARA SOSIAL
2. DEMOKRATIS SECARA POLITIK
3.SEJAHTERA SECARA EKONOMI, dan
4. PARTISIPATIF SECARA BUDAYA
Itu inti daripada pembentukan NKRI sebagai suatu negara-bangsa baru yang merdeka dari penjajahan. Tetapi apa lacur?
NKRI yang lahir dari proses sejarah itu, kemudian telah dimanipulasi oleh segelkintir kelompok nasionalis, yang selalu memakai simbol2 NKRI dalam mempertahankan argumentasi dangkal mereka ketika KESEJAHTERAAN sebagai CiTA-CITA, KADILAN SEBAGAI CITA-CITA dan DEMOKRATISASI sebagai CITA-CITA tidak pernah hadir ke bumi NKRI, lalu kemudian menghasilkan perlawanan rakyat diberbagai sektor.
PETANI yang tergusur MELAWAN dan memberontak! BURUH yang ter-PHK melawan dan memberontak! Masyarakat Adat Papua yang tergusur diatas Tanah leluhurnya juga melawan dan berontak!
Apakah NKRI menjamin kesejahteraan? Apakah NKRI menjamin keadilan? Apakah NKRI menjamin kebebasan berpendapat? Apakah NKRI menghargai hak hidup suatu golongan suku-bangsa dan HAM-nya tidak dilanggar?
NKRI yang tersimbolisasi telah Anda dan kawan-kawan Anda dewakan sebagai TUHAN, yang menurut Anda harus dipertahankan sampai mati sekalipun, baiklah, itu pikiran picik Anda!
Apa kekurang Papua untuk NKRI? Setiap tahun 800 Trilyun rupiah disumbangkan Papua kedalam kas keuangan NKRI sebagai hasil eksploitasi Freeport. Coba Anda hitung sejak tahun 1972 hingga hari ini, berapa ribu trilyun rupiah yang telah disumbangkan Papua kepada Anda dan NKRI yang Anda banggakan ini saudara?
700 Trilyun hilang bagai ditelan bumi karena proses kontrak yang salah dan itu dibuat oleh Megawati dan kini oleh SBY-JK. Itu dari proses eksploitasui gas alam yang ada di Tangguh, Papua Barat!
7 Blok Gas Tangguh Papua Barat akan kasih makan ratusan juta orang Indonesia ini, sementara hak-hak hidup orang asli Papua terus dilanggar, mereka dibantai diatas Tanah-nya sendiri. Mereka MISKIN diatas tanah-nya sendiri! Mereka mengemis diatas tanah-nya sendiri!
Sampai disini saya mau tanya: apakah NKRI telah menjalankan cita-citanya seperti yang dikumandangkan dalam proklamasi 1945? Apakah NKRI menjalankan cita-citanya sesuai amanat UUD 45?
Apakah ada jaminan sosial yang memadai bagi 100 juta penduduk miskin di NKRI ini? Apakah ada rumah buat 40 juta penduduk yang tidak memiliki rumah? Apakah ada jaminan pekerjaan bagi 12 juta tenaga produktif NKRI yang masih pengangguran? Apakah ada jaminan bagi PHK massal yang telah menanti 50 juta lebih tenaga kerja NKRI?
Wahai, inilah dia masalahnya! NKRI telah menjadi simbol dari pencurian secara sadar dan penjajahan secara sadar yang dilakukan kelompok terkecil negara-bangsa ini, NKRI telah dijadikan simbol untuk mengeruk untung dari kelompok nasionalis dan ultra-nasionalis yang hari ini berjaya dikekuasaan politik dan ekonomi NKRI.
Jika Anda bilang NKRI harga mati, maka saya juga mau bilang bahwa: PAPUA BARAT MERDEKA ADALAH HARGA DIRI! Harga diri sebagai suatu bangsa yang masih terjajah dan oleh karenanya berjuangu untuk melepaskan belenggu itu dan merdeka sebagai suatu bangsa yang: memiliki hak ekonomi, politik, sosial, budaya, yang setara dengan NKRI Anda itu! PAPUA BARAT MERDEKA ADALAH HARGGA DIRI! Harga diri-nya masyrakat adat Papua yang dilanggar oleh eksploitasi imperliasme asing yang berkolaborasi dengan borjuasi komprador yang ada di Indonesia dan bersetubuh dengan militer untuk menjaga kepentingan2 asing itu sembari membunuhi orang2 yang berontak karena ketiadilan yang muncul.
PAPUA BARAT MERDEKA ADALAH HARGA DIRI! Karena ia merupakan refleksi sejarah pembentukan NKRI yang TIDAK SELESAI!
Begitu Bung Yanri!
Janganlah Anda terjebak dengan simbolisasi NKRI, tetapi pandanglah cita-cita pembentukan NKRI!
Papua masuk kedalam NKRI juga adalah karena watak serakah TNI [Soeharto] yang merupakan kelompok ultra-nasionalis yang bersetubuh dengan modal asing milik AS yaitu Freeport dan jadilah PAPUA SEBAGI BUDAK NKRI!
Kami tidak mau! Kami adalah manusia yang punya hak ama seperti Anda dan NKRI Anda!
Salam Damai!
PD
Posted by Papuan Diary at Monday, December 08, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi
Response from Yanri to John M Miller [Standing Up for Human Rights by Restricting Military Assistance to Indonesia]
By Yanri [yanri@jambiexplorer.com]
John,
Let me quote these tagline I posted here early this year regarding East Timor (surely to Papua issue as weel) ,and be glad when you find it deep in your heart there should be peaceful and win-win action for the foundation of all action ETAN and Djamin, Bush or Obama, TNI or NGO's, Wiranto or Usman - people might pick up soon after reading
your letter.
Here they are :
--------------------------------------------------------
Let those bond by God's hand, not be separated by trades, natural resources, greeds and guns. Let those bond by one coastline, not be separated by walls of man made.
--------------------------------------------------------
If you are agree with the tagline, believe me, that I will 100 percent stand by you both in mind and soul, and I will do any efforts necessary to make the fight echoes round the globe. As long as you find that "those" mentioned on the tagline above
STANDS FOR our beloved NKRI, even greater than that.
Try to love this country as it is, then you will start to see heaven. Send my hi to MacNamara and Lyndon Johnson. With all my respect,
Merdeka!
Yanri,-
is one of true admirer of Jefferson, Lincoln,and Washington.
Posted by Papuan Diary at Monday, December 08, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi
Standing Up for Human Rights by Restricting Military Assistance to Indonesia
ETAN Responds to the Wall Street Journal
by John M. Miller (National Coordinator, ETAN)
A recent Wall Street Journal Asia editorial urged its readers to watch the "low-profile" but important issue of the U.S. military relationship with Indonesia. The Journal ("Obama's Indonesia Test," Nov. 20) repeated the widely-discredited case that re-engagement with the largely-unreformed and unrepentant Indonesian military was the best way to promote reform and human rights. It called on President-elect Barack Obama "to stand down liberal Senators and interest groups" like the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) and Amnesty International for seeking conditions on military assistance to Indonesia.
The editorial acknowledges the obvious, stating "Indonesia's military has certainly had human-rights problems in the past," but urges the incoming administration to forget about them in the name of building an alliance on the "global war on terror." We have certainly seen what ignoring international human rights concerns during the Bush years has accomplished (Guantanamo, torture, "extraordinary rendition," etc…).
The Obama administration and incoming 119th Congress should change course and put human rights at the forefront of U.S. policy toward Indonesia. This would contribute more to encouraging democratic reform and human rights accountability in the world's largest Muslim-majority country than any amount of military training or weapons. Indonesians who view the military as a chief roadblock to greater reform will be grateful.
History lessons
The Journal argues that from "the 1960s, the U.S. has worked with Indonesian officers in a variety of exchanges ranging from short courses at military colleges to joint training exercises. These programs help Indonesians gain technical expertise as well as learn key values, such as observing human rights and respecting civilian control. …"
Not exactly. Those pesky past "human-rights problems" were at their greatest when the U.S. was most engaged with the Indonesian military.
Let's look at what happened when U.S.-Indonesia ties were the closest. In 1965, General Suharto took power in a coup and according to scholars, up to one million people were killed in its aftermath. West Papua was seized in 1963 with up to 100,000 dead. In 1975, Indonesia with explicit U.S. support invaded East Timor, with another 100,000-200,000 dead. Some 90% of the weapons used in the invasion and subsequent occupation came from the U.S. Few have bothered to try to count those throughout the archipelago who suffered torture, rape or the loss of a limb, livelihood or home. These are the lessons the Indonesian military learned about "key values" from unfettered U.S. military assistance.
The only period of significant reform came during the period when the U.S. actually suspended much assistance during the 1990s. Chief among the changes were the end of the Suharto dictatorship in 1998. Since he was driven from office, East Timor became independent. (The Indonesian military's destructive exit from the country, lead for a time to a full cut off of all military assistance.) In the late 1990s, the military gave up a few prerogatives, including its seats in parliament. But since the U.S. began to incrementally reinstate military assistance in 2002 the reform process has stalled.
By 2005, the Bush administration had reinstated nearly all military assistance and has since sought further expanded ties through training of the Kopassus, the notorious special forces unit responsible for some of the worst human rights violations in East Timor, West Papua, Aceh and elsewhere. The Wall Street Journal thinks getting in bed with Kopassus is a great idea and devotes several paragraphs to criticizing Senators Patrick Leahy and Russ Feingold for their opposition to lifting this final hurdle to unrestricted military engagement. But the Senators have only called for following existing law (authored by Senator Leahy) barring training of military units with histories of human rights crimes where those responsible have not been brought to justice. If that provision has any meaning, it must apply to Kopassus.
Re-engagement has failed to end the widespread impunity enjoyed by Indonesia's security forces for crimes against humanity and other serious violations committed against the peoples of East Timor and Indonesia. Rather, re-engagement has emboldened the military's continued resistance to civilian control, and their persistent emphasis on internal security. The Indonesian military continues to resist attempts to dismantle its "territorial command" system, which allows the military to exert influence over civil administration and politics, commerce, and justice down to the village level. Finally, efforts to implement a law ending the military's involvement in business have degenerated into farce, and the military remains involved in a variety of illegal enterprises, including logging and narcotics trade.
Several retired generals responsible for some of the worst atrocities in East Timor are serious candidates for President in next year's elections. General Wiranto is perhaps the best known. He came in third in the 2004 Presidential campaign. Wiranto was indicted by a UN-sponsored court in East Timor for crimes against humanity for his role as top commander of the military in 1999, when it sought to undermine the UN-organized ballot on independence, Former Kopassus commander (and Suharto son-in-law), Prabowo Subianto is another credible Presidential candidate. According to an Australian coroner's report a third potential candidate, Sutiyoso, commanded a unit which murdered five foreign journalists after they crossed the Timorese border a few months prior to Indonesia's full-scale invasion.
A new approach
Human rights violations are not just in the past. In West Papua, with Indonesian military protection, the U.S.-based Freeport mining company has destroyed the environment, livelihoods, and culture of the local people while making billions off the largest gold mine in the world. Just this year, protests by Papuan people demanding self-determination and greater voice have been met with harsh reprisals, including long prison terms, torture and the death of at least one by-stander.
In May 2007, Marines killed four civilians and wounded eight in a land dispute between villagers and the Indonesian navy in Pasuruan, East Java. According to The International Herald Tribune, "The marines were tried by a military tribunal but ultimately sentenced to just 18 months in prison. The marine station's relationship with the plantation company was never investigated, nor were any of the station's officers. The land dispute remains unresolved."
As in the past, the current U.S. administration downplays these and other human rights violations, while celebrating its reinvigorated institutional partnership with Indonesia's security forces.
Will Obama change course? President-elect Obama has described U.S. engagement in Indonesia, where he lived as a child, as less than positive. In The Audacity of Hope, Obama writes that "for the past sixty years the fate of [Indonesia] has been directly tied to U.S. foreign policy." This policy included "the tolerance and occasional encouragement of tyranny, corruption, and environmental degradation when it served our interests." His earlier book, Dreams from My Father, Obama writes of Suharto's bloody seizure of power: "The death toll was anybody's guess: a few hundred thousand, maybe, half a million. Even the smart guys at the [CIA] had lost count."
We hope Obama will in fact stand with Indonesia's human rights community, which is not so keen to forget past crimes and ignore current ones as the outgoing administration. Indonesian advocates called on President-elect Obama and Congress to pressure Indonesia's government to respect human rights. Rafendi Djamin, coordinator of the Human Rights Watch Group, acknowledged the U.S.'s past "huge role in pushing for rights advocacy in Indonesia… I have seen that during the Bush administration, the U.S. Congress is still concerned with Indonesia's democratization and human rights advocacy, but Bush has rarely given a direct warning of the importance of human rights advocacy."
Djamin said in the Jakarta Post, "We are now expecting Obama to put more pressure on Indonesia to resolve unfinished human rights cases by directly questioning the government about them and by addressing their importance." Another advocate said that "If Indonesia does not respond positively to U.S. pressure… the U.S. would reinstate its military embargo against us."
East Timor's official Commission for Reception, Truth and Reconciliation after examining in detail the impact of Indonesian occupation and destructive withdrawal on the East Timorese called on countries to make military assistance to Indonesia "totally conditional on progress towards full democratisation, the subordination of the military to the rule of law and civilian government, and strict adherence with international human rights..." President Obama and the next Congress should follow that recommendation.
John M. Miller is National Coordinator of the
East Timor and Indonesia Action Network (ETAN). www.etan.org.
John M. Miller Internet: fbp@...
48 Duffield St., Brooklyn, NY 11201 USA
Phone: (718)596-7668 Mobile: (917)690-4391
Skype: john.m.miller
Posted by Papuan Diary at Monday, December 08, 2008 0 comments
Labels: demokrasi dan hak asasi