Ditulis oleh: Hans Gebze*
Prediksi krisis ekonomi yang kini telah menjadi head-line diberbagai media massa Indonesia akhir pekan ini telah menjadi sesuatu yang sangat relevan untuk dibahas. Paling tidak sebagai suatu diskursus yang pantas kita bicarakan.
Seperti yang diungkapkan ekonom muda UGM, Dr. Sri Adiningsih -- dalam wawancara dengan KBR 68 H Jakarta, 14/05/2007 --, kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia dan terjadinya capital in-flow (investasi modal) besar-besaran beberapa waktu terakhir, bukan tidak mungkin akan memunculkan kembali krisis ekonomi yang akhirnya akan menyebabkan capital out-flow (penarikan kembali modal) oleh pemilik modal asing. Mengapa? Kekhawatiran itu wajar-wajar saja sebab kini, dalam beberapa pekan terakhir, nilai tukar euro sedang menguat terhadap nilai tukar dollar, barangkali saja krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1995 sebagai akibat menguatnya nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS kembali terulang.
Indonesia, ibarat kapal kecil yang sedang berlayar ditengah samudera, jika tidak berhati-hati, bisa saja kapal kecil ini mengalami karam atau collapse karena tidak dikendalikan oleh nahkodanya secara bijak. Kemungkinan munculnya krisis ekonomi akan kembali melanda Asia dan Indonesia serta Filipina menjadi negara yang sangat rapuh untuk diterjang badai krisis ini yang pada gilirannya akan memberikan efek domino bagi negara-negara lain di wilayah Asia.
Pernyataan Menteri Keuangan, Dr. Sri Mulyani, bahwa dikhawatirkan akan muncul kembali krisis ekonomi jilid kedua di Indonesia, sesaat setelah mengikuti pertemuan menteri keuangan se-Asia yang digelar di Kyoto, Jepang, kini menuai beragam tanggapan, baik dari rekan sekerjanya dalam tim ekonomi kabinet Indonesia bersatu, maupun praktisi dan pengamat ekonomi.
Dr. Budiono, Menteri Koordinator Ekonomi, rekan sekerja Mulyani, menampik secara tegas pernyataan menteri keuangan itu dengan mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih stabil, sektor real ekonomi tetap bergairah, defisit anggaran yang minim dan adanya surplus dalam cadangan devisa sehingga rakyat tidak perlu khawatir akan munculnya kembali krisis ekonomi jilid kedua. Factor positif fundamental ekonomi yang ditampilkan Budiono untuk menyanggah pernyataan Menteri Keuangan itu patut dipertanyakan.
Fuad Bawasir, mantan menteri keuangan pada jaman orde baru, mengatakan sinyalemen krisis ekonomi kedua, jika benar-benar terjadi akan berimbas lebih parah. Pada masa-masa terakhir orde baru, situasi ekonomi rakyat saat itu boleh dibilang baik dan stabil, rakyat masih bisa makan sehari tiga kali, pengangguran ada tapi jumlahnya kecil dan fundamental ekonomi Indonesia saat itu sangat stabil. Sehingga pada saat terjadi krisis ekonomi, memang terjadi anarki tetapi tidak terlalu parah.
Kondisi sebaliknya bisa saja terjadi jika krisis ekonomi jilid kedua benar-benar terjadi. Dapat dibayangkan, rakyat miskin yang digusur tiap hari dari gubuk-gubuk mereka, pedagang kecil yang diamputasi prospek usahanya oleh operasi pasar, pengangguran yang membludak, kemiskinan yang akut di Indonesia saat ini akan menyebabkan anarki yang lebih parah dari krismon 1997. Untuk menghindari kemungkinan krisis ekonomi ini, Fuad Bawasir mengatakan pemerintah SBY-Kalla harus melakukan reformasi APBN. Hal ini diungkapkan Fuad Bawasir pada saat diwawancarai RRI Pro 3 FM (14/05/2007).
Sinyalemen krisis ekonomi jilid kedua yang mulai ramai dibicarakan itu, bukan tidak mungkin menjadi suatu kenyataan. Barangkali juga harus diingat, Indonesia pernah memasuki krisis ekonomi mini ketika menguatnya nilai tukar dollar terhadap rupiah yang menembus angka 12 ribu pada bulan desember 2006 lalu. Suatu pesan akan kemungkinan muncul krisis ekonomi sudah jelas terbaca.
Pertarungan Hegemoni Internal Imperialis
Krisis ekonomi jilid pertama pada tahun 1995, ketika menguatnya nilai tukar yen Jepang atas nilai tukar dollar AS, berimbas secara langsung atas kondisi ekonomi Indonesia. Melemahnya nilai tukar rupiah menghantam sektor real ekonomi Indonesia. Seperti diketahui, Jepang adalah salah satu negara kapitalis yang menyumbang sebagian besar hutang luar negeri Indonesia disamping itu booming produk Jepang di Indonesia pada masa orde baru menyebabkan menguatnya nilai tukar yen atas dollar berimbas secara langsung terhadap melemahnya nilai tukar rupiah dan fundamental ekonomi Indonesia.
Pertarungan hegemoni internal dua induk kapitalis tadi (AS-Jepang) melalui nilai tukar mata uang mereka menyebabkan melemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi menghantam sektor real ekonomi menyebabkan terjadinya capital out-flow (penarikan atau pelarian modal keluar) besar-besaran dari para pemilik modal asing dan secara telak menghajar sistem moneter Indonesia dan menghadirkan badai krismon.
Menguatnya nilai tukar euro terhadap dollar beberapa pekan terakhir mengindikasikan pertarungan internal imperialisme (AS-Uni Eropa) yang pasti akan berimbas dan menghadirkan krisis ekonomi global seperti yang terjadi pada saat menguatnya nilai tukar yen terhadap dollar pada tahun 1995.
Apresiasi negatif terhadap nilai tukar rupee (India) dan bath (Thailand) yang mulai melemah terhadap euro dan dollar beberapa pekan terakhir bukan tidak mungkin akan berimbas pada terpuruknya nilai tukar rupiah yang pasti akan terjun bebas lagi seperti krisis moneter tahun 1997.
Intervensi Asing Terhadap RUU Penanaman Modal
Peran badan-badan multilateral seperti International Monetary Fund, World Bank dan Asian Development Bank, juga oligarki finansial kapitalis seperti Japan Bank for International Cooperation dalam mengintervensi pembuatan aturan baru penanaman modal di Indonesia menunjukkan betapa gencarnya asing mempengaruhi pemerintahan SBY-Kalla beberapa saat terakhir.
Kedatangan mantan PM Inggris Tonny Blair pada bulan maret 2006 -- beberapa saat setelah kedatangan Condoleeza Rice, Menlu AS -- pada saat menguatnya perlawanan rakyat terhadap keberadaan Freeport di Papua, Exxon-Mobil di Cepu dan Newmont, jelas bukan tanpa kepentingan. Kehadiran dua tokoh imperialis itu jelas sekali untuk mengigatkan pemerintahan SBY-Kalla akan komitmen mereka untuk menjaga kepentingan modal asing tetap beroperasi dengan aman. Perlawanan rakyat terhadap multi nationals corperation (MNC) dan trans national corporation (TNC) milik imperialis itu jelas mengganggu capital in-flow dalam bentuk export capital yang hendak dilakukan negara-negara kapitalis induk seperti AS, Inggris, Jepang dan juga Uni Eropa (UE) yang merupakan blok dagang negara-negara kapitalis Eropa.
Juga patut dicatat, pertemuan yang terjadi antara Jusuf Kalla dengan Lord Powell, utusan khusus PM Inggris, pada tanggal 13 Maret 2007 lalu di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Lord Powell mendesak pemerintah Indonesia segera menyelesaikan RUU Penanaman Modal. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut, diharapkan menjadi jalan keluar dari segala ganjalan investasi modal asing di tingkat pusat dan maupun daerah.
Alih-alih mensejahterakan rakyat, lewat kebijakan ekonomi yang demikian, pemerintahan SBY-Kalla justru membuat blunder dengan memudahkan semakin gencarnya investasi modal asing yang masuk tanpa bisa dikontrol dan pada akhirnya akan mengakibatkan capital out-flow jika benar-benar terjadi krisis ekonomi yang pasti akan semakin membuat susah kehidupan rakyat.
Prakondisi Krisis
Penerapan paket-paket politik neoliberal (neoliberal policy) sebagai akibat perjanjian-perjanjian bilateral maupun multilateral yang dilakukan pemerintahan SBY-Kalla dengan negara-negara kapitalis induk, disatu sisi memantapkan posisi negara-negara kapitalis induk melakukan ekspor modal mereka dalam bentuk investasi besar-besaran di Indonesia dan di sisi lain melemahkan fondasi ekonomi Indonesia.
Mengapa? Restrukturisasi ekonomi yang dianjurkan IMF selama ini hanya menyentuh reformasi ekonomi dibidang perbankan saja yang merupakan sektor tidak real dalam ekonomi. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah memulihkan serta menstabilkan sektor ekonomi real dan memasifkan proses industrialisasi yang secara pasti akan membuka peluang kerja bagi pengangguran terbuka yang masih banyak saat ini akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia 10 tahun lalu. Akibatnya Indonesia sulit menyembuhkan luka krisis ekonomi telah diderita dan semakin memperbanyak pengangguran terbuka yang pada akhirnya semakin banyaknya jumlah rakyat miskin.
Kepentingan IMF merestrukturisasi kebijakan moneter Indonesia adalah untuk memudahkan monopoli oligarki capital finance dalam menginvestasikan modal-modal pasif yang mereka miliki untuk diaktifkan dalam sistem perbankan Indonesia. Dengan begitu akan mengurangi factor over produksi modal negara-negara kapitalis induk dalam rangka meminimalisasi krisis internal didalam negara mereka sendiri sambil menarik keuntungan berlipat akibat aktivasi modal mereka melalui sistem perbankan Indonesia tadi. Metode yang sama juga dipakai oleh negara-negara kapitalis induk dalam kebijakan ekonomi mereka terhadap dunia ketiga.
Mengapa selama 10 tahun terakhir lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank atau juga oligarki capital finance seperti Japan Bank for International Cooperation hanya memperhatikan dan memberikan support bagi pemulihan ekonomi dibidang moneter saja? Jawabannya sederhana. Modal yang diinvestasikan oleh negara-negara kapitalis induk melalui sistem perbankan Indonesia, suatu saat jika terjadi krisis ekonomi akan mudah ditarik kembali dalam bentuk capital out-flow.
Capital out-flow sangat mudah dilakukan, karena tidak ada modal yang digerakkan dalam sektor ekonomi real dan juga tidak ada modal real dalam bentuk mesin-mesin industri yang diinvestasikan selama terjadinya booming investasi modal asing beberapa waktu terakhir di Indonesia. Selain mudah, export capital yang dilakukan melalui investasi modal dibidang perbankan itu mendatangkan untung yang tidak sedikit bagi pundi-pundi ologarki capital finance negara-negara kapitalis induk.
Inilah suatu prakondisi krisis ekonomi yang memang sudah diatur secara optimal oleh negara-negara kapitalis induk untuk diterapkan pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Prakondisi ini juga diciptakan untuk meminimalisir kemungkinan krisis yang akan timbul didalam negara-negara kapitalis induk sendiri akibat over produksi modal kapitalis.
Dengan demikian, berbagai krisis ekonomi yang terjadi dunia akhir-akhir ini adalah merupakan krisis ekonomi yang di eksport oleh negara-negara kapitalis induk.
*Penulis adalah: Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat [Front PEPERA PB], Anggota Dewan Penasehat Aliansi Mahasiswa Papua [AMP], penulis lepas dan columnist pada beberapa media.
Sumber: http://www.parasindonesia.com/read.php?gid=558
Tuesday, 26 June 2007
Mungkinkah Krisis Ekonomi Kembali Melanda Indonesia?
Posted by Papuan Diary at Tuesday, June 26, 2007
Labels: Imperialisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Saya lahir dan besar di Papua, keluarga saya pun masih banyak yang mencari nafkah di Papua. Saya menjadi prihatin jika membaca tulisan ini.
Post a Comment