Aku menulis,
Aku penulis terus menulis
Sekalipun terror mengepung!
Syair milik Thukul. Saya meminjamnya karena tegas, jelas, lugas. Tukul inspirasi saya. Banyak hal saya coba pelajari dari seseorang yang hanya saya kenal namanya, mengenal muka tidak, memang kami anak se jaman tapi tak senasib, tak seumur dan tak diijinkan sang energi mutlak, untuk bertemu.
Saya punya beberapa puisi yang dibuat sejak awal Agustus lalu, mungkin ada yang mau baca? Saya tulis ulang dibawah.
--------------------
PAHLAWAN HUTAN DUNIA
--------------------
Tanah ini milik-ku
Ya, Ia milik-ku sejak aku tercipta
Gunung ini milik-ku
Ia lambang kegagahanku sejak mula
Sungai dan lembah ini milik-ku
Ia lambang keperempuananku sejak awal
Bentan sabana nan luas
Horizon laut tak terkira
Lambang gagah perkasanya aku
Di masa mudaku
Hutan ini milik-ku
Ia jadi tatanan hidupku
Ia atur siklus hidup makluk
Yang terjalin turun temurun
Bersama Ibu Bumi telah kujaga dia
Sepanjang hayat
Bersama Ibu Bumi telah kupelihara dia
Selayaknya ibu merawat anaknya
Tapi.....
Kau datang rampas tanah-ku
Kau datang rusak gunung-ku
Kau datang rusak hutan-ku
Kau datang curi milik-ku
Bahkan nyawaku kau incar
Hendak jadikan santapan siangmu
Biar darahku mengalir
Biar badanku remuk redam bersimbah luka
Biar nyawaku taruhannya
Aku tetap setia
Bersama Ibu Bumi lindungi alamku
Akan tiba waktunya
Ketika Ibu Bumi bicara
Tahukah kau banjir itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau gempa itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau badai itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau pemanasan global..........
Tahukah kau perubahan iklim dunia...........
Dengan serakah modalmu
Kau rusak tatanan sejati Bumi
Kau ciptakan penindasan manusia
Kini Ibu Bumi bicara
Dan kau..........
Yang terlindung pencakarlangit
Yang disuguhi kemewahan
Yang berpesta ditengah ketidakadilan
Kau akan rasakan amarahnya
Dan marahnya dasyat!
Aku adalah aku
Sejak mula berdiam dimuka Bumi
Aku adalah aku
Akan lenyap bersama Bumi
Ingat-ingatlah aku
Dengar-dengarlah aku
Akulah penjaga Bumi
Akulah PAHLAWAN HUTAN DUNIA!!
Freeway, 11 Agustus 2007
Pukul 15.45 Waktu Papua
-------------------
Puisi untuk KIDYOTI
-------------------
Sejak kapan merdeka ki?
Rakyat masih miskin ki
Apa hendak kau kata
Sejarah bilang
Dulu merah putih
Jaman berubah
NKRI bisa hidup?
Banyak benar salah atur
Banyak benar rakyat menderita
Bukan salah rakyat
Kau penguasa yg salah
Apa kau masih bangga menjadi penguasa?
Mabuk merdeka?
Minum anggur korupsi
Minum darah rakyat
Berpestalah ditengah kemiskinan rakyat
Apa kau masih membantah ki?
Apa kau masih ragu kata-kataku?
Besok revolusi yg benar akan muncul
Dan kita bukan lagi Indonesia Raya
Bukan lagi NKRI seperti katamu
Karno hebat
Apa yang kau banggakkan dari Mega?
Jual BUMN
Naikkan subsidi BBM
Naikkan tarif listrik
Buat susah rakyat kecil
Mega sama dengan G.W Bush
Mega sama dengan komprador
Mega adalah penindas gaya baru
Stop membual!
MERDEKA BUNG!
MERDEKA!
----------------------------
PAPUA - BETAWI, DUA FENOMENA
----------------------------
Indonesia Merdeka?
Merah Putih?
Pancasila?
UUD 45?
Apa jaminannye?
Lagu Sabang - Merauke
Lu buat setelah Papua dipaksa gabung NKRI
Integrasi, itu kata Murtopho, Ali, Jendral!
Apakah memberi rasa aman buat rakyat?
Apa ada kemakmuran?
Gak, kata lu gitu
Kagak ada ape-apenyee, itu kata si Pi Tung
Dulu gue hajar kumpeni, kata Pi Tung
Untuk pertahankan Tanah Moyang gue, engkong gue, babe gue..!
Kini Tanah moyang gue,
engkong gue,
babe gue
di serobot wajah2 serakah pengusaha + militer + birokrasi + urbanis
Jadilah betawi pinggiran....
Sadis amat..!
FBR?
FORKABI?
Gue kenal lu, gue ini anak Papua
Gue ngerokok bareng lu tiap saat
Gue biasa bareng ama lu di Roxy Mas
Gue biasa bareng ama lu di Selatan
Gue biasa bareng ama lu di Utara
Gue biasa bareng ama lu di Barat dan Timur
Gue di Rawa Bunga, lu pade kenal ame premanye pan?
Gue disitu ama lu
Gue di Kemanggisan ada engkong betawi gue...
Gue ketiup angin ke empat penjuru angin....!
Gue dah bilang ama lu pade
Jangan mau dikadalin SBY-JK lagi
Mega, Amien, dan kawan-kawan seperjuangan mereka....
Lu punya Gubernur si Foke, lu bilang bokapnye Jawa Ibunye Betawi
Iyeee, gue tau maksud lu pan biar dia diterima ama kalangan lu pade kan?
Betawi fenome penggusuran
Papua Fenomena politik dan bernegara
Dua-dua punya nasib yang sama
Sama-sama pemilik Tanah yang tergusur
Terpinggirkan, tersisih
Dari miliknya
Tapi Papua punya cerita lain
Papua juga BERHAK MERDEKA!
Merdeka, Merdeka, Merdeka!
Gue mau bilang: CUKUP!
Gue berhak merdeka!
Monday, 27 August 2007
Bait-bait Puisi Papuan Diary
Posted by Papuan Diary at Monday, August 27, 2007 0 comments
Labels: editorial
Tuesday, 14 August 2007
Antara Juven Biakai dan Arnold Ap [Bagian I]
Sebuah Catatan Perjuangan Penegakkan Nilai-Nilai Adat dan Budaya Tanah Papua, Yang Mulai Lekang Dikikis Dominasi Budaya Barat dan Melayu!
Fenomena yang menarik minat! Itu kesan pertama yang timbul dalam benak saya, melihat begitu asyiknya media massa mengulas aksi-aksi budaya yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dari Asmat. Bukan nilai baru, bukan pula nama baru. Asmat sudah dikenal dunia Internasional jauh sebelum perhelatan "Eksebisi Budaya Asmat" yang digelar di Lokasi Karnaval, Ancol, Jakarta, sejak tanggal 12 dan berakhir tanggal 19 Agustus nanti.
Mengurai Kejayaan Mambesak
Eksebisi Budaya Asmat ini dipimpin oleh Bupati Asmat, Bung Juven Biakai. Jauh sebelum menjabat Bupati, Juven adalah seorang pekerja seni, yang antara lain bersama Donatus Moiwend [dari suku Marind Anim, suku yang tinggal di Kota Maroke dan sekitarnya] mendorong laju maju budaya Selatan Papua dipanggung Budaya Papua pada tahun 1980-an.
Donatus sebagai seniman mural, hasil karya tokoh ini dapat dilihat di katedral Jayapura. Sementara pada masa-masa itu, Juven Biakai bekerja sebagai staff kurator museum seni dan antropologi Universitas Cenderawasih, dibawah kepemimpinan budayawan Papua, Alm. Arnold Ap.
Bukanlah sebuah kisah baru. Sebagai anak muda yang ambil peran aktif dalam kampanye-kampanye penguatan Budaya Papua dibawah koordinasi Alm. Arnold Ap pada awal 1980-an, Bung Juven Biakai tentu memiliki wawasan yang sama dengan Arnold Ap. Keutamaan gagasan dan wawasan itu adalah mempertahankan dan menyelamatkan eksistensi ke-melanesia-an Budaya Asmat dan Papua secara keseluruhan.
Saya memaknai Eksebisi Budaya Asmat kali ini dalam pandangan yang demikian. Ia bukan melulu menjadi sebuah upaya cita-cita kosong yang diletakkan begitu saja dalam kerangka semantis bahasa yang sederhana, tetapi sudah menjurus ke aras sosiologis yang dalam, sedalam saya memaknai Asmat sebagai Papua dan sedalam saya memaknai Papua sebagai Melanesia!
Menggugat Kebinekaan Yang Tak Berbineka!
Nuansa politis terlihat jelas dalam Eksebisi Budaya Asmat ini, hal ini terbaca karena bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia, tetapi secara terhormat, pemimpin-pemimpin Suku Asmat secara terbuka sudah katakan bahwa Eksebisi Budaya Asmat kali ini tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai upaya mensejajarkan relevansi kearifan tradional Asmat yang agung dengan budaya-budaya lain di nusantara. Dengan kata lain, Asmat hendak menampilkan ciri khususnya sebagai Suku besar di Papua yang sejak jaman dulu sudah membangun peradaban yang luar biasa eksotis, sebagai alternatif untuk orang luar memandang Asmat dan Tanah Papua.
Asmat hendak bilang bahwa Anda sekalian tidak boleh memandang Asmat atau Papua dalam stereotipe "primitif", "kanibal", "terbelakang", "pemabuk", "suka akan kekerasan", "tertinggal", "bodoh" dan sejumlah stereotipe lain yang sudah tertanam pada seluruh benak orang-orang Indonesia.
Asmat hendak bilang bahwa kalau Anda menjunjung Bhineka Tunggal Ika, maka Anda harus benar-benar hayati makna itu, jangan sekedar slogan kosong yang nyaring bunyi bagai tong kosong! Ini fenomena sosial yang sedang terjadi dan secara jujur saya harus katakan bahwa telah terjadi dominasi berlebihan oleh budaya-budaya tertentu di Indonesia yang itu menghambat laju maju budaya-budaya Papua.
Itulah yang ditawarkan Asmat dan itulah yang harus diterima dengan terbuka oleh semua pihak. Sudah banyak benar yang dikorbankan Masyarakat Adat Papua pada tatanan nilai luar dan kisruh ekonomi-politik yang menjadikan kita [orang Papua] sebagai korban paling empuk dari sistem imperialisme yang kejam dan yang dibantu oleh komprador paling setianya, yaitu pemerintah RI dan TNI/Polri.
Bagaimana Mbalim?
Apa yang berlangsung di Lembah Agung Mbalim [Wamena] hari ini adalah sebuah upaya kamuflase politik dengan target tertentu. Saya melihat upaya dikumpulkannya 40 Suku didaerah Pegungungan Tengah Papua untuk mendorong eksebisi budaya diwilayah ini adalah semata-mata untuk membalikkan opini, seakan-akan di Mbalim tidak terjadi pelanggaran HAM, seakan-akan di Mbaliem tidak terjadi penambahan pasukan yang berlebihan, seakan-akan di Mbalim Anda dapat menemukan kedamaian. Omong kosong! Ini muslihat, itu pembohongan terhadappublik.
Seperti sebuah fenomena politik domino, apa yang terjadi di Mbalim, Jayapura dan Ancol, adalah sebuah taktik tertentu untuk pura-pura mengakomodir Melanesia kedalam semangat NKRI. Bukankah ini mendekati HUT RI? Wajar begitu, tetapi yang tidak wajar adalah: NKRI dan aparatusnya tidak pernah mau jujur katakan bahwa mereka gagal membangun Papua.
Kita diadu oleh logika politik yang dibolak-balik. Rakyat kecil tidak mampu memahami ini secara benar, maka adalah wajar jika kritik harus secara terbuka saya letakkan disini sebagai upaya menetralisasi politisasi budaya Melanesia yang sedang berlangsung hari-hari ini dan entah sampai kapan? [Bersambung]
Posted by Papuan Diary at Tuesday, August 14, 2007 0 comments
Labels: editorial
Monday, 13 August 2007
Refi Mascot
Refi, seniman muda berbakat, fotografer yang mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan kearifan tradisional milik berbagai masyarakat adat yang ada di Indonesia.
Posted by Papuan Diary at Monday, August 13, 2007 0 comments
Saturday, 11 August 2007
PAHLAWAN HUTAN DUNIA
Banyak sekali klaim dari pihak-pihak luar, terutama ilmuwan, aktivis lingkungan dan politisi, yang sering mengakui dirinya sebagai orang atau kelompok yang paling bertanggung jawab atas keselamatan Hutan diseluruh dunia. Tapi banyak pihak yang lupa bahwa "pahlawan sesungguhnya" adalah masyarakat adat, yang hidup dan tinggal didalam Hutan sejak mereka ada di Bumi ini.
Saya masukan disini sebuah puisi yang disumbang seseorang bernama Anim Ha, yang menuangkan gagasannya mengenai "Masyarakat Adat Sebagai Pahlawan Hutan Dunia" dalam bait-bait puisi berikut.
====================
PAHLAWAN HUTAN DUNIA
====================
Tanah ini milik-ku
Ya, Ia milik-ku sejak aku tercipta
Gunung ini milik-ku
Ia lambang kegagahanku sejak mula
Sungai dan lembah ini milik-ku
Ia lambang keperempuananku sejak awal
Bentan sabana nan luas
Horizon laut tak terkira
Lambang gagah perkasanya aku
Di masa mudaku
Hutan ini milik-ku
Ia jadi tatanan hidupku
Ia atur siklus hidup makluk
Yang terjalin turun temurun
Bersama Ibu Bumi telah kujaga dia
Sepanjang hayat
Bersama Ibu Bumi telah kupelihara dia
Selayaknya ibu merawat anaknya
Tapi.....
Kau datang rampas tanah-ku
Kau datang rusak gunung-ku
Kau datang rusak hutan-ku
Kau datang curi milik-ku
Bahkan nyawaku kau incar
Hendak jadikan santapan siangmu
Biar darahku mengalir
Biar badanku remuk redam bersimbah luka
Biar nyawaku taruhannya
Aku tetap setia
Bersama Ibu Bumi lindungi alamku
Akan tiba waktunya
Ketika Ibu Bumi bicara
Tahukah kau banjir itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau gempa itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau badai itu suara Ibu Bumi?
Tahukah kau pemanasan global..........
Tahukah kau perubahan ilim dunia...........
Dengan serakah modalmu
Kau rusak tatanan sejati Bumi
Kau ciptakan penindasan manusia
Kini Ibu Bumi bicara
Dan kau..........
Yang terlindung pencakarlangit
Yang disuguhi kemewahan
Yang berpesta ditengah ketidakadilan
Kau akan rasakan amarahnya
Dan marahnya dasyat!
Aku adalah aku
Sejak mula berdiam dimuka Bumi
Aku adalah aku
Akan lenyap bersama Bumi
Ingat-ingatlah aku
Dengar-dengarlah aku
Akulah penjaga Bumi
Akulah PAHLAWAN HUTAN DUNIA!!
Freeway, 11 Agustus 2007
Pukul 15.45 Waktu Papua
By Aim Ha
Posted by Papuan Diary at Saturday, August 11, 2007 0 comments
Labels: ecosoc
Monday, 6 August 2007
Pilkada DKI Jakarta: Antara Militerisasi Politik dan Oligarki Demokrasi
Membaca fenomena Pilkada DKI Jakarta hari ini, bagi saya, adalah membaca kembali ruang-ruang politik dan demokrasi, yang diupayakan melalui pergorbanan berdarah-darah gerakan mahasiswa 1998.
Hingga hari ini, reformasi telah berjalan 9 tahun, tetapi hingga hari ini pula, reformasi 1998, bagi kita kaum muda, sudah dapat dipastikan mati suri. Berkuasanya kembali kekuatan orde baru pada masa-masa sekarang, telah menunjukkan pesan politik dengan jelas bahwa Orde Baru masih eksis dan elemen-elemen pendukung orde baru sekarang ini telah menemukkan kembali momentum politik mereka yang hilang pasca reformasi 1998.
Banyak benar agenda reformasi 1998 dikhianati oleh kelompok-kelompok politik yang memboncengi reformasi sebagai kedok untuk kepentingan golongan. Akhirnya yang menjadi korban dan yang selalu menjadi anak haram politik adalah mereka yang masih bersikap kritis sesuai agenda reformasi 1998 dan tentu saja rakyat kebanyakan.
Saya teringat kembali ucapan Alm. Hatta mengenai masalah-masalah berdemokrasi. Hatta mengatakan:
"Apa yang terjadi sekarang ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki, (yang) lambat laun digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi dari sejarah dunia!" (Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (penyunting), Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran, UI Press, Jakarta, 1992, halaman 112).
Selain karena demokrasi yang keblabasan, penghianatan reformasi 1998 juga terjadi karena beberapa hal, misalnya: kasus korupsi BLBI yang penyelesaian makin kabur dan banyak terjebak pada deal-deal politik tentatif yang semakin menyengsarakan rakyat. Kasus kegagalan reformasi lain adalah: menguatnya peran-peran dari lembaga bentukan orde baru yang sekarang sudah mampu menghegemoni rakyat. Elemen-elemen orde baru inilah yang saat ini sedang menguasai panggung politik Jakarta.
Menguatnya kembali peran politik militer dalam peta politik sipil di Indonesia menunjukan bahwa demokrasi sedang menuju ambang kehancurannya. Diktator, sebagaimana pandangan Hatta, akan muncul ditengah situasi demokrasi yang tidak terkontrol.
Prakondisi tidak terkontrolnya demokrasi politik sipil karena intervensi paket-paket kebijakan politik neo-liberal yang diintrodusir lembaga-lembaga donor kepada hamba-hamba mereka [baca: pemerintah Indonesia] dikombinasikan dengan praktek tatanegara yang ambigu, telah melahirkan bola liar demokrasi yang telah di kick-off pada reformasi 1998, tidak bisa dibendung, ia telah menjadi bola liar yang jika tidak mampu dikontrol, akan menjadi bumerang bagi mereka yang saat ini sedang giat-giatnya berpraktek atas nama demokrasi palsu ini.
Trias politika, sebagaimana dipahami universal, adalah pembagian kewenangan secara jelas antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Inilah bayangan ideal pembentukan negara, dimana ada keseimbangan antara lembaga kekuasaan [pemerintah], lembaga pengawasan [dpr, mpr, dpd] dan lembaga hukum [ma, ky, mk]. Sayangnya di Indonesia, keseimbangan itu ditiadakkan. Peran MK dibuat menjadi banci, sama dengan peran MA yang juga banci.
Militerisasi Politik
Dalam kasus Pilkada DKI, masuknya militer aktif kedalam bursa Pilkada DKI, bagi saya, sudah sangat jelas menunjukkan pesan politik kepada rakyat bahwa: militerisasi politik sedang terjadi. Saya tidak mampu membayangkan seorang Fauzi Bowo berkencan dengan Jendral Priyono atau sebaliknya Jendral Adang Dorodjatun yang Polisi bisa masuk kedalam bursa Pilkada DKI.
Pesan yang demikian jelas melalui fenomena Pilkada DKI mengingatkan kita hari ini bahwa semangat reformasi 1998 sedang mengalami masa-masa paling suram. Bukan tidak mungkin, Pilkada DKI akan memperkuat posisi politik kelompok militer [TNI/Polri]. Dengan demikian, militer secara sadar masuk kedalam wilayah politik.
Harapan reformasi yang demikian luhur, dikhianati hanya karena politik bagi-bagi kekuasaan yang masih mau dilakukan oleh TNI secara institusi dengan pihak politisi sipil.
Dwi Fungsi kembali bangkit? Pertanyaan ini wajib dijawab oleh semua pihak yang bertanggung jawab atas reformasi 1998 dan juga para pihak yang sudah terlanjur masuk kedalam jibaku politik elit sehingga mengorbankan tuntutan-tuntutan utama reformasi 1998.
Oligarki Demokrasi
Kini hampir semua partai besar di Indonesia mengklaim diri sebagai yang paling demokratis. Bahkan pemimpin-pemimpn politik Indonesia hari ini mengatakan bahwa demokrasi telah berjalan sesuai amanat reformasi 1998, buktinya adalah: Pilpres 2004 secara langsung, Pemilu Anggota Legislatif, pembentukan perangkat-perangkat lembaga Yudikatif seperti MK, KY, KPK, dan beberapa lain.
Sayangnya, peran Yudikatif yang masih mengambang dalam konteks Trias Politika di Indonesia, menyebabkan banyak kasus hukum besar yang melibatkan sejumlah kader partai-partai besar lebih banyak dikompromikan secara politis dan bukan diselesaikan melalui mekanisme hukum positif yang berlaku universal atau bahkan seperti yang diatur oleh KUHP.
Pertanyaannya adalah: inikah bayangan demokrasi yang kita sama-sama kehendaki? Pembagian peran yang tidak jelas antara Eksekutif [Presiden] dan Legislatif [DPR] dengan Yudikatif [MA] menyebabkan logika penyelesaian hukum lebih banyak diselesaikan menurut logika politik dan itu berarti, keadilan hukum lebih banyak dikompromikan melalui "keadilan politik." Jika sudah begitu tentu yang terjadi adalah kemenangan ada dipihak partai dan kader-kader partai tentu akan selamat jika mereka tersandung dugaan korupsi, sebagai contoh saja. Bagai kasus Lapindo? Ichal masih tetap santai menjabat sebagai Menko Kesra, sementara ribuan rakyat porong hidup tak tentu nasibnya.
Amien Rais bisa bebas jalan diamana saja, karena umpan baliknya mengenai dugaan korupsi dana-dana non bujeter milik DKP yang dikorupsi milyaran rupiah oleh sebagian besar elit politik Indonesia pada masa kampanye Pilpres 2004 tidak diselesaikan secara tuntas.
Kini elemen-elemen orde baru yang sudah mereinkarnasi itu kembali menyedot perhatian politik rakyat ke arah keinginan mereka dan kerja mereka selalu berhasil dalam hal membohongi rakyat kecil.
Rakyat Jadi Korban
Dalam catatan BPS, 6 Juta KK di Indonesia hari ini tergolong tidak memiliki rumah alias homeles people, itu berarti jika dalam satu keluarga, memiliki 5 anggota keluarga, secara matematis dapat kita pastikan 30 juta rakyat miskin tidak memiliki rumah yang layak untuk ditempati. Artinya 30 juta orang Indonesia saat ini tidak punya rumah dan mereka itu adalah kelompok masyarakat yang hidup pasca krisis moneter 1995-1998.
Puluhan ribu rakyat di Porong, Sidoarjo, nasibnya tidak mampu diselesaikan secara bijaksana, rakyat dibairkan berjibaku dengan masalahnya sendiri. Posisi rakyat dibuat mengambang, sama seperti aliran lumpur panas lapindo yang kian menggila dikawasan Sidoarjo. Siapa yang mau secara elegan mengakui kesalahannya dan bertindak bijak untuk menyelesaikan secara tuntas masalah lumpur lapindo? Jawaban pas mungkin sebaiknya keluar dari SBY-Kalla dan Aburizal Bakrie.
Bagaimana pula dengan nasib petani di Grati yang dibedil TNI? Nasib petani yang tertembak itu dibiarkan tidak jelas, bahkan Komnas HAM menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Grati bukanlah pelanggaran HAM.
Inilah sebuah paradoks yang tercipta ditengah begitu banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas, termasuk didalamnya praktek-praktek pelanggaran HAM di Papua selama 43 tahun “integrasi.” Karena integrasi paksaan, maka integrasi paksaan itu perlu dijaga dengan bedil dan bayonet.
Dalam kasus Grati, pertanyaan saya adalah: berdasarkan ukuran mana Komnas HAM mengatakan bahwa kasus Grati bukan kasus pelanggaran HAM? Apa sesungguhnya peran Komnas HAM bagi rakyat? Apa masih perlu kita memakai sebuah institusi yang bernama Komnas HAM untuk meperjuangkan penegakkan HAM di Indonesia? Bak panggang jauh dari api, demikian pula Komnas HAM. Ia tidak lebih dari sebuah lembaga yang melegalkan pelanggaran HAM.
Bagaimana dengan rakyat Papua?
Saya di Papua juga punya banyak masalah: OTSUS yang gagal dilakukan, penerapan hukum yang main tebang pilih, illegal logging yang tak terkontrol, illegal fishing yang juga tak terbendung sampai pada illegal mining yang sudah mencerabut akar-akar budaya, sosial dan ekonomi rakyat di Papua.
Penambahan militer dengan jumlah yang tidak terhitung, terus terjadi, seiring menguatnya gejolak politik di Tanah Papua.
Saya kembali membayangkan Daerah Operasi Militer [DOM] yang terjadi pada tahun 1978 - 1998 di Papua. Bayangan kekerasan militer yang begitu kejam, kembali terimajinasi dihadapan pikiran saya ketika saya melihat proses-proses politik yang kian memanas di Tanah Papua.
Proses-proses pemekaran propinsi dan kabupaten di Tanah Papua adalah logika politik teritorial TNI yang sukses dirasuki kedalam pikiran segelintir kecil pemimpin lokal Papua yang haus kekuasaan, dan yang hari ini tengah berlomba-lomba mengajukan proposal pemekaran kepada Jakarta sebagai proyek bagi-bagi kekuasaan diantara kelompok komprador borjuasi yang secara politis yang menguat di Papua.
Seperti diketahui, operasi militer di Tanah Papua dimulai secara de facto pada waktu bermulanya pendudukan Indonesia atas Tanah Papua pada tahun 1963 dan berlaku makin represif ketika secara de jure operasi militer dijalankan pada tahun 1978 hingga tanggal 5 Oktober 1998 (20 tahun) ketika dicabut akibat desakan reformasi yang kuat.
Kini Koter diperkuat kembali oleh TNI dengan alasan untuk meredam potensi terorisme di Indonesia. Alasan kedua yang tidak tersirat dari kebijakan TNI mempertahankan koter adalah untuk merepresi kekuatan kritis rakyat diwilayah konflik seperti Tanah Papua.
Dalam jawaban tertulisnya kepada Komisi I, saat digelar rapat dengar pendapat dengan pihak DPR-RI (27/2/2007), KSAD Jendral Djoko Santoso menekankan upaya mengoptimalkan keberadaan bintara pembina desa (Babinsa) sebagai "mata dan telinga" dalam mengumpulkan keterangan, khususnya dalam penanganan ancaman terorisme (Kompas, 28/2/2007).
Gejolak Papua yang tak kunjung padam melegalkan kehadiran militer Indonesia kedalam wilayah ini sehingga secara pasti memulai kembali pola Daerah Operasi Militer [DOM] seperti yang telah diterapkan mereka pada tahun 1978 – 1998. Sekedar catatan tambahan, represi militer Indonesia di Papua sama persis dengan jaman dimana DOM terjadi untuk kali pertama yaitu antara tahun 1978 – 1998. Pasca kematian Alm. Theys Hiyo Eluay, represi militer di Papua justru semakin tajam dan meningkat drastis.
Saya kembali mengutip Bung Hatta;
"Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.... Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib." Deliar Noer dalam bukunya "Mohammad Hatta: Biografi Politik" yang diterbitkan oleh LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505.
Dengan demikian, apa yang diperjuangkan rakyat Papua, tentu harus bisa diterima kelompok lain di Indonesia, jika benar-benar menghargai kebebasan berpendapat dan kebebasan berpolitik. Termasuk hak untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Sama seperti masyarakat Jakarta yang tanggal 8 Agustus nanti melaksanakkan hak politiknya.
Posted by Papuan Diary at Monday, August 06, 2007 0 comments